Kamis, 12 Februari 2009

Pendampingan usaha mikro di perkotaan

Oleh: Ditto Santoso
Pernahkah kita memperhatikan para penjual sayur, penjual bakso, bakul jamu gendong, sopir angkot, atau tukang ojek yang ada di sekitar pemukiman kita? Salah satu faktor yang membuat mereka bisa bertahan dan terus tumbuh, yaitu adanya proses pendampingan dari petugas lapang yang memiliki kepedulian terhadap perekonomian rakyat. Selain memberikan bantuan manajemen, para petugas lapangan ini umumnya juga membantu menghubungkan para pelaku usaha mikro tersebut dengan lembaga pembiayaan.
Mendampingi pengusaha mikro khususnya di wilayah perkotaan, merupakan pengalaman yang cukup menarik. Sebagian besar di antara mereka berasal dari daerah pedesaan, yang kemudian datang ke kota untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Karena tidak memiliki pendidikan dan ketrampilan yang memadai, sehingga mereka tidak mampu untuk bersaing di sektor formal, akhirnya terpaksa memasuki sektor-sektor informal. Tantangan hidup yang demikian berat telah menumbuhkan semangat kerja dan ikatan solidaritas yang tinggi. Selain perasaan senasib, ikatan solidaritas itu juga terbangun oleh faktor kesamaan daerah atau kesamaan jenis usaha di antara pelaku sektor informal ini.
Dari faktor kesamaan daerah, terlihat adanya pertalian yang kuat di antara mereka. Malahan banyak di antaranya yang merantau ke kota, karena diajak oleh kerabat atau tetangga yang telah terlebih dulu bekerja di kota. Sebelum mampu memulai usaha sendiri, mereka mengikuti semacam proses “magang” dalam jangka waktu tertentu. Kesamaan jenis usaha juga merupakan salah satu pengikat di antara para pengusaha mikro ini. Malahan para pedagang buku di Jalan Kwitang, Jakarta, telah memiliki wadah formal beruka koperasi, sehingga bisa membeli stok buku dalam jumlah besar. Manfaatnya sangat positif, karena mereka bisa membeli barang dengan harga murah, yang akhirnya bisa meningkatkan keuntungan.
Dengan adanya berbagai ikatan itu, akan lebih mempermudah dalam proses pendampingan. Karena pada dasarnya pendampingan itu bertumpu pada strategi penumbuhan dan pengembangan kelompok swadaya masyarakat (self help group). Yaitu sekumpulan orang yang membangun kerja sama secara berkelanjutan, dalam upaya peningkatan kesejahteraan para anggotanya.
Di sisi lain, mendampingi pengusaha mikro di wilayah perkotaan bukanlah hal yang mudah, banyak tantangan yang dihadapi seperti faktor budaya, regulasi, persaingan, dan permodalan.
Budaya. Dari segi budaya, umumnya masyarakat menengah ke bawah di perkotaan memiliki karakter yang keras, dan itu dipicu oleh kerasnya kehidupan yang mereka hadapi. Untuk menghadapi orang-orang seperti ini diperlukan pendekatan yang luwes.
Regulasi. Dari segi regulasi, tampaknya masih banyak program atau kebijakan pemerintah yang belum memberikan atmosfer yang kondusif bagi para pengusaha mikro ini, seperti penggusuran-penggusuran yang sering dialami oleh para pedagang kaki lima. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan “dialog kebijakan” di antara pihak yang terkait (stakeholders), baik pelaku usaha mikro, lembaga pendamping (LSM), Lembaga Keuangan Mikro (LKM), sektor swasta, dan pemerintah.
Persaingan. Bagaimana dengan kondisi persaingan yang mereka hadapi? Ternyata pesaing terberat yang dihadapi oleh usaha mikro ini adalah industri-industri besar. Banyak hal yang sulit di jangkau oleh usaha mikro, sehingga posisi mereka makin terdesak oleh pengusaha besar. Misalkan dalam hal hak cipta, seperti pendaftaran merk, izin layak jual, dan label halal dari instansi pemerintah, serta jaringan pemasaran.
Permodalan. Dari segi permodalan, masih banyak usaha mikro yang tidak tersentuh oleh lembaga keuangan (formal). Meskipun sebagian sudah dibina dan didampingi oleh berbagai LSM, namun sedikit sekali yang telah mampu akses ke lembaga keuangan formal. Suatu hal yang positif bahwa saat ini telah banyak LKM seperti BMT dan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) yang melakukan terobosan untuk bisa menjangkau usaha mikro dengan menjalankan misi pemberdayaan. Bertolak dari gambaran tersebut, dapat dikatakan bahwa masa depan usaha mikro sebagai pelaku utama ekonomi rakyat, merupakan tanggung jawab semua pihak. Bukan saja karena usaha mikro mampu menyerap angkatan kerja dan penghasil produk-produk primer, tetapi juga karena konstribusinya yang besar dalam penanggulangan kemiskinan.
Artikel ini dimuat di rubrik UMKM Harian Republika pada ... November 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar