Selasa, 27 Januari 2009

Menjadi kopdit ramah anak

Menjelang akhir tahun 2008, warga Jakarta dan sekitarnya dikejutkan oleh peraturan baru yang diluncurkan oleh pemprov DKI Jakarta. Intinya, semua sekolah harus mengawali jam belajarnya pada pukul 06.30. Dalam sekejap mata peraturan ini menjadi kontroversi. Pemprov berasumsi, dengan mempercepat waktu belajar, tentunya anak-anak berangkat lebih pagi dan jumlah kemacetan di kota Jakarta akan berkurang. Sebaliknya, sebagian besar orang tua dan pegiat LSM memprotes, karena itu sama saja dengan mengorbankan anak-anak yang saat ini sudah menanggung beban kurikulum yang berat dan harus tidur larut malam untuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Mengapa anak yang harus “dikorbankan” untuk uji coba mengatasi satu masalah? Bukankah masalah kemacetan di Jakarta lebih banyak disebabkan oleh pertambahan jumlah kendaraan bermotor yang tidak sebanding dengan pertambahan jumlah ruas jalan?

Boleh dikatakan, bahwa peraturan yang dikeluarkan Pemprov DKI tersebut potensial berlawanan dengan upaya menciptakan “sekolah ramah anak” dan “lingkungan yang ramah anak”. “Lingkungan yang ramah anak” atau (ide awalnya) “child-friendly city” (kota ramah anak) merupakan gagasan untuk mewadahi sebuah lingkungan yang secara aktif mendukung anak (definisi “anak” adalah mereka yang berusia 0-18 tahun sesuai dengan Konvensi Hak Anak yang diadopsi pula dalam UU Perlindungan Anak No. 23/Th. 2002) dalam pemenuhan dan perlindungan hak-haknya untuk ikut berperan dalam pengambilan keputusan menyangkut kotanya, mengekspresikan pendapat mereka akan kota yang diinginkan, berpartisipasi dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan sosial, menerima pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan, akses ke air bersih dan sanitasi yang higienis, terlindungi dari eksploitasi, kekerasan dan penganiayaan, rasa aman di jalan, bertemu teman dan bermain, memiliki ruang hijau untuk tanaman dan peliharaan, hidup di lingkungan tanpa polusi, berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan budaya, menjadi warga kota yang sama kedudukannya dan memiliki akses yang sama terhadap semua pelayanan publik, tanpa memandang asal-usul, agama dan kepercayaan, pendapatan, gender, atau keterbatasan fisik dan mental. Ide ini awalnya digagas oleh UNICEF, badan internasional PBB yang berfokus pada pendidikan dan kesehatan anak.

Gagasan besar kota layak anak telah diusung oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan diinisiasi oleh Meneg PP dengan menjadikan 15 kota/kabupaten di Indonesia sebagai percontohan kota ramah atau layak anak (2006/2007). Gagasan besar ini juga diadopsi dalam arena yang lebih mikro, yakni bidang pendidikan. Dimana-mana telah bertebaran upaya untuk mewujudkan sekolah ramah anak (child-friendly school), dimana didalamnya pendidikan berjalan lebih manusiawi, tidak ada lagi kekerasan dan pelecehan seksual di sekolah, tidak ada bangunan fisik yang rawan buat anak. Di manca negara, paradigma ramah anak telah merasuk di berbagai sektor. Ini terlihat dengan adanya restoran ramah anak, dokter gigi ramah anak, dan sebagainya. Ternyata ini juga menjadi bentuk tanggung jawab sosial perusahaan terhadap pelanggannya serta meningkatkan kinerja pemasaran mereka.

Lantas, apa hubungannya dengan kopdit?

Merujuk pada rumusan yang menjelaskan istilah “kota ramah anak” di atas, dapat dilihat bahwa anak pun memiliki hak untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial masyarakat, memperoleh dan memiliki akses terhadap semua bentuk pelayanan publik (termasuk keuangan tentunya). Yang perlu direfleksikan, sudahkah pelayanan-pelayanan keuangan (bank dan non bank, termasuk kopdit) mencerminkan sifat ramah anak tersebut?

Menurut hemat penulis, untuk mewujudkan hal tersebut, setidaknya ada 4 faktor yang perlu diperhatikan. Pertama, sarana pelayanan di kopdit itu sendiri. Apakah seorang anak berusia 6 tahun dengan tinggi sekitar 100 cm bisa dengan nyaman mau menyetorkan tabungan di meja kasir yang tingginya 1,5 kali tinggi badannya? Apakah kopdit memiliki ruang kerja yang bersih, nyaman, dan sehat yang layak bagi anggota yang datang bersama anaknya? Apakah tersedia ruang tunggu atau ruang antrian dimana anak bisa merasa nyaman duduk disana menunggu orang tuanya bertransaksi atau justru menunggu antrian untuk menabung? Apakah tersedia air minum matang atau susu sehat bagi anak yang antri menunggu atau justru snack yang banyak mengandung bahan-bahan kimiawi yang justru tidak layak dikonsumsi anak? Sarana-sarana fisik sederhana inilah yang merupakan tampilan awal untuk melihat nuansa kopdit yang ramah anak. Intinya, sarana yang bisa diakses secara aman, nyaman, dan sehat bagi anak. Silakan bandingkan dengan contoh sederhana yang bisa dilihat pada outlet-outlet cepat saji McDonald atau A&W yang menyediakan wastafel khusus yang bisa dijangkau anak untuk mencuci tangannya sendiri.

Kedua, pelayanan kopdit. Apakah para pengurus dan karyawan kopdit memiliki kepekaan yang tinggi terhadap anak dan kebutuhannya? Sudahkah melayani dengan senyum dan sapa? Sudahkah anak merasa nyaman ketika berinteraksi dengan karyawan kopdit atau justru mereka malas datang ke kopdit? Ini dikembalikan pada semangat pelayanan dari setiap karyawan kopdit. Dalam pembekalan-pembekalan mengenai pemasaran dan pelayanan, perlu juga ditekankan bahwa anak juga merupakan sosok yang dilayani. Hari ini atau mungkin pada masa yang akan datang ketika mereka sudah tumbuh dewasa.

Ketiga, pengembangan program-program yang diakses langsung oleh anak. Adakah program-program khusus anak seperti tabungan yang bisa mereka ikuti. Sejauh mana program tabungan itu menarik buat anak, misalnya dengan membuat buku tabungan yang menarik atau penyediaan bonus permainan edukatif? Program semacam ini juga potensial disatukan dengan paket pembelajaran untuk anak, misalnya tentang pendidikan keuangan dini. Jadi terdapat isu pendidikan selain menabung, misalkan tentang kepekaan sosial, kesadaran lingkungan, kepemimpinan, kerja sama, pluralitas, demokrasi, dan lain-lain. Ini bisa menjadi bagian dari tanggung jawab sosial kopdit (credit union social responsibility) yang masih sejalan dengan kegiatan inti (core business) kopdit dan tentunya masih berada di atas rel prinsip kopdit. Satu contoh positif dapat dilihat dalam bentuk lain. Para anggota sebuah lembaga keuangan mikro (LKM) di Kupang (NTT) bersepakat untuk tidak mengambil deviden akhir tahun, melainkan menempatkannya sebagai dana beasiswa bagi pendidikan anak-anak mereka.

Faktor keempat yang tak kalah pentingnya ialah partisipasi aktif orang tua (yang sangat mungkin adalah anggota kopdit) untuk mendorong dan melibatkan anaknya dalam kegiatan-kegiatan kopdit, khususnya menabung. Orang tua dan keluarga merupakan kunci penting dan gerbang pertama dalam pendidikan anak untuk membentuk kesadaran sosial dan finansial mereka. Pondasi untuk membentuk keluarga yang sejahtera bisa dimulai sejak dini. Peran yang bisa dijalankan kopdit ialah memfasilitasi orang tua untuk memperoleh pemahaman dan trik-trik dalam melakukan pendidikan keuangan dini bagi anak, yang dilakukan secara ceria, nyaman, tanpa paksaan, dan berkelanjutan.

Dengan perkembangan gerakan kopdit yang begitu progresif sekarang, perspektif kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan telah menjadi perhatian. Tak dapat dipungkiri pula, bahwa anak yang merupakan sosok paling rentan dalam keluarga juga perlu memperoleh perhatian yang sama. Karena, mereka jugalah tunas-tunas masa depan gerakan kopdit. Setuju?

Artikel dimuat di Buletin Kopdit Melati - Depok no. 10/Tahun IX/17 Desember 2008-17 Januari 2009

Kamis, 22 Januari 2009

Berharap pada kepemimpinan Obama



Berikut ini pidato Barrack “Barry” Hussein Obama dalam acara pelantikannya sebagai presiden ke-44 Amerika Serikat di Capitol Hill – Washington DC, 20 Januari 2009. Mudah-mudahan kepemimpinan Obama yang menjanjikan perubahan positif bagi rakyatnya (slogannya “Change: We can believe in”) juga memberikan kontribusi berarti dalam membuat wajah dunia menjadi lebih baik untuk semua. Better world for all.







My fellow citizens:

I stand here today humbled by the task before us, grateful for the trust you have bestowed, mindful of the sacrifices borne by our ancestors. I thank President Bush for his service to our nation, as well as the generosity and cooperation he has shown throughout this transition.

Forty-four Americans have now taken the presidential oath. The words have been spoken during rising tides of prosperity and the still waters of peace. Yet, every so often, the oath is taken amidst gathering clouds and raging storms. At these moments, America has carried on not simply because of the skill or vision of those in high office, but because We the People have remained faithful to the ideals of our forebearers, and true to our founding documents.

So it has been. So it must be with this generation of Americans.

That we are in the midst of crisis is now well understood. Our nation is at war, against a far-reaching network of violence and hatred. Our economy is badly weakened, a consequence of greed and irresponsibility on the part of some, but also our collective failure to make hard choices and prepare the nation for a new age. Homes have been lost; jobs shed; businesses shuttered. Our health care is too costly; our schools fail too many; and each day brings further evidence that the ways we use energy strengthen our adversaries and threaten our planet.

These are the indicators of crisis, subject to data and statistics. Less measurable but no less profound is a sapping of confidence across our land -- a nagging fear that America's decline is inevitable, and that the next generation must lower its sights.

Today I say to you that the challenges we face are real. They are serious and they are many. They will not be met easily or in a short span of time. But know this, America: They will be met.

On this day, we gather because we have chosen hope over fear, unity of purpose over conflict and discord.

On this day, we come to proclaim an end to the petty grievances and false promises, the recriminations and worn-out dogmas, that for far too long have strangled our politics.

We remain a young nation, but in the words of Scripture, the time has come to set aside childish things. The time has come to reaffirm our enduring spirit; to choose our better history; to carry forward that precious gift, that noble idea, passed on from generation to generation: the God-given promise that all are equal, all are free, and all deserve a chance to pursue their full measure of happiness.

In reaffirming the greatness of our nation, we understand that greatness is never a given. It must be earned. Our journey has never been one of shortcuts or settling for less. It has not been the path for the fainthearted -- for those who prefer leisure over work, or seek only the pleasures of riches and fame. Rather, it has been the risk-takers, the doers, the makers of things -- some celebrated, but more often men and women obscure in their labor -- who have carried us up the long, rugged path toward prosperity and freedom.

For us, they packed up their few worldly possessions and traveled across oceans in search of a new life.

For us, they toiled in sweatshops and settled the West; endured the lash of the whip and plowed the hard earth.

For us, they fought and died, in places like Concord and Gettysburg; Normandy and Khe Sahn.

Time and again, these men and women struggled and sacrificed and worked till their hands were raw so that we might live a better life. They saw America as bigger than the sum of our individual ambitions; greater than all the differences of birth or wealth or faction.

This is the journey we continue today. We remain the most prosperous, powerful nation on Earth. Our workers are no less productive than when this crisis began. Our minds are no less inventive, our goods and services no less needed than they were last week or last month or last year. Our capacity remains undiminished. But our time of standing pat, of protecting narrow interests and putting off unpleasant decisions -- that time has surely passed. Starting today, we must pick ourselves up, dust ourselves off, and begin again the work of remaking America.

For everywhere we look, there is work to be done. The state of the economy calls for action, bold and swift, and we will act -- not only to create new jobs, but to lay a new foundation for growth. We will build the roads and bridges, the electric grids and digital lines that feed our commerce and bind us together. We will restore science to its rightful place, and wield technology's wonders to raise health care's quality and lower its cost. We will harness the sun and the winds and the soil to fuel our cars and run our factories. And we will transform our schools and colleges and universities to meet the demands of a new age. All this we can do. And all this we will do.

Now, there are some who question the scale of our ambitions -- who suggest that our system cannot tolerate too many big plans. Their memories are short. For they have forgotten what this country has already done; what free men and women can achieve when imagination is joined to common purpose, and necessity to courage.
What the cynics fail to understand is that the ground has shifted beneath them -- that the stale political arguments that have consumed us for so long no longer apply. The question we ask today is not whether our government is too big or too small, but whether it works -- whether it helps families find jobs at a decent wage, care they can afford, a retirement that is dignified. Where the answer is yes, we intend to move forward. Where the answer is no, programs will end. And those of us who manage the public's dollars will be held to account -- to spend wisely, reform bad habits, and do our business in the light of day -- because only then can we restore the vital trust between a people and their government.

Nor is the question before us whether the market is a force for good or ill. Its power to generate wealth and expand freedom is unmatched, but this crisis has reminded us that without a watchful eye, the market can spin out of control -- and that a nation cannot prosper long when it favors only the prosperous. The success of our economy has always depended not just on the size of our gross domestic product, but on the reach of our prosperity; on our ability to extend opportunity to every willing heart -- not out of charity, but because it is the surest route to our common good.

As for our common defense, we reject as false the choice between our safety and our ideals. Our Founding Fathers, faced with perils we can scarcely imagine, drafted a charter to assure the rule of law and the rights of man, a charter expanded by the blood of generations. Those ideals still light the world, and we will not give them up for expedience's sake. And so to all other peoples and governments who are watching today, from the grandest capitals to the small village where my father was born: Know that America is a friend of each nation and every man, woman and child who seeks a future of peace and dignity, and that we are ready to lead once more.

Recall that earlier generations faced down fascism and communism not just with missiles and tanks, but with sturdy alliances and enduring convictions. They understood that our power alone cannot protect us, nor does it entitle us to do as we please. Instead, they knew that our power grows through its prudent use; our security emanates from the justness of our cause, the force of our example, the tempering qualities of humility and restraint.

We are the keepers of this legacy. Guided by these principles once more, we can meet those new threats that demand even greater effort -- even greater cooperation and understanding between nations. We will begin to responsibly leave Iraq to its people, and forge a hard-earned peace in Afghanistan. With old friends and former foes, we will work tirelessly to lessen the nuclear threat, and roll back the specter of a warming planet. We will not apologize for our way of life, nor will we waver in its defense, and for those who seek to advance their aims by inducing terror and slaughtering innocents, we say to you now that our spirit is stronger and cannot be broken; you cannot outlast us, and we will defeat you.

For we know that our patchwork heritage is a strength, not a weakness. We are a nation of Christians and Muslims, Jews and Hindus -- and nonbelievers. We are shaped by every language and culture, drawn from every end of this Earth; and because we have tasted the bitter swill of civil war and segregation, and emerged from that dark chapter stronger and more united, we cannot help but believe that the old hatreds shall someday pass; that the lines of tribe shall soon dissolve; that as the world grows smaller, our common humanity shall reveal itself; and that America must play its role in ushering in a new era of peace.

To the Muslim world, we seek a new way forward, based on mutual interest and mutual respect. To those leaders around the globe who seek to sow conflict, or blame their society's ills on the West: Know that your people will judge you on what you can build, not what you destroy. To those who cling to power through corruption and deceit and the silencing of dissent, know that you are on the wrong side of history; but that we will extend a hand if you are willing to unclench your fist.

To the people of poor nations, we pledge to work alongside you to make your farms flourish and let clean waters flow; to nourish starved bodies and feed hungry minds. And to those nations like ours that enjoy relative plenty, we say we can no longer afford indifference to suffering outside our borders; nor can we consume the world's resources without regard to effect. For the world has changed, and we must change with it.

As we consider the road that unfolds before us, we remember with humble gratitude those brave Americans who, at this very hour, patrol far-off deserts and distant mountains. They have something to tell us today, just as the fallen heroes who lie in Arlington whisper through the ages. We honor them not only because they are guardians of our liberty, but because they embody the spirit of service; a willingness to find meaning in something greater than themselves. And yet, at this moment -- a moment that will define a generation -- it is precisely this spirit that must inhabit us all.

For as much as government can do and must do, it is ultimately the faith and determination of the American people upon which this nation relies. It is the kindness to take in a stranger when the levees break, the selflessness of workers who would rather cut their hours than see a friend lose their job which sees us through our darkest hours. It is the firefighter' s courage to storm a stairway filled with smoke, but also a parent's willingness to nurture a child, that finally decides our fate.

Our challenges may be new. The instruments with which we meet them may be new. But those values upon which our success depends -- hard work and honesty, courage and fair play, tolerance and curiosity, loyalty and patriotism -- these things are old. These things are true. They have been the quiet force of progress throughout our history. What is demanded then is a return to these truths. What is required of us now is a new era of responsibility -- a recognition, on the part of every American, that we have duties to ourselves, our nation and the world; duties that we do not grudgingly accept but rather seize gladly, firm in the knowledge that there is nothing so satisfying to the spirit, so defining of our character, than giving our all to a difficult task.

This is the price and the promise of citizenship.

This is the source of our confidence -- the knowledge that God calls on us to shape an uncertain destiny.

This is the meaning of our liberty and our creed -- why men and women and children of every race and every faith can join in celebration across this magnificent Mall, and why a man whose father less than 60 years ago might not have been served at a local restaurant can now stand before you to take a most sacred oath.

So let us mark this day with remembrance, of who we are and how far we have traveled. In the year of America's birth, in the coldest of months, a small band of patriots huddled by dying campfires on the shores of an icy river. The capital was abandoned. The enemy was advancing. The snow was stained with blood. At a moment when the outcome of our revolution was most in doubt, the father of our nation ordered these words be read to the people:

"Let it be told to the future world ... that in the depth of winter, when nothing but hope and virtue could survive... that the city and the country, alarmed at one common danger, came forth to meet [it]."

America. In the face of our common dangers, in this winter of our hardship, let us remember these timeless words. With hope and virtue, let us brave once more the icy currents, and endure what storms may come. Let it be said by our children's children that when we were tested, we refused to let this journey end, that we did not turn back, nor did we falter; and with eyes fixed on the horizon and God's grace upon us, we carried forth that great gift of freedom and delivered it safely to future generations.

Senin, 19 Januari 2009

Jadikanlah aku pembawa damai


Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai

Bila terjadi kebencian,
Jadikanlah aku pembawa cinta kasih

Bila terjadi penghinaan,
Jadikanlah aku pembawa pengampunan

Bila terjadi perselisihan,
Jadikanlah aku pembawa kerukunan

Bila terjadi kebimbangan,
Jadikanlah aku pembawa kepastian

Bila terjadi kesesatan,
Jadikanlah aku pembawa kebenaran

Bila terjadi kecemasan,
Jadikanlah aku aku pembawa harapan

Bila terjadi kesedihan,
Jadikanlah aku sumber kegembiraan

Bila terjadi kegelapan,
Jadikanlah aku pembawa terang

Tuhan, semoga aku lebih ingin menghibur daripada dihibur, memahami daripada dipahami, mencintai daripada dicintai.

Sebab dengan memberi aku menerima,
dengan mengampuni aku diampuni,
dengan mati suci aku bangkit lagi untuk hidup selama-lamanya.

Amin.



Kutipan di atas terambil dari buku “Puji Syukur”, buku doa dan nyanyian gerejawi yang disusun oleh Komisi Liturgi KWI dan diterbitkan oleh Penerbit Obor. Teks yang sama juga saya temukan di buku doa harian Mother Teresa.

Penulis asli teks doa ini adalah (Santo) Ignatius dari Loyola, salah satu pendiri ordo Serikat Jesuit. Sebelumnya, Ignatius adalah seorang panglima perang kerajaan. Sepulangnya dari sebuah pertempuran, ia cedera berat sehingga mengalami kecacatan pada salah satu anggota tubuhnya. Kekurangan itulah yang membuatnya tidak bisa lagi ikut bertempur. Sejak saat itu ia bertekad, “Jikalau aku tidak bisa menjadi prajurit raja, maka aku akan menjadi prajurit Tuhan.” Ia pun membentuk sebuah ordo imam yaitu “Serikat Jesuit”. Hingga saat ini Ordo Serikat Jesuit dikenal progresif dalam hal pelayanan, khususnya pendidikan.

Teks ini cukup menginspirasi saya dan menjadi titik refleksi yang baik. Kiranya semangat yang terkandung dalam teks doa Ignatius di atas juga dapat menjadi inspirasi siapa saja dalam melayani sesama.

Jumat, 09 Januari 2009

THR: Ngga mesti habis kan?

Oleh: Ditto Santoso
“Tunjangan Hari Raya atau THR yang diterima seorang karyawan merupakan penghasilan rutin. Bukan penghasilan tidak terduga alias rejeki nomplok,” demikian seorang konsultan keuangan keluarga pernah berkata. Jadi, seharusnyalah ia menjadi bagian dari perencanaan keuangan rutin, bukan insidentil.

Dalam Permenaker No. 04/1994, disebutkan bahwa perusahaan wajib memberikan THR Keagamaan bagi karyawannya. Setiap karyawan menerimanya secara rutin per tahunnya dan jumlah yang diterima pun sudah ditentukan besarannya. Dengan “status” yang rutin diterima ini, seharusnyalah seorang karyawan sudah bisa merencanakan terlebih dulu, akan dimuarakan kemana dana itu.

Terlepas dari soal kehadiran THR ini signifikan atau tidak dalam keuangan keluarga, yang pasti pengelolaan dan penggunaannya perlu direncanakan terlebih dulu. Salah satu langkah awalnya adalah dengan membuat perencanaan penggunaan uang THR untuk melakukan “kewajiban internal”. Contohnya, memberikan THR kepada pembantu rumah tangga, sopir, keluarga dekat yang membutuhkan (ortu, saudara), atau bahkan berbagi kepada anggota masyarakat di sekitar tempat tinggal yang juga membutuhkan dana untuk berhari raya tetapi nasibnya kurang beruntung.

Berikutnya, janganlah lupa menyisihkan sebagian uang THR untuk ditabung sebagai dana darurat. Tabungan darurat ini memang bukan merupakan bentuk investasi, melainkan untuk berjaga-jaga apabila terjadi hal-hal yang kurang diinginkan selama masa hari raya. Contohnya, ada anggota keluarga yang sakit pada saat perjalanan mudik. Dengan demikian, bentuknya bisa berupa dana tunai yang bisa diakses sewaktu-waktu (dalam perjalanan atau ketika sedang berada di desa terpencil) atau yang tersimpan dalam rekening bank yang ATM-nya mudah ditemukan dimana-mana.

Anda juga perlu membuat daftar barang yang diperlukan pada saat hari raya. Seperti kue atau makanan ringan yang disajikan bagi sanak-keluarga atau relasi yang berkunjung ke rumah. Bahkan jika tidak sempat bersilaturahmi secara fisik, mungkin via berkirim kartu, SMS, atau email. Bukankah itu membutuhkan alokasi dana juga? Ingatlah untuk tidak “lapar mata” manakala berbelanja. Prioritaskan mana yang menjadi kebutuhan, dan mana yang hanya keinginan saja. Jika Anda juga bermaksud membeli barang-barang kebutuhan pokok, sebaiknya hindari berbelanja mendekati masa-masa hari raya, karena hampir dapat dipastikan harganya sedang terkerek naik.

Mungkin perlu menjadi masukan juga, bahwa saat menerima uang THR merupakan saat yang tepat pula untuk menutup atau paling tidak mengurangi kewajiban Anda. Kewajiban ini bisa berupa angsuran kredit atau tagihan-tagihan lainnya. Mengapa? Karena ketika Anda sedang berniat melakukan penghematan, maka gaji bulanan pun masih dapat dioptimalkan. Bukankah dalam bulan-bulan lainnya juga terjadi seperti itu? Janganlah menggunakan even hari raya sebagai momentum untuk kembali menambah hutang, dengan alasan modal untuk mudik.

Terakhir, jika masih terdapat kelebihan dari uang THR yang telah Anda belanjakan sesuai perencanaan yang Anda buat, sebaiknya manfaatkanlah sisa dana tersebut untuk ditabung atau diinvestasikan. Hari raya bisa Anda nikmati, kemerdekaan finansial pun kelak akan Anda nikmati juga. Anda setuju?


Dimuat dalam Buletin Info Bina Swadaya edisi 240/Tahun XX/November 2005 (diolah dari Tabloid Bisnis Uang No. 11 / 23 Desember 2004 - 5 Januari 2005)

Selasa, 06 Januari 2009

Titik Nol Kilometer





Oleh: Ditto Santoso


Tahukah Anda bahwa titik nol kilometer NKRI yang sebenarnya bukan berada di Kota Sabang (Pulau Weh) seperti lagu “Dari Sabang Sampai Merauke”? Faktanya, ujung terbarat negara kita terletak di Dusun Rinon-Desa Maringgi di Pulau Breueh, tetangga dekat Pulau Weh. Kata ”rinon” berasal dari tulisan ”RI Nol” pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Warga setempat yang belum fasih berbahasa Indonesia melafalkannya dengan ”rinon”.

Bina Swadaya menugaskan saya ke pulau yang pernah dikenal sebagai pusat produksi ganja di Aceh itu. Saya dan beberapa kawan ditugaskan membuat village assesment bagi sebuah lembaga kemanusiaan internasional.

Terlintas rasa gamang ketika diminta berangkat kesana selama kurang lebih 1 bulan. Pertama, harus meninggalkan istri dengan 2 balita (salah satunya baru berumur 2 bulan, sementara yang lainnya sedang sakit). Kedua, kondisi cuaca perairan di Indonesia sedang tidak bagus. Banyak hujan dan angin, ombak pun sedang tinggi. Kaum nelayan menyebutnya dengan ”musim barat”. Ketiga, daerah yang akan dituju merupakan daerah endemi malaria. Tapi, ini semua merupakan konsekuensi tugas yang harus dijalani.

Ketika tiba di pulau itu awal Juni lalu, kondisi yang ditemukan justru lebih parah. Pulau ini boleh dikatakan ”terisolir”. Untuk ber-SMS atau bertelepon harus mencari ”hot spot” di lokasi yang lebih tinggi, seperti digantung pada dahan pohon. Akibatnya, rata-rata HP warga setempat memiliki tali gantungan. Wartel tidak ada, warung makan amat sangat sedikit jumlahnya, listrik hanya menyala dari jam 6 sore hingga jam 12 malam, dan kondisi kesehatan lingkungan (water and sanitation) memprihatinkan.

Bercakap-cakap dengan beberapa guru yang sudah ditempatkan dalam hitungan tahun disana, terlontar ungkapan stres mereka sejak tahun pertama. Muridnya yang kelas 6 SD belum tentu lancar membaca huruf latin. Di sisi lain, kesejahteraan para guru juga terabaikan. Mereka harus tinggal di barak-barak bekas pengungsi, sementara warga asli rata-rata sudah memperoleh bantuan rumah. Di bidang pertanian dan perikanan, belum pernah ada intervensi dari dinas terkait. Ternyata persepsi umum bahwa daerah tertinggal hanya terdapat di kawasan timur Indonesia tidaklah sepenuhnya benar. Bagaikan gajah di pelupuk mata namun tak tampak, Pulau Breueh merupakan satu contoh daerah tertinggal di kawasan barat Indonesia.

Tapi, tebak sisi positifnya. Minimal buat diri sendiri. Pertama, pasti ada pembelajaran dan petualangan baru yang akan saya alami. Kedua, bisa jalan-jalan gratis ke pulau terbarat Indonesia. Ketiga, “cuci” paru-paru gratis alias bebas dari udara Jakarta yang sarat dengan polusi selama 1 bulan. Keempat, pasti asyik kalau bisa makan ikan laut dari perairan yang juga bebas polusi lingkungan, lagi-lagi selama 1 bulan penuh. Hmm...

Kita lompat sedikit. Pernah membaca kisah “Who Moved My Cheese”? Dikisahkan ada beberapa ekor tikus yang bernama Aci, Beci, dan Cici (sebut saja demikian). Tikus-tikus ini menemukan sepotong besar keju yang amat lezat. Begitu menemukan keju itu, si Aci lantas memotong bagiannya, membawa pergi, dan memakannya hingga habis. Ia pun kekenyangan. Badannya menjadi terlalu gendut untuk bergerak. Lain halnya dengan si Beci. Ia memakan potongan keju bagiannya sedikit demi sedikit. Terlena oleh “kekayaan” yang dimilikinya, lama-kelamaan keju itupun habis tanpa disadari.

Bagaimana dengan si Cici? Si Cici menyadari bahwa jika ia mengkonsumsi keju bagiannya, ia akan merasa kenyang, hasrat laparnya terpenuhi. Tapi ia bertanya-tanya, apakah kebutuhan pangannya itu akan terpenuhi dalam jangka waktu yang lama. Jangan-jangan ia akan terlena dalam sebuah kondisi atau zona nyaman (comfort zone). Si Cici mencoba belajar dari pengalaman kedua temannya, si Aci dan Beci, yang seolah terlena di tengah fasilitas yang dimiliki. Si Cici pun menantang dirinya untuk berani melangkah keluar dari comfort zone itu. Keju itu tidak akan selamanya ada. Untuk terus berlanjut hidup, ia harus mencari keju yang lain sebelum kejunya benar-benar habis. Ia pun kembali berkelana mencari keju yang lain untuk dapat disimpan di gudangnya.

Kondisi yang dialami oleh si Aci, Beci, dan Cici bukan tidak mungkin terjadi pada diri individu atau organisasi. Disinilah titik tolak dari paradigma manusia pembelajar ataupun organisasi pembelajar (learning organization). Bagaimana memandang diri atau organisasi untuk selalu peka terhadap posisinya. Salah satunya, dengan menguji atau menantang diri atas berbagai dinamika perubahan yang terjadi di sekitarnya.

Sementara itu, berada di comfort zone membuat segalanya terasa nyaman, segalanya sudah tercukupi sehingga apapun yang terjadi akan terasa baik-baik saja. Segala masalah sudah bisa teratasi dengan kapasitas yang sudah dipandang cukup dan segala pihak (atau bahkan diri sendiri) memandang diri sudah sangat hebat.

Hal serupa saya alami sebagaimana diceritakan pada awal tulisan ini. Berusaha menantang kegamangan yang bergaung dalam comfort zone pikiran kita. Membangkitkan ide-ide positif yang mungkin bisa diperoleh. Memanggil keluar semangat pembelajaran (learning spirit) yang menempatkan diri ibarat wadah kosong yang siap diisi dengan berbagai hal baru yang akan menguatkan diri nantinya. Sebagai sebuah wadah yang siap diisi, perlu niat positif untuk merendahkan hati, mengosongkan isi pikiran (emosi, asumsi, persepsi, intelektualitas). Disanalah hati dan pikiran akan membuka diri untuk menerima masukan baru. Dari sanalah sebuah proses pembelajaran berawal. Ibaratnya memulai dari titik nol kilometer. Dan dengan bantuan penuh dari Sang Pemberi Rahmat Pembelajaran Terbesar, saat ini saya pun sedang melakukannya.

Salam pembelajar!



Artikel ini dimuat di Buletin INFO Bina Swadaya edisi Juli 2007

Keluarga sejahtera: Saluran berkat bagi sesama


Oleh : Ditto Santoso


Fakta! Penghasilan tidak pernah cukup?

”Aduuh! Bagaimana, sih? Gaji sudah naik, penghasilan tambahan sudah di tangan. Kenapa ya selalu saja tidak cukup? Habis bulan, habis duit. Jangankan menunggu bulan habis. Pertengahan bulan saja sudah habis?!”

Pernah berada dalam situasi seperti ini? Ataukah justru ”selalu” berada dalam keadaan seperti ini? Kira-kira, apa yang menyebabkannya terjadi? Setiap tahun gaji selalu mengalami kenaikan. Setiap saat pula bisnis sampingan memberikan kontribusi positif pada kantong kita bertambah. Deposito di bank juga tidak pernah berhenti memberikan bunga bulanan. Apa gerangan penyebabnya?

Manakah diantara faktor-faktor ini yang mempengaruhi ketidakcukupan penghasilan kita setiap bulannya. Inflasi yang selalu (lebih) tinggi? Hutang yang berlebih? Gaya hidup? Pengeluaran yang besar pasak daripada tiang (cicak nguntal cagak)? Inikah masalah yang umum dihadapi oleh keluarga-keluarga Indonesia? Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk mengatasinya?


PKK: Sudahkah diamalkan?


Mengarungi kehidupan berkeluarga dengan segala dinamikanya acap kali diibaratkan “mengayuh biduk rumah tangga” untuk menjemput impian yang menanti di dermaga tujuan. Kita (bersama pasangan hidup) merupakan ”nahkoda” dari kapal tersebut. Sebagai nahkoda, tentunya kita memerlukan kompas. Fungsinya sebagai pedoman atau penunjuk arah agar biduk kita nantinya tidak tersesat dalam ketidakpastian atau terdampar di pulau tak bertuan akibat didera badai dan gelombang samudera.

Diterjemahkan dalam bahasa yang lebih praktis, kita memerlukan sebuah rencana untuk bisa mencapai sebuah tujuan dalam perekonomian keluarga kita. Inilah yang umumnya disebut dengan ”perencanaan keuangan keluarga” (kita singkat ”PKK” saja untuk mempermudah) atau family financial planning atau jamak juga disebut ”ekonomi rumah tangga”. Mengapa PKK? Coba, deh, tebak, mengapa...
PKK merupakan proses merencanakan keuangan untuk mencapai tujuan-tujuan keuangan jangka pendek maupun jangka panjang. Cara pencapaiannya bisa dalam bentuk menabung ataupun melakukan investasi. Tahap-tahap yang perlu dilakukan dalam PKK ialah mengetahui dimana posisi keuangan keluarga kita saat ini dengan melihat neraca, menetapkan tujuan keuangan keluarga, merancang anggaran, dan akhirnya melaksanakan. Ketika proses pelaksanaan telah berjalan pun, kita juga perlu melakukan review untuk melihat kembali sejauh mana rencana yang ada perlu disesuaikan.

Mari kita mencoba melakukan langkah-langkah sederhana tersebut dengan disiplin dan cermat. Demi sebuah keluarga yang sejahtera!


Apa yang perlu diperhatikan?



Berikut ini adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merencanakan dan mengelola keuangan keluarga:

· Pandai-pandailah memilah antara kebutuhan (needs), keinginan (wants), dan nafsu (desires).
· Kembangkan komunikasi keluarga, khususnya dalam hal keuangan, agar terjadi pembicaraan yang mengarah pada sesuatu yang positif bagi kesejahteraan keuangan keluarga.
· Utamakan tabungan dan investasi (tabungan pendidikan, deposito, reksadana) dengan meletakkannya pada prioritas teratas dalam pos-pos pengeluaran kita.
· Kelolalah pos-pos pengeluaran dengan bijak, seperti biaya telepon, listrik, sosial, busana-aksesoris, dan barang elektronik. Belilah jika memang membutuhkan, lebih baik anggarkan sebelumnya, utamakan barang berkualitas karena lebih tahan lama), lakukan kombinasi pemanfaatan barang-barang tertentu, dan lakukan survei untuk mencari tempat yang menjual dengan harga lebih murah.
· Alokasikan dana cadangan atau dana taktis untuk keperluan darurat. Misalkan, tiba-tiba ada anggota keluarga yang jatuh sakit tapi tidak tercover oleh asuransi.
· Siapkan dana untuk cadangan risiko (asuransi) dan dana pensiun. Ingatlah untuk selalu berpikir antisipatif.
· Cermatlah dalam mengelola kredit. Bandingkan sejauh mana kredit dibandingkan dengan total penghasilan yang kita peroleh.
· Pertimbangkan untuk berpijak di dua kuadran. Sudahkah terpikir untuk mencari sumber pendapatan tambahan?
· Selalu bermula dari kebiasaan. Kebiasaan yang tidak efektif dan efisien dalam mengelola keuangan keluarga selalu bermula dari hal-hal kecil yang lama-kelamaan makin membesar. Oleh karena itu, untuk menjalankan sesuatu yang positif, kita pun dapat memulainya dari hal-hal yang kecil saja. Meminjam istilah ”3M” dari A’a Gym, ”Mulailah dari yang kecil, mulailah dari diri sendiri, dan mulailah sekarang.”


Keluarga sejahtera, saluran berkat



Siapapun dalam dunia ini pasti memiliki cita-cita untuk hidup sejahtera. Tuhan pun tidak menghendaki umatNya hidup berkesusahan. Ia ingin umatNya hidup berkelimpahan jasmani dan rohani. PKK merupakan satu cara untuk bisa mulai mewujudkan cita-cita keluarga sejahtera. Apakah yang bisa dilakukan setelah mengetahui dan menerapkannya? Tentunya berkat Tuhan yang tercurahkan dalam keluarga kita yang sejahtera ini juga harus dibagikan kepada orang lain. Karena dengan demikian, kita pun turut menjadi saluran berkat bagi sesama. Bagaimana caranya?

· Jangan lupakan hukum berbagi. Tengoklah di sekeliling, bukankah Tuhan menghendaki kita untuk berbagi dengan sesama yang membutuhkan? Ada hukum perpuluhan yang sahih bagi umat kristiani atau dua setengah persen dari penghasilan umat muslim merupakan hak dari orang-orang miskin.
· Pelajari lebih banyak hal terkait dengan PKK dan terapkanlah, sehingga kita dapat lebih memaksimalkan diri dalam mengelola perekonomian keluarga menuju keluarga sejahtera. Sekali lagi, yang amat penting, bagilah pengetahuan ini kepada tetangga, sahabat, dan kerabat yang mungkin masih memerlukan bantuan untuk dapat mengelola kehidupan ekonomi keluarganya.
· Mulailah pendidikan mengenai pengelolaan keuangan bagi anak sejak usia dini. Pendidikan keuangan keluarga sejak dini akan menghantar anak-anak pada sikap bijak dalam mengelola keuangan mereka nantinya.
· Doronglah wacana pentingnya topik PKK dalam kursus-kursus praperkawinan, paguyuban-paguyuban pasutri, atau dalam kelompok-kelompok arisan di tempat kerja maupun di rumah.

Ada ide lain? Mari mewujudkan keluarga yang sejahtera dan jadilah saluran berkat bagi sesama.



Dimuat di Buletin Kopdit Melati Depok edisi 17 Nov - 17 Des 2008