Senin, 16 Agustus 2010

Peran Credit Union dalam Pengurangan Risiko Bencana

Oleh: Ditto Santoso
Indonesia merupakan daerah yang rawan bencana (disaster prone area). Kesadaran ini telah menyeruak manakala berbagai kejadian bencana terjadi sambung-menyambung di Indonesia. Gempa bumi dan tsunami di pantai barat Sumatra dan Nias, gempa Jogjakarta, gempa Manokwari, tsunami mini Situ Gintung, gempa Tasikmalaya, gempa Padang, banjir di Bandung dan Lamongan, dan masih banyak lagi. Tak hanya bencana yang berpangkal dari alam saja (natural disaster). Bencana itu juga muncul akibat ulah manusia (man-made disaster), seperti kerusakan ekologi akibat penebangan dan kebakaran hutan. Di antara komunitas pekerja kemanusiaan muncul gurauan yang menyayat hati yang mengatakan bahwa Indonesia ini adalah “supermarket”-nya bencana.

Untuk mengantisipasi dan merespons bencana-bencana ini, telah dipahami secara jamak bahwa ini merupakan kerja besar semua elemen bangsa untuk bahu-membahu karena sama-sama hidup di daerah yang rawan bencana. Credit union (koperasi kredit) sebagai bagian dari elemen bangsa diharapkan juga memiliki kepekaan, khususnya apabila koperasi primer yang bersangkutan berlokasi di daerah yang jelas-jelas menjadi “langganan” bencana. Secara filosofis, ini merupakan salah satu dari prinsip-prinsip koperasi, yaitu “kepedulian terhadap komunitas”, dimana credit union berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan bagi anggota dan masyarakat di sekitarnya.

Sejauh proses sejarah perkoperasian yang terjadi di Indonesia, credit union memiliki peran besar dalam pengembangan sosial-ekonomi masyarakat. Peran ini ditunjukkan melalui bidang kegiatan utamanya, yaitu simpan-pinjam. Credit union mendorong anggotanya untuk memupuk simpanan dan menggunakan pinjaman secara bijak untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan produktif. Di sisi lain, keunggulan credit union ialah meletakkan pendidikan sebagai dasar penting bagi mereka yang bergabung sebagai anggota. Melihat dari potensi yang dimiliki, credit union juga dapat berperan aktif dalam peningkatan kesiapsiagaan bencana dan mengurangi dampak bencana yang mungkin terjadi pada diri anggotanya yang hidup di daerah rawan bencana. Sejauh yang penulis ketahui, umumnya credit union primer telah memupuk dana solidaritas yang dikucurkan apabila anggotanya ditimpa kemalangan, misalnya dirawat di rumah sakit atau meninggal. Asuransi simpanan dan pinjaman juga dipenuhi melalui skema Daperma (Dana Perlindungan Bersama) yang diinisasi oleh Inkopdit beserta jaringan puskopdit atau skema Jalinan milik BKCU Kalimantan. Belum banyak credit union yang menyentuh respons terhadap anggota yang ditimpa bencana serta mengantisipasi apabila terjadinya bencana.

Menurut hemat penulis, setidaknya terdapat tiga hal yang bisa dilakukan credit union. Pertama, kepedulian sosial. Menggerakkan organisasi serta anggota untuk tanggap terhadap situasi masyarakat yang mengalami bencana merupakan aktualisasi dari solidaritas dan tanggung jawab sosial yang sejalan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip credit union. Bersama-sama anggotanya, credit union bisa menggalang solidaritas untuk penyaluran bantuan kemanusiaan. Misalkan, mengorganisir anggota untuk menyalurkan bantuan bagi korban banjir. Secara institusional, credit union juga telah menginisiasi sekian persen dari SHU (Simpanan Hasil Usaha) untuk alokasi dana sosial yang memungkinkan dikelola sebagai dana tanggap darurat (emergency response) jika memang credit union tersebut eksis di daerah langganan bencana. Dana tersebut juga bisa dikelola untuk penyadaran tentang kesiapsiagaan bencana.

Kedua, membangun kesadaran melalui pendidikan. Disadari bahwa pendidikan merupakan salah satu pilar kekuatan credit union disamping dua pilar lainnya, yaitu swadaya dan solidaritas. Melalui pendidikan, credit union dapat membangun kesadaran anggotanya di wilayah Indonesia yang rawan bencana ini mengenai pentingnya mengurangi kerentanan dan menguatkan ketahanan individu ataupun keluarga saat terjadi bencana. Misalkan, setelah terjadi banjir, longsor, atau kebakaran, dampak berikutnya yang mungkin muncul ialah kerusakan infrastruktur (rumah), ketiadaan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan, menurunnya kondisi kesehatan, kehilangan aset keluarga (misalkan ternak hanyut), atau kehilangan matapencaharian. Kesadaran seperti ini perlu dimiliki oleh setiap orang yang hidup di daerah rawan bencana, sehingga mereka perlu untuk mengantisipasi dampak yang mungkin bisa terjadi. Kesadaran ini bisa dibangun melalui program pendidikan dalam credit union. Salah satu materi yang dibahas dalam pendidikan dasar bagi anggota baru credit union ialah ekonomi rumah tangga, dimana sub pokok bahasannya juga mencakup perencanaan anggaran keuangan keluarga. Dalam cakupan materi ini sangat memungkinkan untuk memotivasi anggota memupuk simpanan khusus bagi antisipasi bencana dan pemulihan pasca bencana.

Ketiga, pelayanan tabungan dan atau asuransi mikro. Setelah berbicara mengenai kesadaran anggota, selanjutnya ialah bagaimana mewujudkan kesadaran tersebut dalam aksi konkret. Pernahkah terpikir berapa biaya yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk memulihkan kembali kondisi hidupnya setelah dilanda bencana, misalnya banjir? Bagaimana pula jaring pengaman untuk anggota yang berprofesi sebagai petani apabila hasil sawahnya rusak dilanda banjir atau longsor, bagaimana menyikapi pinjaman yang masih menjadi kewajibannya apabila sumber matapencaharian (livelihood) hancur. Menghadapi hal ini, credit union dapat berinisiatif untuk merancang program tabungan bagi anggota untuk mengantisipasi bencana. Sebagai contoh sederhana, secara mandiri ataupun bekerja sama dengan penyedia asuransi swasta, credit union bisa merancang produk asuransi bencana bagi anggota. Tentunya ini juga diiringi analisis mengenai potensi bencana dan dampaknya di wilayah domisili anggota. Sangat mungkin analisis ini juga bisa dimasukkan dalam formulir pendaftaran keanggotaan. Sebagai contoh lain, Grameen Bank (lembaga keuangan mikro di Bangladesh) memberikan pinjaman tanpa bunga bagi anggotanya yang menjadi korban banjir atau gempa bumi untuk pemulihan kondisi rumahnya, Bina Swadaya (lembaga swadaya masyarakat yang juga bergerak di bidang keuangan mikro di Indonesia) memberikan pinjaman lunak bagi anggota KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) dampingannya yang menjadi korban gempa di Jogja dan sekitarnya. Contoh lain juga dapat dilihat pada lembaga keuangan mikro BASIX (India) dan NASFAM (Malawi).

Diperlukan inovasi dan kreativitas bagi setiap credit union primer untuk mengeksplorasi berbagai potensi yang perlu dikembangkan untuk membantu anggotanya mengurangi dampak yang mungkin terjadi akibat terjadinya bencana. Di Indonesia terdapat 965 credit union primer dengan 964.048 anggota dan total aset sekitar Rp 6 trilyun (data Inkopdit per Oktober 2009) yang menjadi modal sosial (social capital) luar biasa besar untuk dapat berpartisipasi dalam penguatan kesiapsiagaan bencana masyarakat. Analisis seksama yang berperspektif kebencanaan dipadukan dengan analisis bisnis menjadi landasan dasar untuk merancang program credit union yang peka terhadap kebutuhan anggotanya yang hidup di wilayah rawan bencana. Sekali lagi, Indonesia adalah wilayah rawan bencana. Bersiagalah sekarang juga!
Artikel dimuat di Buletin Caritas Makassar edisi Agustus 2010