Kamis, 25 April 2013

Merencanakan Keuangan Keluarga, Mengelola Berkat Tuhan

Oleh: Ditto Santoso


Mengapa Keuangan?

Pernahkah terpikir oleh Anda berapa banyak kata “uang” ditemukan dalam Alkitab? Berdasarkan beberapa sumber, terdapat lebih dari 700 ayat yang secara langsung menunjuk pada penggunaan uang dan lebih dari 175 kali kata “uang” muncul dalam Alkitab. Jumlah ini belum termasuk istilah-istilah yang menyangkut dengan mata uang, seperti dinar, talenta, duit, dan sebagainya. Kata “kaya” muncul lebih dari 100 kali, kata “hutang” muncul 50 kali. Informasi ini dapat terus bertambah jika memasukkan kata-kata yang terkait dengan aset atau kekayaan seseorang atau tokoh dalam Alkitab. Misalnya ternak, tanah, emas, rumah, dan lain-lain. Beberapa hal yang disebut terakhir merupakan indikator kekayaan orang pada zaman dahulu dan beberapa diantaranya masih relevan di masa kini.


Pernahkah Anda memperhatikan, seberapa sering Yesus berbicara mengenai uang, kekayaan, atau menggunakan simbol-simbol dalam perumpamaan yang Ia sampaikan dalam pengajarannya kepada para murid ataupun orang banyak. Dalam beberapa perikop, dapat ditemukan Yesus menggunakan simbol-simbol berupa aset atau kekayaan pribadi hal-hal tersebut, misalkan Matius 18:23-35; 13:44-46; 20:1-16; 25:14-30; dan Lukas 7:40-43; 12:13-34; 16:1-13; 19:11-27. Demikian pula dalam kotbah di bukit, Yesus juga memasukkan pokok bahasan tentang harta kekayaan (bdk. Matius 6: 19).


Memandang bahwa banyak ayat dan perikop dalam Alkitab yang menyinggung soal uang maupun kekayaan, sekilas dapat dipahami mengapa ini menjadi penting dibahas. Uang dan kekayaan merupakan hal duniawi yang dekat dengan kehidupan manusia. Karena unsur kedekatan itulah, sangat mungkin bagi Allah dalam menyampaikan firman-Nya menggunakan analogi-analogi yang dekat dengan kehidupan manusia agar lebih mudah dicerna. Bahkan secara langsung, Allah berbicara bahwa umat-Nya perlu memiliki cara pandang tersendiri terhadap uang. Mengapa demikian? Karena uang bisa menjadi jalan untuk menyalurkan berkat Tuhan (bdk. 2 Korintus 9: 6-8) atau bisa menjerumuskan manusia dalam kesulitan dan kejahatan (bdk. 1 Timotius 6: 10). Karena itu, pengelolaan keuangan pribadi ataupun keluarga patut menjadi perhatian penting, termasuk dalam karya pelayanan Gereja. Umat Allah diharapkan dapat mengelola keuangan secara bijak, sehingga bisa menjadi sarana untuk mewujudkan dan menyalurkan berkat Tuhan. Dan tentu saja, uang bukanlah tujuan, melainkan cara, karena yang terpenting justru adalah mengumpulkan harta di Surga (bdk. Matius 6: 19-20, Lukas 12: 16-21).



Perencanaan Keuangan Keluarga dan Berkat Tuhan

Pada masa sekarang ini, masyarakat harus berhadapan dengan konsumerisme yang meluas. Orang didorong untuk berbelanja banyak hal, termasuk hanya untuk memuaskan nafsu memiliki saja. Diskon bertebaran dimana-mana (bahkan menumpang label suci dengan menjual “Christmas Sale” atau “Lebaran Sale”), produk-produk yang uptodate selalu menantang untuk dibeli, selalu memancing orang untuk “lapar mata”. Akibatnya, jika tidak pandai-pandai dalam mengelola keuangan keluarga, bukan tak mungkin akan terjebak dalam arus besar konsumerisme ini. Lantas, keluhan semacam inilah yang akan terdengar, “Aduuh! Bagaimana, sih? Gaji sudah naik, penghasilan tambahan sudah di tangan. Kenapa ya selalu saja tidak cukup? Habis bulan, habis duit. Jangankan menunggu bulan habis. Pertengahan bulan saja sudah habis?!”


Pernah berada dalam situasi seperti ini? Kira-kira, apa sebabnya? Manakah diantara faktor-faktor ini yang mempengaruhi ketidakcukupan penghasilan setiap bulannya. Inflasi yang lebih tinggi? Hutang yang berlebih? Gaya hidup? Pengeluaran yang besar pasak daripada tiang? Inikah masalah yang umum dihadapi oleh keluarga di Indonesia? Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk mengatasinya?


Pada titik inilah sebenarnya dibutuhkan sebuah perencanaan keuangan keluarga (family financial planning) yang bijak. Kembali pada pertanyaan, mengapa diperlukan? Karena sesungguhnya keuangan atau harta kekayaan yang dimiliki oleh manusia, bukanlah pertama-tama karena hasil kerja kerasnya, melainkan adalah berkat Tuhan yang dipercayakan kepadanya untuk dikelola dengan baik (bdk. Matius 25: 14-30).


Perencanaan keuangan keluarga merupakan proses merencanakan keuangan untuk mencapai tujuan-tujuan keuangan jangka pendek maupun jangka panjang. Cara pencapaiannya bisa dalam bentuk memburu pendapatan, menabung, ataupun melakukan investasi. Tahap-tahap yang perlu dilakukan diantaranya mengetahui dimana posisi keuangan keluarga saat ini, menetapkan tujuan keuangan keluarga, merancang anggaran, dan akhirnya melaksanakan. Ketika proses pelaksanaan telah berjalan pun, review perlu dilakukan untuk melihat kembali sejauh mana rencana yang ada perlu disesuaikan.


Beberapa hal perlu menjadi perhatian dalam pengelolaan keuangan keluarga ialah pertama-tama membangun habitus positif untuk melakukan perencanaan itu sendiri. Yesus sendiri pernah menyampaikan pentingnya perencanaan (bdk. Lukas 14: 28-30). Sering kali kita dihadapkan pada pertanyaan ”untuk apa?” atau ”kalau uangnya tidak ada, untuk apa dilakukan perencanaan?”. Niat untuk membangun kebiasaan positif perlu dibangun didepan. Ketika kebiasaan itu terbentuk, maka pengelolaan keuangan dapat dengan mudah dilakukan. Apa yang terjadi jika tidak ada perencanaan atau tidak disiplin dalam menjalankan perencanaan itu? Keluarga akan mudah tergoda untuk melakukan pengeluaran keuangan yang tak perlu, bukan prioritas. Jika dibiarkan terus-menerus, neraca keuangan keluarga akan oleng pula. Pengeluaran lebih besar daripada penghasilan. Inspirasi dari A’a Gym tepat untuk membangun habitus baru yang positif ini, ”Mulailah dari yang kecil, mulailah dari diri sendiri, dan mulailah sekarang.”


Hal berikutnya yang perlu menjadi landasan dalam membangun perencanaan keuangan keluarga ialah komunikasi keluarga. Sebuah proses perencanaan akan berjalan baik jika komunikasi keluarga terbangun dengan baik. Keuangan keluarga bukanlah semata-mata urusan suami atau istri saja, melainkan dibangun dalam semangat kasih dan kebersamaan. Dari diskusi diantara keduanya, akan terpetakan kebutuhan-kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi dalam jangka pendek maupun jangka panjang, serta apa yang bisa dilakukan untuk memenuhinya.


Memilah dan memilih untuk menyusun prioritas melakukan hal penting yang dilakukan dalam perencanaan keuangan keluarga. Perlu dibedakan antara kebutuhan (needs) dan keinginan (wants). Apakah pos pengeluaran ini harus dipenuhi secepatnya? Apakah akan terjadi sesuatu yang mengancam kehidupan keluarga jika pengeluaran ini tidak dilakukan? Apakah jika pos pengeluaran ini tidak dipenuhi akan berakibat pada goyangnya aktivitas-aktivitas utama seperti usaha keluarga? Tentu akan banyak pos pengeluaran yang akan dipenuhi. Tentu hal ini harus dikelola secara bijak, apalagi ketika semuanya benar-benar merupakan kebutuhan. Perlu ditetapkan tingkat prioritasnya, diatur jadual pengeluarannya. Utamakan pos-pos tabungan dan investasi setelah kewajiban-kewajiban dibayarkan.


Last but not least, sudahkah dialokasikan pengeluaran untuk tabungan? Sangat dianjurkan untuk menempatkan pos tabungan sebagai pos pengeluaran yang wajib sifatnya. Dengan sifat yang demikian, maka pos tabungan sebaiknya dikeluarkan di awal ketika penghasilan diterima, bukan diambilkan dari sisa dana sesudah semua pengeluaran selesai dilakukan. Satu hal yang terpenting, ini tidak hanya berlaku untuk tabungan duniawi saja (tabungan dan investasi), melainkan juga tabungan surgawi. Sudahkah dialokasikan untuk kolekte atau persembahan  bagi Tuhan, karena inilah yang sesungguhnya menjadi “penjamin” keberlimpahan manusia di dunia (bdk. Matius 6:1-4; 2 Korintus 9: 6-15).


Tuhan memberkati kita semua dan selamat Paskah.



Penulis adalah Panitia Pendidikan CU Dian Padua
Artikel dimuat di Warta Paroki St.Thomas, Kelapadua, Depok, edisi khusus Paskah 2013



Credit Union: Pertama-tama, Lembaga Pemberdaya!


Oleh: Ditto Santoso



Lintasan Sejarah Credit Union

“Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang dewasa ini, terutama mereka yang miskin dan menderita, adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus pula” (Gaudium et Spes art.1). Seruan untuk berbuat di tengah ladang karya kemanusiaan merupakan panggilan yang ditujukan kepada umat Gereja. Salah satu ladang karya kemanusiaan umat Gereja ialah meningkatkan kualitas hidup manusia dalam hal sosial dan ekonomi.


Dalam ladang karya sosial-ekonomi yang sangat manusiawi ini muncul pendekatan dinamis dan progresif yang telah meretas sejak pertengahan abad XIX. Kala itu, revolusi industri sedang bergaung kencang. Namun, kondisi sosial ekonomi di Flammersfield – Jerman begitu memprihatinkan, terutama di kalangan buruh pabrik. Walikota Friederich Wilhelm Raiffesen menggerakkan para dermawan untuk mengumpulkan dana guna menolong kaum buruh yang miskin. Pendekatan derma dilakukan dan berujung pada kegagalan. Dari situlah Raiffesen menggerakkan kaum buruh untuk membangun credit union (dalam Bahasa Indonesia, diterjemahkan sebagai “koperasi kredit”).


Bila di Jerman gerakan credit union dipelopori oleh Raiffesen, Alphonse Desjardin di awal abad XX merintisnya di Kanada sehingga menjadikan negeri itu sebagai pusat gerakan credit union di seluruh dunia. Bagaimana dengan Indonesia? Gagasan credit union diusung oleh RP. Karl Albrecth SJ dan sahabat-sahabatnya yang berkarya di tengah kondisi sosial-ekonomi masyarakat Indonesia yang memprihatinkan di akhir 1960-an. Hingga tahun 2011 tercatat lebih dari 1.000 credit union primer yang tersebar di seluruh republik kita ini dengan jumlah aset 10 trilyun rupiah.


Dorongan para uskup di Indonesia untuk pengembangan credit union sebagai bagian dari karya pelayanan di tengah masyarakat luas dituangkan melalui Nota Pastoral KWI tahun 2006 yang bertemakan “Habitus Baru: Ekonomi yang Berkeadilan”. Disebutkan bahwa selain menyerukan keprihatinan terhadap kondisi sosial-ekonomi yang ada, aksi konkret perlu dilakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat (art. 19). Melalui nota pastoral ini pula, para uskup mendorong terciptanya tatanan sosial ekonomi yang mengedepankan kesetaraan martabat manusia, kesejahteraan bersama, solidaritas, dan subsidiaritas (art. 28). Credit union dipandang sebagai sebuah strategi yang memuat nilai-nilai tersebut dalam universalitas pelayanannya.


Pendekatan sosial-ekonomi dalam pelayanan kemanusiaan juga dipandang penting oleh Paus Benediktus XVI. Ini tersurat dalam 2 ensiklik yang dibuatnya dalam beberapa tahun terakhir, yakni “Deus Caritas Est” (2005) dan “Caritas in Veritate” (2009). Melalui “Caritas in Veritate”, Bapa Suci menggarisbawahi pentingnya tata kelola ekonomi yang harus diarahkan pada peningkatan kesejahteraan dan pengembangan masyarakat itu sendiri, bukannya memperkaya satu orang atau kelompok dan memiskinkan yang lain (bdk. CIV art. 65). Bentuk credit union dianjurkan sebagai salah satu strategi untuk memperkuat perekonomian masyarakat. Lalu, agar pelayanan kemanusiaan dalam bidang sosial-ekonomi itu bisa berjalan efektif, beliau juga menekankan pentingnya organisasi yang efektif dan dikelola oleh orang-orang yang memiliki kompetensi di bidangnya serta komitmen pelayanan yang tinggi (bdk. DCE art. 21).


Pilar-pilar yang Memberdayakan

Apa yang membuat Gereja meyakini dan mendorong credit union diterapkan sebagai salah satu pendekatan penting pelayanan kemanusiaan, khususnya dalam bidang sosial-ekonomi. Tentunya hal ini tak lepas dari filosofi yang diusung oleh credit union itu sendiri.


Credit union dikenal sebagai salah satu bentuk lembaga keuangan mikro yang memberikan pelayanan keuangan bagi anggotanya. Namun perlu dipahami bahwa credit union tidaklah berkarya demi keuntungan finansial semata. Credit union pertama-tama hadir untuk menanggapi permasalahan sosial yang ada didepannya (bdk. sejarah berdirinya credit union yang dirintis oleh Raiffesen). Itulah mengapa, sangat ditekankan juga bahwa credit union bukanlah “sekumpulan modal” melainkan “sekumpulan manusia” yang saling percaya dan bersama-sama mencari jalan keluar untuk memecahkan permasalahan yang dihadapinya.


Hal tersebut diatas membawa kita semua pada pilar-pilar yang menjadi penyangga utama bangunan organisasi credit union. Pilar-pilar tersebut adalah pendidikan, swadaya, dan solidaritas. Sebagaimana dikampanyekan oleh gerakan credit union di seluruh dunia, pendidikan diyakini sebagai kunci dalam merintis, mengembangkan, dan memelihara credit union itu sendiri. Pendidikan itu wajib hukumnya dalam credit union. Karenanya setiap orang yang baru saja bergabung dalam sebuah credit union primer diwajibkan mengikuti salah satu bentuk pendidikan, yaitu Pendidikan Dasar Anggota Credit Union. Melalui pendidikan, credit union mendorong anggotanya untuk membuka wawasan dan melihat permasalahan kehidupannya sehari-hari melalui perspektif pengembangan diri dan pengelolaan keuangan pribadi secara lebih bijak. Dalam jenis pendidikan tertentu, credit union juga membangun kapasitas anggotanya dalam membangun kepemimpinan dan organisasi di masyarakat. Dari sini kita dapat melihat, bahwa credit union tidak semata-mata mencari untung, melainkan lebih pada memberdayakan. “Uang bukanlah cara, melainkan sarana untuk mencapai tujuan,” demikian salah satu butir pemikiran Raiffesen.


Pilar kedua gerakan credit union adalah “swadaya”. Pemahaman mengenai swadaya menitikberatkan pada kemampuan seseorang atau organisasi yang mampu memberdayakan dirinya untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya secara mandiri. Keswadayaan ini diwujudkan oleh credit union dengan mengajak anggota-anggotanya mengumpulkan modal secara kolektif dan mengelolanya untuk menyelesaikan masalah-masalah mereka. Pilar ini mendorong anggota credit union untuk memberdayakan dirinya sendiri semaksimal mungkin tanpa harus menunggu bantuan dari luar. Disinilah credit union menunjukkan jati dirinya sebagai sebuah lembaga pemberdaya. Salah satu bentuk konkret dari pilar swadaya ini ialah bahwa credit union secara tegas mengatakan “tidak” kepada bantuan atau modal finansial dari luar. Credit union mengumpulkan modal finansial hanya dari anggotanya. Karena itu, credit union merupakan milik seluruh anggotanya, bukan milik pengurus.


Pilar “solidaritas” merupakan semangat yang digemakan oleh credit union agar anggota saling membantu anggota yang lain melalui mekanisme keuangan mikro. “Saya susah, Anda bantu; Anda susah, saya bantu,” demikian ungkapan yang sering terlontar. Credit union tidak hanya mendorong anggota untuk memecahkan masalahnya sendiri, melainkan juga mendorongnya untuk membantu anggota lain memecahkan masalah mereka. Solidaritas ini diorganisir dalam kelompok-kelompok pelayanan credit union dimana kegiatan pendidikan juga terselenggara disitu dan anggota-anggota bisa saling berdiskusi satu sama lain untuk saling meneguhkan dan berbagi pengalaman.


Epilog

Memang tak sedikit credit union yang masih harus bergumul dengan permasalahan-permasalahan teknis seperti keanggotaan, administrasi, pengelolaan keuangan, pinjaman bermasalah, dan lain-lain. Tentunya ini merupakan jalan terjal untuk bisa mewujudkan sebuah pelayanan yang memberdayakan anggota dan masyarakat. Pelayanan yang profesional juga merupakan tuntutan yang harus dilaksanakan. Namun kiranya semangat dasar credit union yang tercermin dalam tiga pilar tidak boleh sirna. Hal ini perlu disadari oleh semua pihak, juga oleh para pegiat credit union sendiri. Karena disana telah jelas disebutkan, bahwa credit union pertama-tama bukanlah lembaga keuangan. Credit union pertama-tama adalah lembaga pemberdaya!

 
 
Penulis adalah Panitia Pendidikan CU Dian Padua
Artikel dimuat di Warta Paroki St. Thomas, Kelapadua, Depok, edisi khusus Natal 2012