Rabu, 11 Februari 2009

Pengembangan UKM berbasis ekowisata

Oleh: Ditto Santoso
Beberapa waktu lalu kita berduka dengan terjadinya bencana alam di daerah aliran Sungai Bahorok, Sumatera Utara. Banjir besar dan tanah longsor menewaskan banyak jiwa. Di antara mereka yang tertimpa bencana tersebut, terdapat sepasang wisatawan asal Jerman. Mereka terlanda banjir bandang saat berenang di sungai. Untunglah keduanya selamat. Pasangan suami-istri itu sedang melakukan penelitian mengenai eksistensi orang utan di kawasan Gunung Leuser. Keduanya sedang berwisata dan melakukan kegiatan yang berorientasi pada kelestarian sumber daya alam di wilayah tersebut. Apa yang mereka lakukan merupakan satu wujud dari kegiatan ekowisata.
Ekowisata atau ecotourism merupakan gagasan yang mempertemukan sektor industri wisata dengan upaya pelestarian (konservasi) alam di daerah yang menjadi tujuan wisata. Ecotourism Society mendefinisikan ekowisata sebagai “sebuah perjalanan ke daerah-daerah yang alami untuk memahami budaya dan sejarah lingkungan daerah tersebut, serta menjaga untuk tidak mengubah kesejatian ekosistemnya, sementara proses kegiatan wisata yang terjadi dapat menciptakan peluang ekonomi dan pelestarian sumber daya alam yang bermanfaat bagi masyarakat setempat”.
Dalam perkembangannya, muncul pula istilah sustainable tourism atau “wisata berkelanjutan” yang dipahami sebagai “kebutuhan wisatawan saat ini dan mereka yang menjadi tuan rumah kunjungan yang selalu berupaya untuk menjaga dan menciptakan peluang di masa depan. Wisata berkelanjutan dipandang sebagai suatu langkah untuk mengelola semua sumber daya yang secara sosial dan ekonomi dapat dipenuhi dengan memelihara integritas budaya, proses-proses ekologi yang mendasar, keragaman hayati, dan unsur-unsur pendukung kehidupan lainnya” (Urquico, 1998).
Sementara dalam konteks regulasi lokal (Indonesia), UU No. 9/1990 menyebut ekowisata sebagai kelompok-kelompok objek dan daya tarik wisata, yang diperkuat oleh Perpu No. 18/1994, sebagai perjalanan untuk menikmati gejala keunikan alam di taman nasional, hutan raya, dan taman wisata alam.
Memang banyak definisi yang dilontarkan oleh para pakar maupun praktisi ekowisata. Berbagai istilah pun muncul, seperti green tourism, nature tourism, responsible tourism, dan lainnya. Benang merah dari berbagai istilah dan definisi tersebut mengarah pada pelestarian lingkungan dan sumber daya alam, penghargaan terhadap budaya asli, partisipasi, pendidikan, dan pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan. Low Choy dan Heillbronn (1996) menyebut beberapa hal itu sebagai faktor-faktor dasar yang menjadi prinsip utama ekowisata.
Indonesia memiliki peran cukup besar dalam menghembuskan wacana pariwisata alternatif dan berkelanjutan di wilayah Asia Tenggara. Topik ini dimunculkan pada Konferensi PATA (Pacific Area Travel Association) yang diselenggarakan di Bali tahun 1991 dengan mengusung tema besar “Enrich the Environment”. Bahkan, sejak akhir 1980, wacana mengenai ekowisata juga telah berkembang di Indonesia. Pada tahun 1995, dari kalangan LSM muncul inisiatif untuk membentuk jaringan yang dinamakan INDECON (Indonesian Ecotourism Network). Jaringan pengembangan ekowisata lokal yang juga berkembang adalah JED (Jaringan Ekowisata Desa) yang dimotori oleh Yayasan Wisnu di Bali. Bahwa pariwisata merupakan industri dengan pertumbuhan tercepat di dunia (WTO/World Tourism Organization, 2000), melibatkan 657 juta kunjungan wisata ke seluruh dunia pada tahun 1999, mendistribusikan 455 miliar dolar penerimaan ke seluruh dunia, dan diproyeksikan akan mencapai 937 juta kunjungan pada tahun 2010 (Aryanto, 2003) merupakan fakta global yang patut dicermati.
Dalam konteks lokal, Indonesia sebagai sebuah negara megadiversity (Suhandi, 1999) memiliki 17.508 pulau dengan panjang garis pantai 81.000 km merupakan potensi yang sangat besar. Data dari Ditjen Pariwisata juga menunjukkan, bahwa sampai dengan Juni 1999, terdapat peningkatan kontribusi bidang kawasan dan wisata secara signifikan dari 4,91 persen pada tahun 1990 menjadi 9,59 persen di tahun 1999, dengan peningkatan investasi dari Rp 3 triliun (tahun 1990) menjadi Rp 33 triliun (tahun 1999). Indonesia sendiri duduk dalam peringkat keenam dalam Top 20 Tourism and Destinations in East and the Pacific (WTO, 1999). Fakta yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa secara ekonomi, ekowisata berpotensi membawa dampak yang besar bagi masyarakat lokal di sekitar lokasi tujuan wisata. Bentuk riilnya adalah wujud usaha kecil dan menengah (UKM) berbasis ekowisata yang tumbuh dari masyarakat atau pengelolaan objek wisata oleh koperasi lokal.
Bagaimana masyarakat bisa menjadi organizer bagi kegiatan wisata yang bergairah di wilayahnya? Umumnya hal ini juga tidak lepas dari pelaku bisnis wisata (travelling agency) yang sudah memiliki jejaring dan pasar yang lebih luas. Artinya, UKM perlu pula berjejaring dengan pelaku wisata lainnya. Kemudian dalam proses jejaring dan kerja sama tersebut dapat disekapakati komposisi pembagian keuntungan yang fair. Dengan demikian, proses ini akan membawa dampak (salah satunya) peningkatan pendapatan masyarakat setempat. Di sisi lain, masyarakat juga dapat memasarkan daerahnya sendiri tanpa harus bekerja sama dengan biro wisata.
Bentuk teknis konkret yang dapat dikerjakan oleh masyarakat, antara lain (Sumarwoto, 1999):
  1. Akomodasi. Bentuk akomodasi yang lebih bersifat kekeluargaan atau tidak formal dengan model homestay atau family house. Pendapatan akan mengalir dari hunian kamar, jumlah tamu yang datang (dan menginap), serta sajian makanan ataupun hiburan kesenian lokal. Di Bali, terdapat para petani yang setiap pagi hingga petang mencangkul di sawah, sementara pada malam harinya mereka melakukan pertunjukan tari Ramayana, dimana uang hasil pertunjukan dikelola secara bersama oleh mereka.
  2. Transportasi. Penyediaan jasa transportasi oleh masyarakat lokal dapat dimanfaatkan pula oleh wisatawan. Misalnya penyewaan perahu untuk melakukan perjalanan ke daerah aliran sungai.
  3. Pemandu. Keberadaan pemandu dan porter merupakan hal yang penting dalam perjalanan ke daerah yang alami dan masih asli. Pemandu lokal tentunya lebih mengenal daerahnya, asal-usul, maupun makna-makna lokal yang tersirat, sementara porter akan membantu mempermudah perjalanan.
  4. Kerajinan tangan. Bentuk lain yang juga bisa disajikan sebagai produk UKM atau masyarakat lokal adalah hasil kerajinan tangan ataupun pernik-pernik unik lain yang bersifat khas daerah tersebut.

Satu hal yang tidak boleh diabaikan, terutama dalam kaitannya dengan ekowisata, adalah pelestarian lingkungan dan penghargaan atas budaya setempat. Dalam konteks ini, wisatawan dapat diajak untuk mengunjungi bahkan terlibat dalam kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh masyarakat setempat, seperti memancing, menumbuk padi, atau membuat barang kerajinan. Donasi dalam bentuk dana yang diberikan oleh wisatawan dapat dikelola dan diarahkan untuk mendorong kegiatan pengembangan masyarakat maupun pertumbuhan UKM yang terkait dengan wisata.

Aspek pelestarian lingkungan dan penghargaan atas budaya setempat yang terjadi merupakan bagian dari dampak non ekonomi. Dengan adanya kunjungan wisata dan masukan unsur pemberdayaan yang tepat, maka pola-pola perilaku seperti penebangan hutan secara liar, perburuan hewan langka, dan pertambangan liar dapat direduksi. Sederhananya, pola pencaharian dapat beralih ke sektor wisata yang lebih menguntungkan dan ramah lingkungan.

Tantangan yang umum dihadapi dalam bidang ekowisata antara lain: pertama, soal pemasaran yang tentunya terkait dengan jejaring atau kemitraan dengan pelaku wisata lain; kedua, kualitas SDM dalam pengelolaan kegiatan ekowisata di tingkat desa atau akar rumput (grassroot); ketiga, yang tak kalah penting adalah menjaga keselarasan antara misi peningkatan taraf sosial-ekonomi masyarakat lokal dengan pelestarian sumber daya hayati. Dari segi pengembangan UKM berbasis ekowisata itu sendiri, yang juga perlu diperhatikan adalah aspek permodalan. UKM berbasis ekowisata perlu memperkuat potensinya sehingga mampu “menjual diri” ke lembaga keuangan dan mampu menggaet kucuran kredit pada sektor ekowisata, suatu ranah yang dipandang sebagai ceruk pasar (niche market) namun berpotensi besar untuk berkembang seiring dengan tumbuhnya kesadaran masyarakat akan lingkungan sekitarnya.

Artikel dimuat di rubrik UMKM Harian Republika pada tanggal ... Desember 2003.

Artikel juga dapat dibaca di http://www.pnm.co.id/content.asp?id=693&mid=54

Tidak ada komentar:

Posting Komentar