Rabu, 11 Februari 2009

Membangun kemandirian LPUM

Oleh: Ditto Santoso
Penguatan usaha kecil-mikro dalam bentuk pendampingan usaha (business development service), telah dilakukan oleh kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai Lembaga Pendampingan Usaha Mikro (LPUM) jauh sebelum isu ini menjadi trend. Penguatan kapasitas usaha mikro dilakukan baik sebagai program berkelanjutan maupun dalam kerangka “proyek”. Istilah “proyek” disini mengacu pada kegiatan temporer dalam jangka pendek yang didukung pendanaan dari lembaga donor. Pertanyaan bagi LPUM yang didukung lembaga donor, apakah kegiatan pendampingan itu bisa terus berlanjut setelah lembaga donor menghentikan dukungannya? Dengan kata lain, sampai kapankah ketergantungan itu berlanjut? Sebab, ketergantungan LPUM kepada lembaga donor sangat berlawanan dengan prinsip kemandirian yang merupakan esensi dari proses pengembangan masyarakat (Holloway: 2001).
Menurut Viravaidya dan Hayssen (2001), pendekatan yang dilakukan untuk mengurangi ketergantungan kepada lembaga donor dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, mencari lembaga donor baru dengan pendekatan yang lebih efektif. Kedua, mendesain ulang program dimana prosesnya akan melibatkan klien atau pemanfaat program melalui kontribusi dana partisipatif. Ketiga, mengembangkan pendekatan baru untuk menggali dana dan berusaha mengurangi ketergantungan kepada lembaga donor.
Kepergian lembaga donor mendorong munculnya terobosan (breakthrough) yang sifatnya inovatif dalam menghadapi kebutuhan sosial yang kompleks. Dengan menitikberatkan pada pemecahan masalah dan inovasi sosial, wacana mengenai “kewirausahaan sosial” (social entrepreneurship) telah menggeser sekat-sekat “tradisional” yang membatasi arena kerja sektor publik, swasta yang profit oriented, dan sektor nirlaba (kalangan LSM/LPUM).
Beberapa pakar telah memberikan definisi mengenai kewirausahaan sosial. Definisi yang cukup lengkap dikemukakan oleh J. Gregory Dees (1998): “Social entrepreneurs play the role of change agents in the social sector by adopting a mission to create and sustain social value (not just private value); recognizing and relentlessly pursuing new opportunities to serve that mission; engaging in a process of continuous innovation, adaptation, and learning; acting boldly without being limited by resources currently in hand; and exhibiting a heightened sense of accountability to the constituencies served and for the outcomes created”.
Meskipun penjelasan para pakar amat heterogen, dapat dikatakan bahwa istilah kewirausahaan sosial mewakili gambaran terobosan-terobosan kreatif dan inovatif yang mencoba menerapkan cara-cara baru dalam komunitas organisasi nirlaba dengan mengabaikan sekat-sekat antar-sektoral dengan tujuan mewujudkan organisasi mandiri, berkelanjutan, dan mampu mengemban misi sosialnya.
Fenomena kewirausahaan sosial sebenarnya telah ada sejak lama, namun istilahnya baru mengemuka pada dekade 1990-an. Penekanan definitif kewirausahaan sosial dimaksudkan untuk lebih memberikan pembedaan dengan kewirausahaan yang berorientasi bisnis murni. Ini tampak dari definisi yang dikemukakan dalam CAFO (Conference of Asian Foundations and Organizations) yang menyatakan bahwa: “Social entrepreneurship involves the promotion and building enterprises or organizations that create wealth, with the intention of benefiting a defined constituency, usually the public at large or the less endowed sectors of society”.
Bentuk konkret kewirausahaan sosial yang umum ditemukan adalah penciptaan peluang kerja bagi orang-orang yang terpinggirkan (cacad, pengangguran, tuna wisma), dimana aktivitas kerja produktif akan membuahkan profit yang dapat digunakan untuk memberikan penghasilan dan mengangkat kondisi sosial-ekonomi mereka. Menurut Fowler (2000), hal ini dikategorikan sebagai integrated social entrepreneurship, dimana keuntungan yang dihasilkan dapat secara simultan menciptakan keuntungan sosial (social benefits). Bentuk lain yang dapat dijumpai adalah penciptaan unit usaha mandiri yang keuntungannya dialokasikan untuk menunjang misi sosial lembaga tersebut, jadi tidak secara langsung menciptakan keuntungan sosial (complementary social entrepreneurship).
Patut disimak pengalaman Population and Community Development Association (PDA) di Thailand dan Bina Swadaya di Indonesia, dalam melakukan kewirausahaan sosial ini. Baik PDA maupun Bina Swadaya merupakan LSM yang telah menunjukkan keberlanjutan serta kemandirian lembaga dalam karya-karya pengembangan masyarakat. PDA didirikan tahun 1974 di Thailand dengan mencanangkan program social marketing untuk penggunaan kontrasepsi di pedesaan. Program yang mendapat dana grant itu didukung oleh 16.000 sukarelawan distributor dan mengenakan kontribusi bagi para pengguna produk kontrasepsi bersangkutan. Kesuksesan program tersebut mendorong PDA untuk memperluas aktivitasnya dalam meningkatkan perikehidupan masyarakat pedesaan dengan proyek-proyek kesehatan, air bersih, pemasaran hasil bumi, dan industri rumah tangga. Dalam melakukan aktivitas income generating, PDA membentuk sebuah payung bagi unit-unit usahanya yang dinamakan “Population Development Company Limited” (PDC). PDC merupakan sebuah entitas bisnis yang keuntungannya dialokasikan bagi aktivitas pengembangan masyarakat PDA. PDA yang menargetkan untuk menjadi lembaga yang 100 persen mandiri pada akhir dekade 2000-an, mengelola beberapa unit usaha, seperti klinik kesehatan di Bangkok dan ibukota propinsi lainnya, restoran “Cabbages and Condoms”, mini swalayan, toko barang kerajinan, dan penjualan suvenir yang khas sesuai dengan gerakan lembaga dengan mengedepankan isu keluarga berencana. Pertumbuhan restoran Cabbages and Condoms merupakan contoh positif mengenai sebuah usaha yang semula kecil dapat tumbuh menjadi usaha yang memberikan keuntungan berarti. Kini restoran Cabbages and Condoms beroperasi di sebuah bangunan di samping kantor PDA, menjadi salah satu restoran terkenal di Bangkok, dan bisa memperoleh pendapatan kotor sebesar 75 ribu dolar AS per bulan, dan mempunyai cabang di kota-kota lain. Pada tahun 1988, PDA mengembangkan program inovatif yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas usaha mikro dipedesaan dengan mempertemukannya dengan kalangan perusahaan swasta. Program ini disebut “Thai Business Initiative in Rural Development” atau “TBIRD”. Hingga tahun 2001, TBIRD telah menghubungkan 1500 perusahaan dalam 280 proyek dengan masyarakat pedesaan.
Di Indonesia terdapat Bina Swadaya, sebuah LSM yang telah berusia 36 tahun, memiliki kantor wilayah di 21 kota/kabupaten di seluruh Indonesia, mendampingi sekitar 2.000 KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) dimana anggotanya adalah para pengusaha mikro yang tidak tersentuh oleh lembaga keuangan formal. Beberapa unit usaha yang semuanya berbadan hukum PT, telah mampu memberikan keuntungan bagi LSM ini antara lain: Majalah “Trubus”, penerbitan buku pertanian dan teknologi tepat guna, percetakan, wisma pelatihan, BPR (Bank Perkreditan Rakyat), jasa konsultansi pengembangan masyarakat, dan pariwisata alternatif (ecotourism). Saat ini Bina Swadaya telah mampu memenuhi 90 persen kebutuhan pendanaannya, sedangkan sisanya berasal dari lembaga donor.
Bertolak dari pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa kemandirian serta berlanjutan LPUM merupakan kebutuhan yang mutlak. Kemandirian akan mampu mengantarkan LPUM untuk tetap menjalankan misinya tanpa harus dibayangi oleh kehawatiran ketiadaan dana, sekaligus menjadi contoh konkrit bagi usaha mikro yang mereka dampingi.
Siapkah LPUM menjadi lembaga yang mandiri dan berkelanjutan melalui aktivitas kewirausahaan sosial? Tidak ada kata terlambat jika ingin mencoba memulai dari langkah-langkah kecil. Quo vadis LPUM paska dukungan lembaga donor?
Artikel ini dimuat di rubrik UMKM Harian Republika yang diasuh oleh PNM pada ... Oktober 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar