Selasa, 30 Juni 2009

7 Jurus Pensiun Bergaya

Oleh: Ditto Santoso


Tidak semua orang bisa memasuki masa pensiunnya dengan mulus, meskipun pensiun itu terjadi secara normal, bukan pensiun dini atau memilih pensiun untuk berkarya sebagai wirausaha. Itulah kondisi yang sering ditemukan pada orang tua kita atau mungkin diri kita pada 5, 10, atau 20 tahun lagi. Masih banyak orang yang memandang “pensiun” merupakan akhir dari segalanya. Pensiun berarti tidak lagi bisa berkuasa (post power syndrome), pegang duit banyak, atau merasa jatuh status sosialnya.


Terlintas dalam benak saya. Bagaimana mengurangi kegamangan-kegamangan tersebut selagi masih jauh dari masanya. Kalau toh sudah berada pada masanya, mungkin bisa menyetel pola pikir dan hidupnya agar tetap positif dan dinamis hingga tetap bisa menikmati hidup. Untuk itu, lagi-lagi terlintas dalam benak saya sebuah gagasan yang dinamakan “pesantren”. Artinya, “pensiunan santai tapi sejahtera dan keren”. Sesudah pensiun, hidup bisa santai tanpa harus bersusah-payah bekerja, sejahtera jasmani-rohani, tetap terlihat keren. Bagaimana menjadi orang “pesantren” nantinya, terdapat setidaknya 7 jurus jitu yang disebut “7S”.


Syukur. Rasa syukur atas segala karunia Tuhan atas hidup ini merupakan dasar dari semua proses kehidupan. Bersyukur, ikhlas, menerima dengan ridha atas kehidupan terbaik yang sudah diberikan Tuhan. Mungkin kita perlu menengok ke sekeliling. Bukankah kita masih lebih baik dibandingkan mereka yang hingga tua hanya hidup di pinggir jalan atau mereka yang tua-kaya namun dipenjara karena korupsi?


Sadar. Rasa syukur perlu diimbangi dengan sebuah kesadaran bahwa hidup belumlah berakhir. Hidup di dunia fana ini baru berakhir pada saat Tuhan memanggil kita. Dengan demikian, masih ada (banyak!) hal positif yang mungkin bisa dilakukan. Misalkan: bersenang-senang dengan cucu, melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang belum sempat dikunjungi selama kita bekerja 30 tahun terakhir, bulan madu yang kesekian kalinya, atau apa lagi? Life still goes on


Setting. Bagi yang sudah pensiun, apa yang telah direncanakan untuk mengisi waktu luang? Bagi yang masih jauh dari pensiun, apa yang perlu dipersiapkan agar bisa menjadi orang “pesantren” ini? Jika saat ini kita masih dalam usia produktif, maka sangatlah positif jika sejak jauh-jauh hari sudah memiliki kesadaran untuk mempersiapkan masa-masa tersebut. Toh, kita tidak ingin membebani anak-cucu kita nantinya. Lho, bukankah perusahaan sudah memfasilitasi dana pensiun internal dan Jamsostek? Terima kasih bagi perusahaan yang sadar betul untuk menghargai kerja keras dan loyalitas karyawannya. Namun, akan jadi lebih baik, apabila kita juga memiliki alternatif lain di luar skema yang sudah disediakan oleh perusahaan. Apa bentuknya? Tentu saja bisa bermacam-macam. Artinya, kita sudah mempersiapkan hal-hal yang berpotensi menunjang kehidupan pensiun tanpa harus bergantung sepenuhnya pada orang lain. Jurus ke-4 dan ke-5 akan berbicara mengenai hal-hal minimal yang perlu dipersiapkan sebagai alternatif selain skema dana pensiun perusahaan.


Saving. Apa yang sudah dipersiapkan secara finansial untuk menghadapi masa pensiun? Topik finansial merupakan topik yang selalu hangat dibicarakan pasca pensiun. Umumnya orang yang sudah pensiun merasa powerless (tidak memiliki daya), karena dia tidak memegang cukup uang untuk biaya hidup. Untuk itulah, selagi usia masih produktif, usahakan untuk selalu menabung. Buatlah skema tabungan tersendiri yang khusus bertujuan untuk mengumpulkan dana pensiun dan tidak akan pernah ditarik hingga saat pensiun. Carilah peluang-peluang untuk bisa memperbesar pilar tabungan. Dan Benson (2000), seorang konsultan keuangan, menyebutkan bahwa “menabung” adalah “suatu tindakan untuk menyisihkan uang untuk masa depan”. Menabung merupakan langkah awal menuju “investasi”, yaitu “membuat uang bertumbuh seiring waktu”. Pada jurus ke-4 ini, saya melekatkan “investasi” sebagai satu bentuk terobosan dari “tabungan konvensional”. Jadi, untuk menabung, tidak harus dibentukkan dalam tabungan harian biasa, melainkan juga bisa dalam bentuk-bentuk investasi seperti deposito, reksadana, atau asuransi (juga memiliki fungsi sebagai alat proteksi). Bingung? Cobalah berkonsultasi dengan konsultan perencanaan keuangan keluarga jika diperlukan. Namun, tantangan terbesar ialah membangun kebiasaan menabung itu sendiri. Saya meminjam istilah 3M dari A’a Gym, “Mulailah dari yang kecil, mulai dari diri sendiri, mulailah sekarang”. So? Jika Anda masih dalam usia produktif, mulailah menabung untuk pensiun sekarang juga!


aSet produktif. Apa yang kita punyai untuk bisa bertahan hidup? Mobil? Sepeda motor? Gudang yang kosong? Cobalah tengok sekeliling. Adakah barang-barang yang bisa dioptimalkan fungsinya? Mungkin hari ini, kita melihatnya biasa-biasa saja. Tapi, suatu hari nanti, mungkin barang-barang itu menjadi amat sangat berharga. Mobil yang menganggur waktu pensiun tidak akan menghasilkan, kecuali jika “dikaryakan”. Misalnya dengan menggunakan mobil itu untuk berjualan (misal: berjualan kue dengan memanfaatkan kabin belakang mobil) atau sebagai mobil antar-jemput anak sekolah. Garasi yang tak terawat bisa disulap menjadi toko kecil, warung makan, atau tempat kursus Bahasa Inggris untuk anak-anak. Bagaimana pula dengan hobi yang masih digeluti, bisakah dioptimalkan untuk menghasilkan sesuatu yang produktif? Apa yang mungkin terjadi jika hobi menulis dikawinkan dengan peluang adanya teman yang bekerja di penerbitan? Apa hasilnya jika lahan kosong 100 m2 mulai dari sekarang dicicil untuk membuat rumah-rumah petak yang bisa dikontrakkan nantinya? Ternyata banyak sekali aset di sekitar kita yang ibaratnya “macan tidur” sedang menunggu untuk dibangunkan. Tengok kiri-kanan dan mulailah mencari.


Silaturahmi. Merasa tidak lagi berharga di mata teman-teman atau kerabat karena sudah menjadi pensiunan? Mari menjadikan masa pensiun sebagai tahap baru untuk menjalani hidup secara positif. Tetap gaul, karena silaturahmi konon merupakan satu cara untuk menyehatkan diri dan memperpanjang umur. Aktif dalam kegiatan-kegiatan kerelawanan atau sosial-kemanusiaan juga merupakan salah satu cara untuk memperluas silaturahmi.


Sehat. Dan ujung-ujungnya adalah kesehatan. Apa maknanya pensiun yang merdeka secara sosial dan finansial jika tidak didukung oleh badan-jiwa yang sehat? Semuanya menjadi tak bermakna lagi. Dan memelihara kesehatan itupun, sebagaimana kita mempersiapkan kemerdekaan finansial saat pensiun, juga harus dicicil mulai sekarang.


Jadi, tunggu apa lagi? Siapkan diri kita menjadi “orang pesantren”!
Artikel dimuat di Buletin Kopdit Melati Depok Edisi No. 3/Tahun X (17 Mei-17 Juni 2009)

Air

Hasta brata ekonomi keluarga (5)

Oleh: Ditto Santoso



Pria pertengahan tiga puluhan itu melangkah gontai melintasi pagar rumahnya. Ia berjalan ke arah perempatan yang tidak begitu jauh dari rumah tipe 36 huniannya 3 tahun terakhir bersama istri dan anaknya. Angin berhembus pelan mengiringi langkahnya. Dibarengi suara jangkrik dan sesekali terdengar lolongan anjing. Hari sudah menunjukkan pukul sebelas tiga puluh malam. Malam Jumat kliwon.

Di warung itu tampaklah beberapa orang sedang duduk mengobrol sambil menikmati kopi.

“Yuk, Pak Suko. Gabung ngopi disini,” ajak salah satu yang sudah duduk disana. “Kok lesu banget? Lagi ribut sama ibunya anak-anak?”

“Lha iyalah… masak ya iya dong,” sahut pria lain yang duduk di sampingnya.

Pria yang bernama Pak Suko itupun duduk. Ia pun menghela nafas panjang. Sesaat kemudian ia memesan secangkir kopi. Sambil menyambar sepotong pisang goreng ia pun buka suara.

“Biasalah. Krisis rumah tangga. Mana istriku banyak menuntut beli ini-itu, padahal duit juga pas-pasan buat kebutuhan yang penting. Kan di masa krisis ekonomi seperti sekarang ini kita harus punya tabungan. Eee malah dia maunya beli ini-itu,” kata Pak Suko.

“Jadilah ribut terus hampir tiap hari. Tanggal muda tanggal tua sama saja,” lanjutnya lagi sembari menerima secangkir kopi pesanannya. “Jadi suntuk kalau di rumah. Mending nongkrong di sini saja.”


“Kenapa harus bersuntuk-suntuk dengan orang yang seharusnya bisa berbagi kesuntukan itu?” terdengar sebuah suara berat dan berwibawa dari sudut meja.


Semua yang nongkrong di warung itupun menoleh ke arah sumber suara. Di ujung sana tampak seseorang berambut panjang dan gondrong sebahu yang tengah duduk sambil memegang secangkir kopi. Ia menundukkan kepala sehingga rambut panjang terurai menutupi wajahnya. Di tengah lampu yang temaram tampak ia mengenakan baju surjan (baju lurik a la warga pedesaan di Jawa).


“Wah, Bapak ini siapa ya? Mohon maaf. Apakah saya kenal? Apakah Bapak tahu apa yang saya alami?” tanya Pak Suko setengah penasaran.


Orang berambut panjang itupun mendongakkan kepalanya. Rambutnya sedikit tersibak. Tampaklah ia berwajah bersih dengan kacamata bulat kecil bertengger di atas hidungnya. Jadi mirip dengan John Lennon saat the Beatles sedang ngetop dulu. Sejumput jenggot menghiasi dagunya. Usianya sepertinya antara 40-50 tahunan.


“Saya Ki Joko GP. Saya melihat bahwa Bapak ini punya masalah dengan istrinya,” kata orang berambut panjang itu pelan.


Pak Suko pun mengerutkan keningnya. Wah, orang pintar ini rupanya. Bisakah permasalahanku dipecahkan dengan bantuannya?


“Apa lagi yang Bapak tahu?” tanyanya kemudian. Orang lain yang sedang nongkrong di warung itu mulai memusatkan perhatian pada laki-laki beramput panjang yang bernama Ki Joko GP itu.


“Bapak yang baik, apakah yang Anda ributkan dengan istri itu perkara duit?” tanyanya.


“Betul, Ki Joko!” kata Pak Suko tegas. “Gaji saya yang tak seberapa ini baru naik sedikit saja, istri saya sudah minta macam-macam. Beli ini, beli itu. Padahal kan lebih baik ditabung dulu biar beranak-pinak yang banyak?!”


Sembari tersenyum Ki Joko GP mengelus jenggotnya.


“Kalau boleh mengira, pastilah Bapak tidak pernah menyampaikan ide Bapak itu sebelumnya kepada istri?” tanyanya kemudian yang ditanggapi oleh Pak Suko dengan anggukan pelan.


Ki Joko GP menarik nafas panjang. Ia kemudian menggeser segelas air putih yang ada di dekatnya ke arah yang lebih dekat dengan Pak Suko dan orang-orang yang duduk di sekitarnya.


“Lihatlah gelas ini. Lihatlah air didalamnya. Bening dan tenang,” kata Ki Joko GP. “Ketika orang memasukkan gula ke dalamnya, ia pun menerima. Ketika diaduk, air pun bercampur dengan gula. Hasilnya? Tentu saja rasanya manis.”


“Maksudnya, Ki?” tanya salah seorang pria disamping Pak Suko mulai antusias.


“Air adalah salah satu unsur alam yang bisa dipelajari dari Hasta Brata. Sifatnya yang cair, membuat ia sering menjadi media untuk melarutkan apa saja, misalnya teh, kopi, ataupun obat puyer. Karena sifat cairnya itulah, ia mudah berinteraksi dengan unsur-unsur alam lainnya.”


Ki Joko GP berhenti sejenak. Ia menyeruput wedang kopinya sebelum melanjutkan.


“Demikian pula halnya dengan berkomunikasi dengan pasangan hidup kita. Ibarat air, komunikasi pun harus bersifat cair. Mengapa? Agar ada ruang dimana salah satunya bisa mendengarkan yang lain. Bukankah inti dari komunikasi itu adalah mendengarkan?” katanya.

“Pengelolaan ekonomi keluarga pun harus dilandasi komunikasi positif antara suami-istri. Segalanya perlu dibicarakan bersama. Karena, keduanya setara dalam hal pengelolaan ekonomi keluarga. Kesetaraan itu, salah satunya diwujudkan dengan tidak adanya pembedaan. Misalnya, suami minta ‘jatah’ duit lanang atau uang laki-laki. Sementara istri tidak punya hak untuk itu.”


Semua seolah terpana dan memperoleh pencerahan dari laki-laki bernama Ki Joko GP itu.


“Air juga menjadi penyegar di kala kehausan. Kekeringan dalam keuangan keluarga pun dapat disegarkan manakala itu dikomunikasikan dengan baik pula. Suami akan paham dan istri pun akan mengerti. Ini semua bisa terwujud apabila terjadi komunikasi dialogis untuk perencanaan dan pengelolaan ekonomi keluarga. Dialog atau proses komunikasi dua arah baru bisa tercapai jika suami maupun istri sama-sama memiliki posisi yang setara. Ibarat air yang permukaannya selalu rata.”


Pak Suko pun melongo mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut Ki Joko GP. Komunikasi intensif di antara suami-istri perlu menjadi landasan dalam pengelolaan ekonomi keluarga. “Jika aku sudah menyampaikan ideku kepada istriku sebelumnya mengenai pemanfaatan uang gajiku, mungkin kami tidak akan ribut seperti ini. Jika aku mau mengembangkan komunikasi yang dialogis, mungkin buah pikiran kami berdua bisa menghasilkan ide yang lebih cemerlang,” demikian terbersit dalam pikirannya.


Ia pun bermaksud menanyakan lebih lanjut. “Lalu, Ki, bagaimana dengan…”


Ia menoleh ke kiri dan ke kanan.


“Lho dimana Ki Joko GP tadi?” tanyanya pada orang yang duduk di sebelahnya.


“Ki Joko siapa? Dari tadi Pak Suko duduk melamun disitu kok,” jawab orang di sebelahnya. “Tuh, kopinya sampai dingin…”


Pak Suko pun terbengong-bengong. Lantas, siapa tadi yang berbicara di hadapannya? Dimana orang bernama Ki Joko GP itu sekarang? Dia sama sekali tidak habis pikir. Ada pencerahan aneh yang diperolehnya dari sosok “Ki Joko GP” yang datang tak dijemput pulang tak diantar.


Sementara angin malam berhembus makin kencang. Malam Jumat kliwon pun semakin kelam diiringi lolongan anjing di kejauhan…

Artikel dimuat di Buletin Kopdit Melati Depok Edisi No. 3/Tahun X (17 Mei-17 Juni 2009)

Kamis, 04 Juni 2009

Matahari: Menjadi inspirasi bagi buah hati

(Tulisan ke-4 dari 8 seri tulisan)



Oleh: Ditto Santoso



Beberapa hari ini saya cukup repot menghadapi “jagoan-jagoan” saya di rumah. Mereka suka sekali bermain-main dengan uang logam pecahan 100 hingga 500 rupiah. Biasanya uang logam ini diperoleh dari kembalian istri saya berbelanja. Sepintas saya amati, keduanya menirukan peristiwa saat ibunya berbelanja di tukang sayur. Si kecil berperan sebagai “tukang sayur”, sedangkan kakaknya berperan sebagai “pembeli”. Lucu juga. Apakah ini juga bisa menjadi bagian dari pendidikan keuangan dini untuk anak, khususnya pengenalan akan uang? Hmm…

Pendidikan keuangan dini bagi anak merupakan salah satu aspek pendidikan yang penting bagi anak. Bukan soal usia dini sudah diajari bagaimana membuat jurnal keluar-masuk uang, melainkan lebih pada pembentukan karakter serta sifat pada menghargai dan mengelola uang secara cerdas. Orang tua adalah figur yang diharapkan bisa memberikan pendidikan keuangan dini bagi anak, karena pertama-tama mereka sosok terdekat dengan anak. Di sisi lain, lembaga-lembaga pendidikan formal di Indonesia belum memasukkan pendidikan keuangan dini sebagai bagian dari kurikulum. Sementara di negara-negara tetangga seperti Australia, Singapura, dan Malaysia topik ini sudah masuk dalam kurikulum. Sempat terpikir oleh saya, apakah rapuhnya kecerdasan finansial di keluarga yang membuat keluarga-keluarga Indonesia menjadi rentan dan mudah terobrak-abrik oleh krisis ekonomi 1998?

Filosofi berperilaku bagai matahari yang tercantum dalam Hasta Brata dapat menjadi salah satu pijakan bagi orang tua dalam melakukan pendidikan keuangan dini bagi anak. Salah satu sifat utama matahari ialah memberikan terang bagi sekelilingnya tanpa pandang bulu. Dalam hal pendidikan keuangan dini bagi anak, orang tua pun perlu berperilaku sebagai “pemberi terang” ibarat matahari. Dengan sabar dan tanpa kenal lelah, membangun karakter anak mengenai pengelolaan keuangan. Saya jadi teringat kejadian sewaktu saya masih berusia SD. Ibu saya memberikan sebuah buku agenda kecil kepada saya. Ia meminta saya menuliskan pemasukan yang saya peroleh (dari uang saku tentunya) serta pengeluaran yang dilakukan untuk jajan maupun ditabung. Lalu, di sekolah ada teman yang menertawai saya dengan mengatakan, “Agenda kok dipakai buat menghitung uang keluar-masuk?” Meskipun demikian, ibu saya juga dengan sabar menanamkan disiplin kepada saya agar mencatat hal-hal yang dimaksud tadi.

Sifat matahari lain yang penting ialah menjadi inspirator. Banyak puisi, lagu, atau pelatihan-pelatihan motivasional yang mengambil contoh matahari sebagai salah satu unsur alam yang patut diteladani. Ia selalu terbit dan tenggelam tanpa harus diminta. Sekian milyar tahun menyinari dunia tanpa sebentar pun absen. Ia menjadi sumber inspirasi bagi insan Tuhan di jagad ini. Ibarat matahari sang sumber inspirasi, orang tua pun harus menjadi inspirator dalam pendidikan keuangan dini bagi anak. Menjadi inspirator tidak hanya memberikan ajaran baik melainkan juga menjadi panutan (role model) bagi anak dalam mengelola keuangannya. Sejak anak-anak masih kecil, saya juga berupaya menanamkan kepada mereka agar disiplin menabung. Tidak jarang saya mengajak anak-anak untuk pergi menabung di koperasi meskipun mereka masih malu-malu. Sekadar membiasakan. Sekarang, setiap kali mereka melihat saya sedang memegang uang, pertanyaannya selalu “Uangnya mau ditabung, Pa? Buat sekolah Kakak nanti? Nabungnya di koperasi ya?” (terlontar dari mulut anak yang belum genap berusia 4 tahun). Saya berharap suatu saat nanti mereka juga akan mengingatkan, “Pa, kok kita sudah lama ngga pergi menabung?”

Sifat ketiga matahari ialah sifat kebijaksanaan. Kebijaksanaan yang disampaikan dengan penuh kehangatan tentunya akan membuat orang yang menerimanya merasa diorangkan. Mengajarkan kepada anak bagaimana membuat pilihan yang bijak tidaklah mudah. Saat ini saya dan istri juga direpotkan oleh anak-anak yang mulai terpengaruh teman-teman sekitarnya yang suka jajan. Di waktu inilah kami sedang mencoba memfasilitasi proses mereka untuk belajar membuat pilihan. Ingin membeli permen atau VCD “Thomas and Friends”? Bukan proses yang cepat dan mudah. Kelak mereka juga akan dihadapkan pada realitas untuk memilih antara kebutuhan dan keinginan, memilih di antara segala keterbatasan. Proses pembelajaran itu bisa dimulai sekarang.

Menjadikan matahari sebagai sumber filosofi yang melandasi pendidikan keuangan dini bagi anak hanyalah satu pintu saja. Setiap orang bisa masuk dari pintu berbeda untuk dapat mendidik dan mengembangkan kecerdasan finansial anak-anaknya. Pada akhirnya anak tetap merupakan sosok yang merdeka dalam mengambil keputusan dalam kehidupannya kelak.

Tulisan sederhana ini saya tutup dengan sebuah pesan SMS dari seorang sahabat saya saat anak pertama kami lahir. Pesan ini selalu terngiang hingga sekarang dan menjadi salah satu pegangan saya untuk mengiringi proses pembelajaran anak-anak. “Anak adalah murid sekaligus guru terbaik bagi orang tuanya”. Berkaca dari uraian pengalaman di atas, sepertinya memang demikian adanya.


Artikel dimuat di Buletin Kopdit Melati-Depok edisi No. 2/Tahun X (17 April-17 Mei 2009)