Kamis, 12 Februari 2009

UMKM dalam agenda politik 2004

Oleh: Ditto Santoso
Pemilu tahun 2004 telah di depan mata. Berdasarkan hasil survei CESDA-LP3ES yang dipublikasikan Juni 2003, alasan terbesar mengapa seseorang memilih partai tertentu dalam Pemilu 1999, adalah faktor keberpihakannya pada rakyat (23 persen). Sedangkan alasan mengapa seseorang mengalihkan pilihannya ke partai politik lain, yaitu karena tujuan partai makin tidak jelas (15 persen), mengabaikan kepentingan pendukung (13 persen), dan pemimpin partai hanya mementingkan diri sendiri (13 persen).
Dari hasil survei tersebut tampak betapa pentingnya keberpihakan sebuah partai politik kepada rakyat, termasuk juga dalam hal pemberdayaan di bidang ekonomi. Terkait dengan isu pemberdayaan ekonomi rakyat, khususnya di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), ada beberapa pertanyaan penting sebagai tolok ukur, antara lain: konsep apakah yang ditawarkan oleh tokoh dan partai bersangkutan yang umumnya dipresentasikan dalam kampanye, khususnya pengembangan UMKM? Bagaimana strategi, indikator, dan rentang waktu pencapaiannya? Sejauh mana tokoh/partai tersebut telah membuktikan keberpihakannya pada ekonomi rakyat secara nyata?
Sedikitnya ada enam butir agenda yang perlu dipertimbangkan oleh berbagai partai politik peserta pemilu, dalam memperjuangkan pengembangan UMKM:
Pertama, memperjuangkan dan memberikan perhatian pada program-program penataan kota yang didalamnya berpotensi memunculkan penggusuran terhadap rakyat miskin yang notabene adalah para pelaku usaha mikro, entitas bisnis yang selama ini terbukti bertahan dalam masa krisis. Selama ini, pola penggusuran justru melahirkan “orang-orang miskin baru” yang kehilangan tempat tinggalnya, kebingungan melanjutkan pekerjaan, sementara keluarganya terlantar.
Kedua, adalah memperjuangkan kebijakan mengenai permodalan bagi sektor UMKM, sehingga rakyat miskin (economically active poor) dapat memiliki akses pada sumber-sumber permodalan untuk mendukung perputaran roda usahanya. Selama ini akses orang miskin ke sumber modal sangatlah terbatas. Banyak persyaratan yang tidak bisa mereka penuhi ketika harus berhadapan dengan lembaga keuangan formal. Iklim yang kondusif bagi Lembaga Keuangan Mikro (LKM), seperti BPR, BMT, koperasi kredit, perlu diciptakan, karena lembaga-lembaga itulah yang selama ini memiliki andil besar dalam perkembangan UMKM.
Ketiga, memperjuangkan program-program pengembangan UMKM yang tepat, misalnya dalam bentuk konsultansi dan pendampingan bagi UMKM, karena pada dasarnya masalah yang dihadapi UMKM tidak sebatas modal semata. Aspek-aspek lain yang perlu diperhatikan seperti penguasaan teknologi produksi, pengembangan produk, manajemen usaha, dan jaringan pemasaran.
Keempat, memperjuangkan kebijakan di tingkat makro yang berpihak pada produsen lokal (UMKM) agar produk-produknya bisa survive berhadapan dengan produk asing yang akan terus melakukan penetrasi ke pasar Indonesia. Ini merupakan upaya untuk melawan kapitalisme dengan wajah baru, “globalisasi”. Yang juga perlu diperhatikan adalah menjadi pengontrol bagi kebijakan pemerintah dalam memasuki percaturan ekonomi global.
Kelima, memperjuangkan kebijakan corporate social responsibility agar perusahaan-perusahaan besar terlibat dalam upaya pemberdayaan UMKM dan masyarakat pada umumnya, misalnya dengan menjadi bapak asuh, menerapkan hubungan link and match dengan UMKM, atau memiliki program community development yang berbasis pada penguatan ekonomi lokal. Ini merupakan wujud nyata tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa dalam pemulihan perekonomian nasional.
Keenam, adalah kesediaan segenap aktor dalam panggung politik nasional untuk bersedia bekerja sama dengan semua pihak (multistakeholders), secara bersama berikhtiar mengembalikan tatanan perekonomian nasional ke arah yang lebih baik melalui pengembangan UMKM.
Artikel ini dimuat di rubrik UMKM Harian Republika pada ... Januari 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar