Oleh: Ditto Santoso
Kemiskinan merupakan sebuah kata yang mungkin saat ini selalu bergema di telinga kita manakala menyaksikan tayangan di televisi atau berita-berita media massa yang menggambarkan betapa minimnya keadaan hidup anak manusia di satu belahan dunia tertentu. Mungkin saja hal itu kita saksikan di Afrika, Asia, bahkan mungkin tidak jauh dari tempat kita, di negara kita sendiri, Indonesia. Dalam konteks Indonesia telah sering kita melihat berbagai program yang dirancang pemerintah untuk menaggulangi kemiskinan. Sebut saja program IDT (Inpres Desa Tertinggal), JPS (Jaring Pengaman Sosial), dan PDM-DKE (Program Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi). Sepertinya tak akan pernah habis kita berbicara apabila menyangkut masalah kemiskinan di republik yang genap berusia 58 tahun ini. Terkait dengan hal tersebut, muncul pertanyaan, apakah negeri ini hanya berdiri sendiri menghadapi kemiskinan yang meluas di berbagai penjuru wilayahnya?
Tentu saja “tidak”. Memasuki milenium ketiga, kemiskinan telah menjadi isu global yang perlu untuk dipecahkan bersama. PBB menyelenggarakan sebuah pertemuan akbar yang disebut “Millenium Summit” pada tanggal 6-8 September 2000. Pertemuan tersebut berhasil merumuskan dokumen “The United Nations Millenium Declaration” (TUNMD) dimana dalam pengantarnya Sekjen PBB Kofi Annan menegaskan bahwa kemiskinan merupakan salah satu pertanyaan besar yang harus dijawab oleh seluruh negara di dunia, Dalam dokumen TUNMD tersurat butir-butir penting yang disepakati dalam pertemuan yang dihadiri oleh 147 kepala negara dan pemerintahan di seluruh dunia tersebut. Butir-butir penting itu disebut “Millenium Development Goal 2015”. Intinya terdapat beberapa sasaran yang disepakati menjadi target bersama seluruh negara di dunia, khususnya dalam penanggulangan kemiskinan. Salah satu yang dapat disebutkan disini adalah pada tahun 2015 semua negara dapat menurunkan angka kemiskinan dan kelaparan hingga setengah dari jumlah yang ada sekarang. Perlu diketahui, bahwa jumlah orang miskin di dunia 1,2 miliar jiwa atau 1 dari 6 orang di dunia itu miskin.
Bertolak dari realita tersebut, sebuah pertemuan akbar lain yang diselenggarakan oleh para pegiat kredit mikro seluruh dunia diadakan di Washington DC pada bulan Februari 1997. Pertemuan yang disebut “Microcredit Summit” ini mengibarkan kampanye global untuk menjangkau 100 juta keluarga termiskin di dunia, khususnya kaum perempuan, dengan kredit mikro untuk menciptakan lapangan kerja mandiri dan kegiatan keuangan mikro yang berkelanjutan sebagaimana tertuang dalam 4 tema inti pertemuan. Semangat yang menjadi pendorong dalam pertemuan itu dan kampanye-kampanye selanjutnya adalah dorongan untuk memusatkan perhatian pada kaum termiskin (the poorest of the poor) di negara-negara miskin dan berkembang dimana mereka merupakan 50% dari orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Pendekatan konvensional
Pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah bagaimana mengidentifikasi kaum miskin yang membutuhkan pelayanan. Banyak kejadian yang dialami oleh lembaga-lembaga yang bergerak di bidang pengembangan masyarakat maupun pengembangan keuangan mikro bagi masyarakat miskin yang kurang atau bahkan tidak mampu menjangkau kaum miskin itu sendiri. Yang umum terjadi bahwa kaum masyarakat termiskin sering menjadi eksponen paling akhir terjangkau oleh program-program pembangunan. Menilik dari pengalaman-pengalaman tersebut, dapat dilihat bahwa lembaga yang ingin melayani masyarakat miskin justru terjebak karena tidak dapat menjangkau sasaran yang tepat. Ini dikarenakan kekurangtepatan lembaga dalam melakukan identifikasi kemiskinan di masyarakat.
Metode-metode yang jamak dilakukan dalam mengidentifikasi kemiskinan di masyarakat saat ini umumnya belum menjawab pertanyaan masyarakat mana yang akan dilayani. Sebagai contoh, apabila kita bermaksud mengidentifikasi masyarakat miskin di pedesaan dengan berpatokan pada kondisi fisik rumah, apakah hal itu bisa menjadi dasar yang sahih? Di wilayah pedesaan di Pulau Jawa umumnya orang akan mendapati rumah warga yang cukup besar, berlantai keramik, dan kondisi cukup nyaman. Namun ketika ditengok, belum tentu rumah itu berisi perabotan layaknya orang yang hidup cukup. Rumah itu cenderung kosong melompong. Lalu, jika ditanyakan kepada empunya rumah, berapa lama dia membangun rumah sebesar itu, mungkin jawabnya akan mengejutkan. Mungkin 5 tahun, 10 tahun, atau mungkin 15 tahun. Mengapa bisa terjadi? Di wilayah pedesaan masih terdapat banyak lahan kosong untuk dibangun rumah, jadi orang masih punya peluang membangun rumah berukuran besar (berbeda dengan di kota besar yang lahan kosong sudah sangat minim). Sementara warga desa tersebut tidak bisa serta merta membangun rumah besar itu, karena kondisi sosial-ekonomi keluarga tidaklah mampu. Jalan keluarnya dia membangun rumah setahap demi setahap dan itu membutuhkan waktu tahunan. Tahun pertama hanya mampu membuat pondasi, tahun kedua mengumpulkan genteng, tahun ketiga mengumpulkan kayu, tahun kelima mengumpulkan batu-bata, dan seterusnya. Disinilah letak salah satu kelemahan metode konvensional.
Hal kedua yang perlu disorot dari metode konvensional adalah partisipasi masyarakat itu sendiri. Ketika sebuah identifikasi kemiskinan dilakukan tanpa melibatkan partisipasi warga masyarakat didalamnya lalu kemudian digulirkan sebuah program “bantuan” kepada orang-orang yang tergolong “miskin”, acap kali yang terjadi adalah kecemburuan sosial. Mengapa? Sebab dalam pandangan warga masyarakat setempat, warga yang memperoleh bantuan bukanlah tergolong warga yang miskin di lingkungan tempat tinggal mereka. Masyarakat setempat memiliki pandangan atau konsep tersendiri mengenai kemiskinan di wilayah tinggal mereka. Inilah yang umum disebut sebagai “kearifan lokal”. Dalam mengidentifikasi kemiskinan di masyarakat, unsur kearifan lokal perlu dihargai. Masyarakatlah yang lebih mengetahui keadaan di wilayahnya daripada orang luar yang datang membawa seperangkat alat untuk melihat kemiskinan di wilayah mereka.
Pendekatan alternatif
Bertolak dari kritik terhadap metode-metode identifikasi kemiskinan yang konvensional, telah dikembangkan metode-metode alternatif dalam melakukan kegiatan tersebut, yaitu CHI (Cashpoor House Index) dan PWR (Participatory Wealth Ranking). Kedua perangkat ini dipandang murah dan mudah diterapkan.
CHI dilaksanakan dengan menguji rumah calon warga dampingan (calon penerima bantuan) untuk menentukan apakah keluarga itu tergolong miskin atau tidak. Pengujian dilakukan dengan cara memeriksa ukuran, kualitas bangunan, dinding, dan atap setiap rumah serta menetapkan nilai-nilai tertentu pada setiap kondisi. Proses berikutnya dilakukan dengan tes aset sebagai cara untuk memverifikasi dan pemastian tingkat kemiskinan.
PWR merupakan alternatif yang dipandang lebih partisipatif dengan mengedepankan partisipasi warga masyarakat dan kesetaraan gender. Metode ini diterapkan dengan melibatkan seluruh warga masyarakat di suatu dusun atau desa untuk terlibat didalamnya. Metode ini juga dipandang sebagai pengembangan mutakhir atas teknik-teknik yang tercakup dalam PRA (Participatory Rural Appraisal) yang selama ini banyak digunakan dalam memetakan permasalahan, potensi, dan kebutuhan masyarakat yang akan dilayani. Nilai lebih dari metode ini selain mengedepankan partisipasi dan kesetaraan gender adalah pengakuan dari 29 lembaga donor yang tergabung dalam CGAP (Consultative Group to Assist the Poorest). Ini menunjukkan bahwa lembaga-lembaga penting yang terlibat dalam pengambilan keputusan di tingkat dunia telah memandang penting adanya perangkat atau metode partisipatif untuk mengidentifikasi kemiskinan masyarakat.
Menurut Dr. DSK Rao, organizer Microcredit Summit Campaign (organ kampanye kredit mikro secara global) wilayah Asia, dari 994 lembaga yang menyerahkan datanya, 716 lembaga (72%) telah melakukan pengukuran kemiskinan lebih dari sekadar mengira-ira saja, melainkan menggunakan perangkat tertentu. Lalu 324 lembaga (45%) dalam jumlah tersebut telah menggunakan salah satu dari CHI dan PWR. Ini merupakan peningkatan sebesar 166% dari para pegiat pengembangan masyarakat yang menggunakan perangkat pengukuran kemiskinan pada tahun 2002 dan merupakan peningkatan 312% dalam 2 tahun terakhir. Partisipasi adalah semangat yang perlu dikedepankan dalam membangun dan bekerja bersama masyarakat, karena itu merupakan saluran dimana suara masyarakat bisa digemakan.
Sudahkah kita mengangkatnya sebagai semangat dalam karya-karya kita?
Artikel ini dimuat di rubrik UMKM Harian Republika pada ... Agustus 2003.
Artikel juga dapat dibaca di http://www.pnm.co.id/content.asp?id=550&mid=54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar