Senin, 21 Desember 2009

Eight Habits for Higly Effective Credit Union Member


Terbersit salah satu lontaran yang diungkapkan oleh pihak manajemen Kopdit Melati dalam Evaperca 2009 yang berlangsung pada akhir November lalu, bahwa salah satu hal yang selalu dikedepankan oleh gerakan kopdit ialah mendorong perubahan perilaku anggota-anggotanya. Perubahan perilaku yang dimaksud ialah insan-insan kopdit semakin mampu dalam mengelola ekonomi keluarganya dalam upaya mewujudkan kesejahteraannya serta semakin mantap dalam berkopdit, rajin menabung, rajin mengangsur, meningkatkan kapasitas dirinya, serta rajin mewartakan kopdit sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan ekonominya.


Terinspirasi oleh “Seven Habits of Highly Effective People” (7 kebiasaan efektif untuk orang-orang efektif) yang dicetuskan oleh Stephen Covey dan kini telah menjadi “Eight Habits” (8 kebiasaan), insan-insan kopdit pun dapat menjadikannya sebagai acuan untuk membentuk dirinya menjadi lebih baik sebagai anggota kopdit.


Jadilah proaktif (be proactive). Hidup Anda dikendalikan oleh diri Anda sendiri, bukan oleh orang lain. Jika ingin hidup sukses, maka niatan itu harus berawal dari diri sendiri dan harus dimulai sekarang. Pikirkan apa yang harus dan bisa Anda lakukan sebagai insan kopdit untuk mencapai kehidupan yang sukses. Pertimbangkan apa saja sumberdaya yang bisa dioptimalkan di sekitar Anda, termasuk di dalam kopdit tentunya.


Mulailah dengan akhir pikiran (begin with the end in mind). Selalu berpikir mengenai tujuan akhir terlebih dulu, baru pikirkan cara dan langkah untuk mencapainya. Tujuan utama kopdit dan semua anggotanya ialah mewujudkan kesejahteraan bersama. Kesanalah kita hendak melangkah. Tujuan besar ini hendak dicapai dengan cara apa? Menabung? Meminjam? Berinvestasi? Berwirausaha? Lalu, langkah apa yang harus dilakukan?


Dahulukan yang utama (put first things first). Insan kopdit perlu mempertimbangkan apa yang menjadi prioritas dalam kehidupannya. Dengan kata lain, cermatilah mana yang menjadi “kebutuhan” dan mana pula “keinginan”. Tempatkan kebutuhan sebagai prioritas, baru berpikir soal keinginan.


Berpikir menang-menang (think win-win). Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa berinteraksi dengan orang lain untuk mencapai tujuan hidupnya. Berpikirlah bahwa ada orang lain yang juga ingin sukses. Bagaimana agar Anda sukses, orang lain juga ikut sukses. Contoh konkret dalam kopdit, berdisiplinlah dalam menabung dan mengangsur, karena aliran uang itu juga akan dimanfaatkan oleh sesama anggota lainnya untuk mencapai tujuan hidupnya pula. Kopdit adalah sarana untuk mencapai kesejahteraan bersama, tidak sekadar kesejahteraan individu.


Berusahalah memahami sebelum minta dipahami (seek first to understand and then to be understood). Manusia dianugerahi dua telinga dan satu mulut karena Tuhan menginginkan manusia untuk lebih banyak mendengarkan daripada didengarkan. Amatilah selalu kondisi di sekitar sebelum mengambil keputusan. Pahami kesepakatan bersama yang dibuat oleh seluruh anggota kopdit sehingga itu bisa menjadi landasan dasar untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Saling mengkritisi secara konstruktif juga menjadi bagian dari upaya pengembangan diri maupun kelembagaan kopdit secara keseluruhan.


Bersinergilah (synergize). Insan kopdit memiliki kewajiban moral untuk peduli pada perkembangan kopditnya. Jika kopdit sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bersama berkembang, maka secara alami anggota pun akan merasakan dampak positifnya. Jadi, janganlah selalu berpikir apa yang bisa diberikan kopdit untuk Anda, tapi berpikirlah juga tentang apa yang bisa Anda berikan untuk kopdit sesuai dengan kompetensi Anda. Sinergikan kekuatan Anda dan kopdit, lalu lihat apa yang bisa diwujudkan. Ingatlah, kopdit adalah milik kita bersama, bukan milik pengurus atau manajemen semata.


Asahlah gergaji Anda (sharpen the saw). Guru terbaik tidak hanya ditemukan di kelas-kelas atau ruang-ruang kursus. Guru-guru terbaik juga dapat ditemui di “universitas kehidupan” yang terbentang luas di depan mata. Melalui kopdit, para anggota didorong untuk mengembangkan diri melalui program-program pendidikan. Namun diluar itu mereka juga harus memiliki motivasi besar sebagai “manusia pembelajar”. Ingatlah, bahwa belajar itu dimulai sejak dari kandungan hingga menjelang masuk liang kubur. Belajar untuk apa? Untuk mengembangkan diri kita dalam banyak hal. Mengembangkan diri untuk apa? Untuk semakin meningkatkan kualitas hidup kita.


Temukan visi Anda dan doronglah orang lain untuk menemukan visinya (find your vision and inspire others to find their vision). Bersyukurlah pada Sang Pemberi Hidup, bahwa Anda masih diberikan kesempatan untuk bergabung dalam gerakan kopdit yang memiliki tujuan mulia. Sudahkah Anda membagikan pengalaman yang sangat berharga ini kepada orang lain dimanapun Anda berada? Menjalankan Member Get Member (AMAL: Anggota Mencari Anggota Lain) tidak sekadar karena ada dorongan memperoleh insentif, melainkan karena itu merupakan bagian dari dakwah kehidupan alias berbagi kebaikan kepada orang lain. Bukankah itu wajib hukumnya?

Rumusan “Eight Habits” terlihat sangat sederhana. Tapi menjalankan tidaklah semudah membaca dan memahami. Mari mencoba menempa diri sebagai insan-insan kopdit yang tangguh, memberikan diri untuk diri, keluarga, lingkungan, serta kopdit tempatnya bergabung dalam mencapai tujuan yang lebih besar dan mulia.


Selamat menyongsong sukses di tahun 2010.




Artikel ini dimuat di Buletin Kopdit Melati edisi 9/Th. X 17 Nov - 17 Des 2009

Udara: Kerelaan untuk Memberi

Hasta Brata Ekonomi Keluarga (8)
Oleh: Ditto Santoso


Indonesia adalah negeri yang rawan bencana! Kesadaran itu mulai menyeruak di reluang hati masyarakat Indonesia manakala gempa dahsyat disusul tsunami meluluhlantakkan Aceh. Berbagai gerakan untuk menyalurkan bantuan datang sambung-menyambung. Tak hanya bantuan berupa dana dan barang, ratusan bahkan mungkin ribuan orang turun tangan sebagai relawan untuk turut membantu masyarakat memulihkan diri pasca bencana.

Dorongan untuk memberi atau berbagi dengan sesama yang membutuhkan merupakan dorongan alami yang muncul dari dalam lubuk hati manusia. Meskipun demikian, masyarakat Indonesia yang umumnya religius ini juga didorong oleh ajaran agamanya untuk berbuat demikian. Dalam ajaran kristiani, umat diajarkan untuk berbagi dalam bentuk perpuluhan, kolekte, atau aksi puasa menjelang Paskah. Sedangkan dalam ajaran Islam, umat juga didorong untuk menyisihkan sekian persen dari pendapatannya, karena itu merupakan hak dari orang miskin.


Lho, bagaimana harus memberi jika keluarga kita sendiri masih dilanda kesulitan ekonomi? Argumen ini sering mengemuka ketika kita dihadapkan pada dorongan untuk berbagi. Namun mudah pula dipatahkan, karena untuk memberi tidak harus dimulai dengan sesuatu yang besar, untuk bisa memberi tidaklah harus kaya. Pernahkah Anda memperhatikan kisah seorang anak seusia sekolah dasar yang datang ke kantor sebuah media yang sedang menyalurkan dana bantuan kemanusiaan? Ia membawa celengannya yang berisi tabungan yang dikumpulkan dari uang recehan sisa jajan. Ia menyatakan ingin membantu orang yang sedang ditimpa bencana alam. Betapa mulianya hati anak itu. Mengingatkan pada pernyataan reflektif almarhumah Bunda Teresa, seorang pegiat kemanusiaan yang memperjuangkan orang miskin di India, “Tidak semua orang bisa melakukan hal-hal besar. Tapi setiap orang bisa melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar.”


Bukankah dengan memberikan sesuatu untuk orang lain justru akan mengurangi keuntungan yang sedang kita kumpulkan? Pertanyaan tersebut juga akan memprovokasi benak kita. Seorang penulis, pendidik, serta perintis penyembuhan holistik bernama Dheepak Chopra, dalam bukunya berjudul “The Seven Spiritual Laws of Success” (“Tujuh Hukum Spiritual menuju Sukses”, 1994), menyatakan bahwa hukum spiritual kedua yang perlu dipatuhi agar seseorang mencapai kesuksesan hidup ialah the law of giving (hukum memberi) atau bisa juga disebut "the law of giving and receiving" (hukum memberi dan menerima). Menurut Chopra, kehidupan merupakan suatu aliran dari berbagai energi. Menghentikan aliran energi kehidupan sama halnya dengan menghentikan aliran darah dalam tubuh manusia. Ketika darah berhenti mengalir atau membeku, kita bisa menebak, apa yang terjadi pada diri manusia itu.

Dalam ikhtiar untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga, “uang” dapat dipandang sebagai sebuah energi kehidupan. Kita semua setuju bahwa bekal utama hidup berkeluarga adalah cinta. Tapi dalam operasional keluarga sehari-hari uang menjadi unsur penting. Jika uang juga sebuah energi kehidupan, maka “menimbun” atau “menahan” uang untuk semata-mata memenuhi keinginan pribadi tanpa menyalurkannya sama halnya dengan menghentikan aliran energi kehidupan yang seharusnya mengalir keluar dan nantinya akan kembali lagi pada diri kita. Untuk menjaga agar energi tetap mengalir dan kembali lagi pada diri kita, energi itu harus tetap mengalir. Energi itu harus kita berikan kepada orang lain agar nantinya juga akan kembali pada diri kita. Semakin banyak energi disalurkan, makin banyak pula energi yang akan kembali.


John M. Huntsman, seorang usahawan yang memperoleh banyak penghargaan internasional (lulusan terbaik Wharton University; 1994: Kaveler Award untuk CEO terbaik di industry kimia; 2001: Entrepreneur of the Year; 2003: penghargaan kemanusiaan dari Larry King-CNN), bisa menjadi contoh tentang bagaimana dengan memberi ia menerima lebih banyak. Ia sudah memiliki mentalitas member sejak masih bergumul sebagai seorang penjual telur yang sederhana. Semakin besar penghasilannya, semakin besar pula ia memberi. Ia telah menyumbangkan 225 juta US dolar untuk lembaga yang menangani penyakit kanker dan 50 juta US dolar untuk bidang pendidikan. Kebiasaan memberi yang dilakukan Huntsman membuahkan hal-hal positif bagi dirinya, meskipun tidak berbentuk uang. Hal terpenting yang diperolehnya ialah dukungan dan bantuan dari banyak orang, terutama mereka yang telah menerima pertolongan darinya, baik dalam bentuk moral maupun finansial.


Unsur alam kedelapan dalam rangkaian tulisan Hasta Brata untuk Ekonomi Keluarga ialah “udara”. Udara merupakan unsur alam yang memenuhi permukaan bumi ini. Ia tidak tampak dan tidak disadari keberadaannya, tapi dapat dirasakan manfaatnya. Seperti halnya mengelola keuangan keluarga, udara pun memberikan dirinya untuk dihirup oleh manusia. Saat manusia bernafas, ia menghirup oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida. Karbon dioksida menjadi sumber energi kehidupan bagi tanaman untuk tumbuh dan menghasilkan sesuatu. Hasil dari tanaman itu pulalah yang akan dimanfaatkan oleh manusia. Jika orang menjadi sejahtera dari segi finansial, maka jangan lupakan untuk membagikan energi kehidupan yang dimiliki agar alirannya tetap mengalir. Jadilah “udara” yang selalu memberikan dirinya untuk segenap makhluk ciptaan Tuhan di bumi ini.



Artikel ini dimuat di Buletin Kopdit Melati - Depok edisi 9/Th. X, 17 Nov - 17 Des 2009

Selasa, 01 Desember 2009

Langit: Saatnya Berpikir Luas

(Hasta Brata untuk Ekonomi Keluarga ke-7)

Oleh: Ditto Santoso



Suatu hari di tahun 2039…


Lewat tengah hari, Pak Tono tampak melangkahkan kaki di atas trotoar jalan di kompleks perumahan tempat tinggalnya yang dikenal sangat asri di kotanya. Penampilannya yang sederhana dilenglapi oleh setelan jas model lama yang dipopulerkan 2 tahun lalu. Ia mengepit sebuah tas kulit tua yang isinya berupa dokumen-dokumen yang dia perlukan hari itu. Laki-laki pensiunan itu memang baru saja kembali dari bank untuk mengambil uang pensiun bulanannya. Antri di bank betul-betul melelahkan meskipun sistem transfer rekening sudah diterapkan, masih banyak orang yang suka antri di bank. Sambil bercengkrama dengan sesama pensiunan lainnya.


Berbelok ke sebuah jalan, Pak Tono melewati sebuah rumah yang rindang. Merdu terdengar suara kicau burung perkutut yang saat ini sudah langka. Sekarang ini orang lebih suka mendengarkan suara perkutut dalam bentuk rekaman audio digital yang bisa dipasang di radio maupun di tape pada mobil. Benar-benar langka kalau ada yang masih memeliharanya di tahun 2039. Tersadarlah Pak Tono. Itu rumah Pak Banu, sahabat sejak muda sekaligus tetangga beda RW.


“Pak Tono, mampir, Pak,” terdengar suara dari arah rumah. Tampak seorang laki-laki seusia Pak Tono sedang asyik duduk di teras rumah sembari membuka laptop. “Lama kita ngga ketemu nih…”


Masuklah Pak Tono ke halaman rumah Pak Banu yang asri. Pak Banu langsung menyambut dan memeluk sahabatnya itu. Tampaknya memang cukup lama mereka saling tidak bertemu. Pak Banu pun mempersilakan Pak Tono masuk dan bergabung dengannya di teras rumah yang dinaungi oleh suasana asri dan udara yang segar. Mereka pun saling bertanya kabar keluarga masing-masing dan mulai berbincang-bincang mengenai banyak hal.


“Kok Pak Banu di rumah saja? Tidak ikut antri ambil uang pensiun di bank?” tanya Pak Tono setelah menyeruput teh manis yang dihidangkan oleh Bu Banu.


Pak Banu pun tertawa kecil. “Nyante aja kalee’, Pak. Soal uang pensiun diambil belakangan juga bisa, mau transfer pun bisa,” katanya. “Saya tidak terlalu mengandalkan uang pensiun itu untuk hidup sehari-hari. Saat ini saya hanya menikmati jerih-payah yang sudah kurintis sejak 30 tahun lalu.”


Pak Tono pun mengernyitkan keningnya pertanda kurang mengerti. Setahunya, Pak Banu sama seperti dirinya. Sekian puluh tahun bekerja sebagai karyawan di perusahaan. Waktu pensiunnya pun hamper bersamaan. Tapi memang ia agak bingung juga melihat Pak Banu begitu menikmati hidup. Sekali waktu menengok anak-cucunya di luar pulau. Di lain waktu mengajak istrinya berlibur ke tempat yang jauh yang dimata Pak Tono itu bakalan menghabiskan uang pensiun yang dimiliki. Atau jangan-jangan Pak Banu punya “resep rahasia”?

“Tiga puluh tahun lalu saat saya sudah memasuki masa kerja hampir 10 tahun lamanya, saya tersadar bahwa hidup ini penuh dengan risiko,” kata Pak Banu. “Saat itu, saya punya 3 anak. Istri saya tidak lagi bekerja karena ingin berkonsentrasi merawat anak di rumah. Maklumlah, kalau di tahun 2039 ini pembantu rumah tangga berbentuk robot yang canggih, di zaman 30 tahun lalu kan belum ada. Jadi kami tidak mau anak kami dirawat oleh pembantu rumah tangga.”


Pandangan Pak Banu menerawang jauh seolah mengenang kisah hidupnya yang penuh dengan perjuangan. “Saya sadar bahwa saya tidak bisa mengandalkan pendapatan dari 1 sumber saja, karena sangat riskan. Maklumlah, gaji sebagai karyawan pada waktu itu kan kecil.”

Pak Tono manggut-manggut mendengarkan kisah sahabatnya itu dengan seksama.


“Saya membaca sebuah artikel di buletin koperasi kredit tempat saya menjadi anggota. Isinya tentang Hasta Brata dalam pengelolaan ekonomi keluarga. Salah satu brata yang dimaksud ialah langit. Cobalah kita melihat langit itu,” kata Pak Banu sembari mendongakkan kepalanya melihat langit biru di atas sana. Pak Tono pun mengikuti dengan melihat langit di atas. Ia berpikir, apa yang diperoleh dari langit itu oleh Pak Banu. Hujan uangkah?


“Langit amat luas. Tak berbatas. Di sana kita bisa temukan berbagai benda angkasa yang mungkin belum pernah kita temui sebelumnya. Banyak sekali hal yang bisa ditemukan disana,” lanjut Pak Banu kemudian. “Terinspirasi oleh langit, saya mencoba berpikir terbuka. Berpikir keluar dari kotak. Bahasa kerennya, thinking out of the box. Saya berpikir, apa yang bisa dilakukan untuk meminimalisir risiko karena hanya memiliki 1 sumber penghasilan. Coba pikir, mana bisa keluarga kami bertahan dengan penghasilan segitu-gitu saja.”


Pak Banu menyeruput teh buatan istri tercintanya. “Saya berbicara dengan istri saya untuk membuat strategi peningkatan pendapatan. Istri saya pun berupaya membuat warung kecil-kecilan. Modalnya diperoleh dari pesangon yang diperolehnya. Sementara saya berpikir untuk mencari jenis-jenis investasi yang menguntungkan. Mengapa investasi? Karena saya pikir, waktu saya sudah tersita banyak untuk bekerja. Lalu, di luar waktu kerja saya harus meluangkan waktu untuk bersama keluarga. Lha kalau saya kerja lagi, kapan kumpulnya dengan anak-istri?”


Lagi-lagi Pak Tono manggut-manggut. “Bener juga yach… dulu saya tidak terpikir untuk itu. Saya pikir uang pensiun dari perusahaan dan Jamsostek sudah cukup. Padahal biaya hidup sekarang kan sudah jelas lebih tinggi daripada 30 tahun lalu.”


“Ibarat langit yang luas, saya juga mencoba berpikir luas. Akhirnya saya temukan beberapa pilihan untuk berinvestasi untuk keperluan hari tua, meskipun perusahaan sudah memfasilitasi dengan adanya dana pensiun dan Jamsostek. Pertama, ada tabungan hari tua yang diprogramkan oleh koperasi kredit. Setiap menerima gaji, saya langsung sisihkan dana untuk tabungan ini. Kedua, saya mencoba menggunakan instrumen keuangan lain yang relatif aman dan terjangkau, misalkan deposito dan reksadana. Ketiga, saya join dengan adik saya yang lulusan farmasi membuat sebuah apotek kecil pada waktu itu. Apotek itu sekarang sudah berkembang dengan menyediakan praktek dokter dan laboratorium, serta sudah memiliki beberapa cabang.”


“Modalnya?” tanya Pak Tono lagi.


“Saya kan anggota setia koperasi kredit. Saya meminjam hanya untuk keperluan produktif, yaitu untuk investasi dan usaha.”


“Ck ck ck…” Pak Tono terheran-heran. “Luarrr biasa! Sungguh Pak Banu seorang yang visioner. Selama ini saya pikir Pak Banu hanya orang yang rajin ke kantor saja. Rajin tapi penghasilan rata-rata saja.”


“Hahaha! Saya kan juga tidak ingin menjadi karyawan ‘BP7’, Pak…” Pak Banu tertawa.


“Apa itu ‘BP7’?”


“Berangkat Pagi Pulang Petang Penghasilan Pas-pasan sampai rumah Pingsan Pula!”


Tawa kedua sahabat itupun berderai.


Sungguh perjumpaan dengan Pak Banu hari itu membuat Pak Tono luar biasa terinspirasi. Mungkin sudah terlambat baginya, namun tidak buat anak-anaknya yang sedang merintis karier dari nol saat itu. Ia akan membagikan kisah sukses Pak Banu itu bagi anak-anaknya di rumah. Bahwa untuk bisa menghadapi tantangan kehidupan ekonomi keluarga, kita perlu berpikir keluar dari kotak dan mencari terobosan-terobosan baru. Peluang akan selalu ada dan menanti untuk ditemukan!



Artikel dimuat di Buletin Kopdit Melati Depok edisi no. 5 / Tahun X (17 Juli - 17 Agustus 2009)





Api: Tegas Melawan Diri

(Hasta Brata untuk Ekonomi Keluarga ke-6)

Oleh: Ditto Santoso



Akhir pekan itu Pak Bondet dan istrinya pergi melancong ke salah satu mall yang ada di kotanya. Masuklah pasangan itu ke dalam sebuah gerai perbelanjaan yang menjual segala macam perlengkapan rumah tangga, mulai dari baju-baju hingga alat-alat dapur. Pokoknya super lengkap. Berjalanlah mereka berdua dengan santainya sambil menengok ke kiri dan ke kanan. Tiba-tiba…



“Wuihh, Pak!” kata Bu Bondet setengah berteriak sambil menunjuk ke satu arah. “Lihat ada diskon 70% untuk pembelian wajan anti lengket!”



Pak Bondet yang terkejut mencoba memicingkan mata dan melihat yang dimaksud oleh istrinya. Ternyata benar. Ada rak berisi panci dan wajan antilengket yang sedang memasang tulisan diskon besar-besaran.



“Beli dongngng…” rajuk Bu Bondet. “Mumpung lagi ada diskon nihhh…”



Jreng, jreng, jreng! Walhasil masuklah sepasang suami-istri itu ke dalam toko yang sedang memasang diskon besar itu. Sejurus kemudian mereka sudah keluar dari toko itu dengan wajah yang berseri-seri dengan wajan yang masih kinclong di tangan.



Apa yang bisa dipetik dari cerita singkat ini? Bapak dan Ibu Bondet terpesona dengan unjuk diskon. Padahal, belum tentu wajan yang ditempeli label diskon itu menjadi kebutuhan mereka. Bisa jadi itu hanyalah keinginan sesaat. Oleh para perencana keuangan keluarga, ini disebut “lapar mata” atau “lapar diskon”. Lantas, bagaimana membentengi diri terhadap bentuk-bentuk rayuan yang bisa menggoyahkan sendi-sendi keuangan keluarga ini?



Pengendalian diri menjadi kunci dari dalam diri sendiri untuk tidak mudah termakan rayuan-rayuan dari luar yang berakibat pada terganggunya keuangan keluarga. Filosofi “api” dalam Hasta Brata memberikan pelajaran berharga bagi manusia untuk berani bersikap tegas dan disiplin tidak hanya kepada hal-hal di luar dirinya, melainkan juga didalam dirinya. Kita harus berani berkata “tidak” ketika ada hal-hal diluar kebutuhan tapi sangat provokatif merayu untuk dibeli. Pada zaman yang sangat konsumeristik ini banyak hal yang membuat kita tergoda untuk membuka dompet. Misalnya trend HP model terbaru, sepeda motor merk terbaru, trend model baju, dan lain-lain. Ibarat api, jika tidak tegas, api pun akan “membakar” diri sendiri.



Perwujudan filosofi api diwujudkan dalam perilaku “4D” atau“Empat Disiplin” dalam pengelolaan ekonomi keluarga. Pertama, disiplin perencanaan. Proses pengelolaan ekonomi keluarga akan berjalan efektif bila tahu tujuan yang ingin dicapai dan bagaimana cara mencapainya. Disinilah proses perencanaan anggaran keluarga dibutuhkan. Karena anggaran akan menjadi pedoman untuk menjalankan roda pengelolaan ekonomi keluarga.



Disiplin pelaksanaan adalah bentuk disiplin kedua yang perlu diperhatikan. Ada rencana anggaran yang bagus, tapi pada saat pelaksanaan kita tidak lagi disiplin karena mudah tergoda untuk memenuhi keinginan daripada kebutuhan. Akibatnya, terjadi kebocoran anggaran disana-sini. Hal lain yang bisa mengganggu disiplin pelaksanaan ialah tidak konsisten dengan jadual yang dibuat. Misalkan, kegiatan menabung yang bisa dilakukan di awal bulan saat gaji baru diterima, malah ditunda hingga akhir bulan. Biasanya, pada akhir bulan jumlah uang yang akan ditabung sudah berkurang karena terpakai untuk membeli hal-hal lain.



Yakinkah kita bahwa pengeluaran yang sudah dilakukan masih sejalan dengan alokasi yang direncanakan sebelumnya? Tentunya kita harus rajin memantaunya. Disini diperlukan disiplin monitoring. Bagaimana cara melakukan monitoring? Ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, bila memiliki kartu ATM dan memiliki kebiasaan mengambil uang di ATM, jangan lupa untuk selalu mencetak transaksi di buku rekening untuk mengetahui arus uang keluar dari rekening. Kedua, bila menyimpan uang tunai di rumah, pisahkan dalam amplop-amplop terpisah dimana setiap amplop berisi uang dan ditujukan untuk pos-pos besar tertentu, misalkan belanja bulanan, kesehatan, uang sekolah, biaya PLN/PDAM, dan lain-lain. Bisa juga dilakukan dengan cara lain, membagi atas pos pengeluaran tetap dan tidak tetap dalam 2 amplop. Ketiga, membagi fungsi pengelolaan uang keluar dan lakukan transparansi untuk bisa saling periksa. Misalkan, ayah bertugas memegang dana untuk pendidikan anak dan dana operasional rumah (listrik, air, angsuran rumah), sementara ibu memegang dana untuk pengelolaan dapur (belanja harian/bulanan) dan sosial (iuran RT, arisan, masjid). Keempat, membuat jurnal pengeluaran harian dan memantau arus keluar-masuk uang. Masih ada banyak hal lagi yang bisa dilakukan untuk memonitor atau memantau. Tentu setiap keluarga memiliki kreativitasnya masing-masing.



Disiplin berikutnya ialah disiplin evaluasi. Secara berkala keluarga perlu melakukan evaluasi atas rencana dan realisasi keuangan keluarga. Dari evaluasi tersebut, keluarga bisa merefleksikan atau memperoleh pembelajaran, sejauh mana efektivitas perencanaan keuangannya, sejauh mana pula tujuan-tujuan keuangan bisa dicapai dan bagaimana proses pencapaiannya, apakah lebih banyak terjadi penyimpangan ataukah sejalan dengan yang direncanakan.



Sekarang pertanyaannya, berani atau tidakkah kita bersikap disiplin dan tegas terhadap diri kita sendiri? Itu dulu yang harus dijawab.



Artikel dimuat di Buletin Kopdit Melati Depok Edisi No. 4/Tahun X (17 Juni-17 Juli 2009)