Oleh: Ditto Santoso
Dalam melayani masyarakat miskin, beberapa model keuangan mikro menggunakan strategi: pendekatan kelompok. Sebut saja yang dilakukan LSM dengan membentuk KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat), beranggotakan para pelaku usaha mikro dengan simpan-pinjam sebagai kegiatan utamanya. Ada beberapa model kelompok yang diadopsi dari manca negara, seperti Grameen Bank dan ASA (Association for Social Advancement), dengan keunikannya masing-masing. Kelompok-kelompok yang dikelola Grameen, misalnya, beranggotakan kaum perempuan dan memiliki 16 ikrar atau janji yang harus ditaati. Berangkat dari pendekatan tersebut, dibutuhkan berbagai program peningkatan kapasitas (capacity building) guna meningkatkan kemampuan anggota dalam dinamika kelompoknya. Beberapa kebutuhan itu antara lain ketrampilan memimpin, mengelola pembukuan, menghitung laba-rugi, menghitung pembagian SHU (sisa hasil usaha), penganggaran, dan audit. Kebutuhan-kebutuhan ini dapat dijawab melalui program-program pelatihan dengan pendekatan yang beragam, seperti pelatihan inclass, outbound, field study, maupun dalam bentuk magang.
Apapun bentuk atau model pelatihan yang diterapkan, diperlukan satu tahap penting yang harus dilalui, yaitu mendesain program pelatihan itu sendiri. Untuk mendesain sebuah program pelatihan, perlu diperhatikan beberapa prinsip berikut:
Penjajagan kebutuhan. Pelatihan diselenggarakan untuk mengajarkan sesuatu yang tidak diketahui atau tidak bisa dilakukan oleh seorang, bukannya mengajarkan apa yang mereka tahu atau yang bisa mereka lakukan. Untuk mengetahuinya, perlu dilakukan PKP (Penjajagan Kebutuhan Pelatihan) atau need assessment.
Keragaman pengalaman belajar. Proses belajar akan menjadi menarik bagi peserta pelatihan apabila menggunakan alat bantu (seperti pemutaran film, presentasi dengan OHP) serta strategi belajar yang variatif (mulai dari ceramah, buzz groups, studi kasus, permainan, maupun role play).
Keterlibatan peserta secara aktif. Terdapat banyak cara untuk melibatkan peserta dalam proses belajar secara aktif. Diantaranya dengan meminta mereka mengemukakan harapan akan pelatihan tersebut, membagi mereka dalam kelompok-kelompok diskusi, melibatkan mereka dalam proses PKP, serta memberikan pre test dan post test.
Mengurangi ketegangan dan kecemasan. Peserta pelatihan biasanya merasa tidak “nyaman”, karena tidak mengetahui arah dan tujuan pelatihan. Pada awal pelatihan perlu dijelaskan alur, kerangka materi, dan tujuan pelatihan. Perlu juga membuat sesi perkenalan dalam bentuk permainan. Apabila peserta sudah mulai jenuh, perlu dikembangkan pemecah kebekuan suasana dengan icebreaker atau energizer.
Relevansi dengan dunia nyata. Materi pelatihan harus selaras dengan kehidupan nyata peserta. Sekali lagi, disinilah letak pentingnya PKP sebelum mendesain program pelatihan. Untuk proses belajar dalam kelas dapat menampilkan kasus-kasus yang riil sesuai dengan kondisi yang dihadapi sehari-hari atau menampilkan kisah sukses seseorang.
Dihubungkan dengan pengalaman peserta. Para peserta tentu sudah memiliki pengetahuan atau pengalaman yang terkait dengan topik pelatihan itu. Penghargaan terhadap wawasan tersebut akan memacu motivasi mereka untuk terlibat lebih aktif.
Bertumpu pada daya serap peserta. Daya serap peserta berbeda-beda, ada yang cepat mengerti hanya dengan mendengarkan atau melihat. Oleh karena itu diperlukan berbagai media. Dalam membahas topik kepemimpinan, misalnya, bisa dilakukan dengan permainan dimana peserta diajak merefleksikannya dalam permainan tersebut.
Penerapan materi pelajaran. Peserta perlu diajak untuk mengalami sendiri apa yang sudah diajarkan. Misalnya, untuk membahas masalah pembukuan, tidak cukup hanya dengan mendengarkan ceramah. Peserta harus menerapkan teorinya dengan pengerjaan soal-soal, bahkan mengalaminya dalam bentuk magang.
Pengulangan untuk membantu pemahaman. Sampaikan apa yang akan diajarkan, demonstrasikan, minta peserta untuk melakukannya, dan diskusikan apa yang diperoleh dari proses tersebut. Meminta peserta membaca referensi, mengerjakan studi kasus, atau mempresentasikan pengalaman belajar pada hari sebelumnya, merupakan bentuk pengulangan yang dapat menambah pemahaman.
Fokus pada kualitas. Pelatihan yang berkualitas diawali dengan proses PKP dan berlanjut dengan desain. Terkadang ada fasilitator yang lebih mendahulukan terpenuhinya target materi, sedangkan proses belajarnya sendiri terabaikan. Seharusnya tidak perlu terpaku pada “target setoran”, tetapi lebih pada kualitas penyajian dan tingkat pemahaman peserta.
Rencana tindak lanjut. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk membuat rencana tindak lanjut, misalkan dengan membuat kegiatan bersama pasca pelatihan atau membentuk jejaring di antara alumni pelatihan sebagai wahana tukar informasi. Fasilitator perlu dilibatkan dengan memintanya untuk melakukan kunjungan konsultatif.
Evaluasi. Umpan balik dari peserta sangat diperlukan untuk lebih meningkatkan kualitas pelatihan yang telah dirancang.
Artikel ini disarikan dari “Designing Training Programmes”, Dick Leatherman, 1990.
Dimuat di rubrik UMKM Harian Republika yang dikelola oleh PNM pada ... April 2004.
Dapat dilihat pula di http://www.pnm.co.id/content.asp?id=745&mid=54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar