Selasa, 30 November 2010

Hasta Brata: 8 Unsur Alam untuk Rumus Sukses Ekonomi Keluarga

Oleh: Ditto Santoso
“Hasta Brata” memiliki arti “delapan langkah (tuntunan) perilaku yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin untuk menjalankan fungsinya” (hasta: delapan; brata: langkah, perilaku). Delapan langkah itu mengacu pada 8 unsur alam yang mempunyai nilai-nilai positif didalamnya yang dapat diterapkan dalam pengelolaan ekonomi keluarga.

Unsur pertama, bintang, benda langit indah menghiasi langit pada waktu malam. Sang bintang juga menjadi petunjuk bagi pelaut untuk menentukan arah. Sebuah pengelolaan ekonomi keluarga yang mantap diawali dengan sebuah rencana yang baik dan bisa dijadikan pedoman. Di sinilah fungsi anggaran keluarga.

Unsur berikutnya, air, merupakan unsur alam yang bersifat cair, membuat ia sering menjadi media untuk melarutkan apa saja. Karena itu, ia mudah berinteraksi dengan unsur-unsur alam lainnya. Ibarat air, pengelolaan ekonomi keluarga perlu dilandasi suasana komunikasi yang cair antara anggota keluarga. Sama-sama berada dalam posisi yang setara dan saling mendengarkan.

Bumi sebagai unsur alam berikutnya menyimbolkan konsistensi atau keajegan. Teladan bumi yang selalu berputar di porosnya selama 24 jam sehari. Keajegan bumi menjalankan fungsinya menjadi teladan untuk keajegan keluarga dalam menjalankan rencana keuangan yang telah disusunnya dan dapat menjadi panutan bagi keajegan menabung.

Filosofi unsur api dalam Hasta Brata memberikan pelajaran berharga bagi manusia untuk berani bersikap tegas dan disiplin . Kita harus berani berkata “tidak” ketika ada hal-hal diluar kebutuhan tapi sangat provokatif merayu untuk dibeli. Pada zaman yang sangat konsumeristik ini banyak hal yang membuat kita tergoda untuk membuka dompet. Ibarat api, jika tidak tegas, api pun akan “membakar” diri sendiri.

Unsur alam kelima ialah langit. Keluasan langit menjadi refleksi bagi kita untuk selalu berpikir luas (thinking out of the box) mencari berbagai terobosan untuk dapat mencapai pemenuhan kesejahteraan keluarganya. Misalnya, cukupkah hanya menabung? Perlukah piranti lain untuk menabung dan berinvestasi?

Bulan sebagai unsur berikutnya merupakan sebuah benda langit yang memberikan sinar pada saat gelap. Sinarnya tidak sepanas atau seterik matahari, namun memberikan kesejukan dan keteduhan. Sudahkah perekonomian keluarga kita terasa teduh manakala terjadi krisis tak terduga seperti ada anggota keluarga yang sakit? Sudahkah keluarga memiliki proteksi berupa dana cadangan untuk mengantisipasi kondisi-kondisi tersebut?

Unsur alam ketujuh ialah udara. Udara merupakan unsur alam yang memenuhi permukaan bumi ini. Ia tidak tampak dan tidak disadari keberadaannya, tapi dapat dirasakan manfaatnya. Keberhasilan dalam mengelola ekonomi keluarga juga memiliki dimensi keihlasan seperti udara yang ikhlas memberikan dirinya untuk segenap makhluk hidup di bumi. Jika keluarga mencapai
pemenuhan kesejahteraan finansialnya, janganlah lupa berbagi kepada sesama. Semakin banyak memberi, semakin banyak pula menerima.

Matahari sebagai unsur alam terakhir menjadi pengingat bagi orang tua yang menjadi pelaku ekonomi keluarga untuk juga menjadi teladan bagi anak-anaknya dalam mengelola keuangan mereka. Disinilah proses pendidikan keuangan secara dini terjadi. Bermula dari yang sederhana. Bagaimana anak didorong untuk menabung, membuat pilihan untuk jajan, serta merencanakan pengeluaran dari uang sakunya.

Hasta Brata merupakan bentuk kearifan lokal dari nenek moyang yang ternyata falsafahnya relevan untuk diterapkan bagi kehidupan di masa sekarang, tak terkecuali untuk pengelolaan ekonomi keluarga. Mari berkaca pada Hasta Brata dan melangkah mantap menuju keluarga sejahtera!
Artikel ini dimuat di Buletin Metro Sawiran (CU Sawiran - Malang) edisi Oktober 2010

Selasa, 28 September 2010

Ibarat Seorang Hamba

Oleh: Ditto Santoso



Ibarat seorang hamba. Tatkala majikannya akan pergi, hamba itupun dipanggil bersama hamba-hamba lainnya. Sang majikan menyampaikan bahwa ia akan pergi berniaga ke manca negara. Untuk itu ia mempercayakan hartanya kepada beberapa orang hambanya sesuai dengan kapasitas yang dimiliki oleh setiap hamba. Setiap hamba menyimpan dan mengelola apa yang dipercayakan sang majikan sesuai dengan gaya masing-masing. Beberapa waktu berlalu, saat sang majikan kembali, ia meminta pertanggungjawaban dari setiap hambanya tentang apa yang sudah dipercayakan sebelumnya.

Ibarat seorang hamba, organisasi kemanusiaan memperoleh kepercayaan dari pemangku kepentingan utamanya (primary stakeholder), yakni masyarakat yang kecil, lemah, miskin, dan tertindas untuk membantu mereka bangkit untuk dapat kembali hidup bermartabat. Berbagai strategi dikembangkan oleh banyak organisasi kemanusiaan dalam lima dasawarsa terakhir untuk mewujudkan sebuah dunia yang lebih baik.

Seiring dengan kerja-kerja kemanusiaan yang telah dilakukan, muncul pertanyaan, haruskah organisasi kemanusiaan mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya? Haruskah organisasi kemanusiaan membuka akses bagi publik untuk dapat melihat aspek-aspek pengelolaan internal organisasinya? Pertanyaan-pertanyaan ini menghantar pada ranah diskusi mengenai transparansi dan akuntabilitas dalam organisasi kemanusiaan.

Salah satu definisi transparansi dikemukakan oleh P2KP dalam salah satu modulnya, “Terbukanya akses bagi seluruh masyarakat terhadap semua informasi yang terkait dengan segala kegiatan yang mencakup keseluruhan prosesnya melalui suatu manajemen sistem informasi publik”. Secara sederhana, transparansi dimaknai sebagai keterbukaan dimana publik yang berkepentingan dapat mengakses informasi mengenai penyelenggaraan pelayanan yang dilakukan oleh sebuah organisasi kemanusiaan.

Mengenai akuntabilitas, P2KP merumuskan “Pertanggungjawaban suatu lembaga kepada publik atas keberhasilan maupun kegagalan melaksanakan misi/tugas yang telah diembannya”. Sementara, AusAID (2001) mendefinisikan akuntabilitas sebagai “Instrumen yang menunjukkan apakah prinsip2 tata kelola, hukum, keterbukaan, transparansi, keberpihakan, dan kesamaan di hadapan hukum dihargai atau tidak. Akuntabilitas adalah hal yang penting untuk menjamin nilai-nilai seperti efisiensi, efektifitas, dan reliabilitas, dan prediktabilitas dari administrasi publik”. Seorang rekan, Hamid Abidin (PIRAC), secara sederhana mendefinisikan akuntabilitas sebagai “Bertanggung jawab secara terbuka mengenai apa yang diyakini, apa yang dilakukan, dan apa yang tidak dilakukan”. Pertanggungjawaban ini tidak pula semata-mata ditujukan kepada lembaga donor atau pemberi dana bagi operasional dan kegiatan organisasi kemanusiaan, melainkan yang pertama-tama ialah kepada masyarakat yang dilayaninya secara langsung, karena merekalah pemangku kepentingan utama dan karena mereka pulalah organisasi itu ada.

Merujuk pada uraian dua paragraf di atas, dapat disimpulkan bahwa transparansi dan akuntabilitas tidak semata-mata isu aktual atas persoalan teknis seperti pelaporan program dan keuangan yang dilakukan oleh sebuah organisasi kemanusiaan. Isu-isu ini lebih mengarah pada pertanggungjawaban atas keberadaan organisasi itu sendiri. Apa mandat yang diterima organisasi, bagaimana ia melaksanakan mandat itu dan mencapai tujuannya. Yang sering kali justru mengemuka dalam dinamika internal organisasi ialah keperluan menegakkan transparansi dan akuntabilitas yang didorong oleh kepentingan pragmatis untuk “mencari muka” sehingga bisa menangkap peluang proyek dari lembaga donor. Astaghfirullah…

Berbicara dalam ranah filosofis, organisasi-organisasi kemanusiaan yang berlabel Caritas dan mengedepankan identitas sebagai sayap sosial Gereja Katolik juga didorong oleh Bapa Gereja untuk menunjukkan transparansi dan akuntabilitasnya. Logika sederhananya, sebagai sebuah organisasi kemanusiaan yang diinspirasi oleh Ajaran Sosial Gereja, tentunya aspek transparansi dan akuntabilitas dalam pelayanan kemanusiaan menjadi nilai lebih yang ditawarkan. Terlebih-lebih hal ini juga diamanatkan dalam dua dokumen ensiklik Paus Benedictus XVI, Caritas in Veritate artikel 47, yang secara khusus menyoroti tentang transparansi dan akuntabilitas keuangan dalam kerja-kerja kemanusiaan dan Deus Caritas Est artikel 30 (b) yang menunjukkan bahwa organisasi kemanusiaan Gereja perlu memberikan kesaksian tentang kasih melalui kerja-kerja yang transparan dalam kemitraannya dengan organisasi-organisasi lainnya.


Meskipun diatas dikatakan bahwa berbicara mengenai akuntabilitas tidak melulu terkait dengan dimensi program dan keuangan dalam keseharian aktivitas organisasi kemanusiaan, tak pelak hal itu tetap perlu disinggung disini. Dalam dimensi program, akuntabilitas dicerminkan sejak dari tahap penjajakan kebutuhan di masyarakat hingga evaluasi akhir. Apakah intervensi yang dilakukan telah sejalan dengan kebutuhan dan upaya pemecahan masalah di masyarakat? Apakah sudah mencerminkan visi, misi, nilai, dan prinsip yang dianut oleh organisasi? Apakah sudah mempertanggungjawabkan capaian-capaian proyek kepada masyarakat? Sementara dari dimensi keuangan, berkenaan dengan pengelolaan berbagai transaksi apakah sudah sesuai prosedur, apakah laporan keuangan secara berkala dapat diakses oleh publik, sudahkah dilakukan audit untuk memenuhi asas kepatuhan terhadap prosedur (compliance), serta yang terkait dengan itu, apakah prosedur (misalnya) pembelian bahan baku unsur bantuan kemanusiaan sudah melalui proses tender yang adil, memperhatikan sumberdaya lokal, atau memenuhi kriteria bagi pemasok yang ramah lingkungan sebagai bentuk penerapan dari prinsip Do No Harm dan Sustainable Procurement.

Akhirnya, ibarat seorang hamba yang memperoleh kepercayaan dari majikannya untuk mengelola sesuatu yang berharga, demikian pula halnya dengan kepercayaan yang diberikan oleh para pemangku kepentingan organisasi. Ibarat seorang hamba pula, kepercayaan tersebut harus dipertanggungjawabkan kepada majikannya. Sudahkah organisasi kemanusiaan Anda menjadi hamba yang akuntabel?



Saran untuk bacaan lebih lanjut:
• Chasan Ascholani. 2008. Kegagalan LSM: Benarkah?. Website: www.fasilitator-masyarakat.org
• Paus Benedictus XVI. 2007. Deus Caritas Est – Allah adalah Kasih (Seri Dokumen Gerejawi No. 83). Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI.
• Ridwan al-Makassary. 2005. Working Paper: Akuntabilitas Lembaga Swadaya Masyarakat: Beberapa Observasi.
• Yayasan Tifa. 2005. Mengukur Transparansi dan Akuntabilitas LSM: Suatu Metode Partisipatif. Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan Tifa.
• Zaim Saidi. 2004. Lima Persoalan Mendasar dan Akuntabilitas LSM dalam Hamid Abidin dan Mimin Rukmini (ed).2004. Kritik dan Otokritik LSM: Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia. Jakarta: PIRAC, Ford Foundation, Yayasan Tifa.
• Ensiklik Caritas in Veritate (Paus Benedictus XVI, 2009) di http://www.vatican.va/



Artikel ini dimuat di Buletin Kabar Caritas (Keuskupan Maumere) edisi Oktober 2010 dengan editing seperlunya

Senin, 16 Agustus 2010

Peran Credit Union dalam Pengurangan Risiko Bencana

Oleh: Ditto Santoso
Indonesia merupakan daerah yang rawan bencana (disaster prone area). Kesadaran ini telah menyeruak manakala berbagai kejadian bencana terjadi sambung-menyambung di Indonesia. Gempa bumi dan tsunami di pantai barat Sumatra dan Nias, gempa Jogjakarta, gempa Manokwari, tsunami mini Situ Gintung, gempa Tasikmalaya, gempa Padang, banjir di Bandung dan Lamongan, dan masih banyak lagi. Tak hanya bencana yang berpangkal dari alam saja (natural disaster). Bencana itu juga muncul akibat ulah manusia (man-made disaster), seperti kerusakan ekologi akibat penebangan dan kebakaran hutan. Di antara komunitas pekerja kemanusiaan muncul gurauan yang menyayat hati yang mengatakan bahwa Indonesia ini adalah “supermarket”-nya bencana.

Untuk mengantisipasi dan merespons bencana-bencana ini, telah dipahami secara jamak bahwa ini merupakan kerja besar semua elemen bangsa untuk bahu-membahu karena sama-sama hidup di daerah yang rawan bencana. Credit union (koperasi kredit) sebagai bagian dari elemen bangsa diharapkan juga memiliki kepekaan, khususnya apabila koperasi primer yang bersangkutan berlokasi di daerah yang jelas-jelas menjadi “langganan” bencana. Secara filosofis, ini merupakan salah satu dari prinsip-prinsip koperasi, yaitu “kepedulian terhadap komunitas”, dimana credit union berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan bagi anggota dan masyarakat di sekitarnya.

Sejauh proses sejarah perkoperasian yang terjadi di Indonesia, credit union memiliki peran besar dalam pengembangan sosial-ekonomi masyarakat. Peran ini ditunjukkan melalui bidang kegiatan utamanya, yaitu simpan-pinjam. Credit union mendorong anggotanya untuk memupuk simpanan dan menggunakan pinjaman secara bijak untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan produktif. Di sisi lain, keunggulan credit union ialah meletakkan pendidikan sebagai dasar penting bagi mereka yang bergabung sebagai anggota. Melihat dari potensi yang dimiliki, credit union juga dapat berperan aktif dalam peningkatan kesiapsiagaan bencana dan mengurangi dampak bencana yang mungkin terjadi pada diri anggotanya yang hidup di daerah rawan bencana. Sejauh yang penulis ketahui, umumnya credit union primer telah memupuk dana solidaritas yang dikucurkan apabila anggotanya ditimpa kemalangan, misalnya dirawat di rumah sakit atau meninggal. Asuransi simpanan dan pinjaman juga dipenuhi melalui skema Daperma (Dana Perlindungan Bersama) yang diinisasi oleh Inkopdit beserta jaringan puskopdit atau skema Jalinan milik BKCU Kalimantan. Belum banyak credit union yang menyentuh respons terhadap anggota yang ditimpa bencana serta mengantisipasi apabila terjadinya bencana.

Menurut hemat penulis, setidaknya terdapat tiga hal yang bisa dilakukan credit union. Pertama, kepedulian sosial. Menggerakkan organisasi serta anggota untuk tanggap terhadap situasi masyarakat yang mengalami bencana merupakan aktualisasi dari solidaritas dan tanggung jawab sosial yang sejalan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip credit union. Bersama-sama anggotanya, credit union bisa menggalang solidaritas untuk penyaluran bantuan kemanusiaan. Misalkan, mengorganisir anggota untuk menyalurkan bantuan bagi korban banjir. Secara institusional, credit union juga telah menginisiasi sekian persen dari SHU (Simpanan Hasil Usaha) untuk alokasi dana sosial yang memungkinkan dikelola sebagai dana tanggap darurat (emergency response) jika memang credit union tersebut eksis di daerah langganan bencana. Dana tersebut juga bisa dikelola untuk penyadaran tentang kesiapsiagaan bencana.

Kedua, membangun kesadaran melalui pendidikan. Disadari bahwa pendidikan merupakan salah satu pilar kekuatan credit union disamping dua pilar lainnya, yaitu swadaya dan solidaritas. Melalui pendidikan, credit union dapat membangun kesadaran anggotanya di wilayah Indonesia yang rawan bencana ini mengenai pentingnya mengurangi kerentanan dan menguatkan ketahanan individu ataupun keluarga saat terjadi bencana. Misalkan, setelah terjadi banjir, longsor, atau kebakaran, dampak berikutnya yang mungkin muncul ialah kerusakan infrastruktur (rumah), ketiadaan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan, menurunnya kondisi kesehatan, kehilangan aset keluarga (misalkan ternak hanyut), atau kehilangan matapencaharian. Kesadaran seperti ini perlu dimiliki oleh setiap orang yang hidup di daerah rawan bencana, sehingga mereka perlu untuk mengantisipasi dampak yang mungkin bisa terjadi. Kesadaran ini bisa dibangun melalui program pendidikan dalam credit union. Salah satu materi yang dibahas dalam pendidikan dasar bagi anggota baru credit union ialah ekonomi rumah tangga, dimana sub pokok bahasannya juga mencakup perencanaan anggaran keuangan keluarga. Dalam cakupan materi ini sangat memungkinkan untuk memotivasi anggota memupuk simpanan khusus bagi antisipasi bencana dan pemulihan pasca bencana.

Ketiga, pelayanan tabungan dan atau asuransi mikro. Setelah berbicara mengenai kesadaran anggota, selanjutnya ialah bagaimana mewujudkan kesadaran tersebut dalam aksi konkret. Pernahkah terpikir berapa biaya yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk memulihkan kembali kondisi hidupnya setelah dilanda bencana, misalnya banjir? Bagaimana pula jaring pengaman untuk anggota yang berprofesi sebagai petani apabila hasil sawahnya rusak dilanda banjir atau longsor, bagaimana menyikapi pinjaman yang masih menjadi kewajibannya apabila sumber matapencaharian (livelihood) hancur. Menghadapi hal ini, credit union dapat berinisiatif untuk merancang program tabungan bagi anggota untuk mengantisipasi bencana. Sebagai contoh sederhana, secara mandiri ataupun bekerja sama dengan penyedia asuransi swasta, credit union bisa merancang produk asuransi bencana bagi anggota. Tentunya ini juga diiringi analisis mengenai potensi bencana dan dampaknya di wilayah domisili anggota. Sangat mungkin analisis ini juga bisa dimasukkan dalam formulir pendaftaran keanggotaan. Sebagai contoh lain, Grameen Bank (lembaga keuangan mikro di Bangladesh) memberikan pinjaman tanpa bunga bagi anggotanya yang menjadi korban banjir atau gempa bumi untuk pemulihan kondisi rumahnya, Bina Swadaya (lembaga swadaya masyarakat yang juga bergerak di bidang keuangan mikro di Indonesia) memberikan pinjaman lunak bagi anggota KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) dampingannya yang menjadi korban gempa di Jogja dan sekitarnya. Contoh lain juga dapat dilihat pada lembaga keuangan mikro BASIX (India) dan NASFAM (Malawi).

Diperlukan inovasi dan kreativitas bagi setiap credit union primer untuk mengeksplorasi berbagai potensi yang perlu dikembangkan untuk membantu anggotanya mengurangi dampak yang mungkin terjadi akibat terjadinya bencana. Di Indonesia terdapat 965 credit union primer dengan 964.048 anggota dan total aset sekitar Rp 6 trilyun (data Inkopdit per Oktober 2009) yang menjadi modal sosial (social capital) luar biasa besar untuk dapat berpartisipasi dalam penguatan kesiapsiagaan bencana masyarakat. Analisis seksama yang berperspektif kebencanaan dipadukan dengan analisis bisnis menjadi landasan dasar untuk merancang program credit union yang peka terhadap kebutuhan anggotanya yang hidup di wilayah rawan bencana. Sekali lagi, Indonesia adalah wilayah rawan bencana. Bersiagalah sekarang juga!
Artikel dimuat di Buletin Caritas Makassar edisi Agustus 2010

Senin, 31 Mei 2010

Kopdit Gaul Gitu Loh...

Oleh: Ditto Santoso


Dalam sebuah survey tentang koperasi kredit di Amerika Serikat ditemukan bahwa umumnya kalangan orang muda masih enggan “bersentuhan” dengan kopdit. Padahal anggota kopdit dari generasi muda merupakan kunci keberlanjutan kopdit di masa datang. Minimnya anggota usia muda di kopdit berimplikasi pada “stagnasi” (kemandegan) pertumbuhan anggota. Bahkan umumnya citra yang terlintas dalam benak orang muda, kopdit identik dengan sekumpulan orang tua yang datang menabung dan meminjam untuk menambal kebutuhan hidup. Stagnasi terjadi karena anggota yang tadinya berusia produktif telah memasuki usia senja, sementara pertumbuhan anggota berusia muda dan naluri pemasaran (sense of marketing) staf ataupun anggota (melalui member get member) tidak progresif.


Segmen kalangan muda dapat dipilah menjadi kelompok usia sekolah/kuliah, kelompok muda yang baru memasuki dunia kerja, dan kelompok muda di usia pernikahan awal. Kelompok usia sekolah/kuliah disentuh melalui orang tuanya yang sudah menjadi anggota kopdit. Ini merupakan pendekatan konvensional yang biasa dilakukan. Sedangkan 2 kelompok berikutnya umumnya disentuh melalui pendekatan member get member. Pertanyaannya, adakah langkah-langkah progresif untuk menjangkau segmen kalangan muda ini?


Pelajari karakter segmen yang akan dituju. Jika kopdit eksis untuk melayani di segmen wilayah tertentu, maka perlu memetakan karakter segmen kalangan muda yang akan dituju. Berapa persen anak yang berskolah atau kuliah, berapa pula yang sudah bekerja dan memasuki masa pernikahan. Lalu, apa kebutuhan mereka yang sifatnya riil maupun potensial? Haruskah memenuhi kebutuhan riil ataukah kopdit bisa menciptakan kebutuhan itu karena belum ada yang melayaninya. Misalnya: di sebuah wilayah, kalangan orang tua masih menganggap pendidikan itu tidak terlalu penting untuk masa depan anaknya. Yang terpenting adalah anak dapat segera bekerja membantu orang tua menafkahi keluarga. Memasuki area ini, kopdit perlu menyadarkan orang tua mengenai pendidikan sebagai bagian dari hak anak yang harus dipenuhi. Jika kemudian kendalanya adalah masalah ekonomi, disini kopdit bisa berperan untuk mendorong pengelolaan ekonomi rumah tangga yang baik melalui program pendidikan dan pendampingan, serta mendesain produk-produk yang mengarah pada pemenuhan pendidikan anak.


Desain produk yang atraktif. Mengapa tidak? Jika ingin meraih segmen kalangan muda, berpikirlah seperti anak muda. Untuk kelompok usia 15-20 tahun, apa yang biasanya mereka inginkan (karena awalnya anak muda akan berpikir soal keinginan, bukan kebutuhan), bagaimana cara mereka memenuhinya? Jika mereka perlu didorong untuk menabung terlebih dulu, apa reward yang akan menarik mereka? Perlukah buku tabungan tersendiri yang eye- catching dan bisa mereka pamerkan ke teman-temannya? Untuk mereka yang sudah memasuki usia kerja awal, apa yang mereka butuhkan? Pinjaman untuk membeli sepeda motor, membeli rumah, membiayai resepsi pernikahan, atau pinjaman darurat kesehatan? Jika itu isu pokoknya, bagaimana desain produknya? Angsuran bunga ringan dalam jangka panjang atau diskon 2 kali angsuran selama atau bonus MP3 player jika angsuran 1 tahun selalu tepat waktu?


Kemaslah sesi promosi dan pendidikan yang menarik. Jika sulit membuat kalangan muda datang ke kantor kopdit atau cabang pelayanannya, mengapa tidak kopdit yang mendatangi mereka? Sesi promosi saat akhir pekan di mall? Optimalkan staf muda atau anggota yang muda usia untuk berpromosi di mall. Jika perlu, mengundang public figure anak muda untuk berpromosi. Anggun C. Sasmi, penyanyi muda Indonesia yang go international bahkan pernah diminta menjadi Duta Keuangan Mikro oleh PBB. Ciptakan kesan pertama yang menarik, yang memperlihatkan bahwa kopdit memang gaul. Bagaimana jika membuat sesi motivasi selama 1-2 jam di sekolah? Libatkan secara aktif guru dan orang tua murid, gunakan media komunikasi yang atraktif (film kartun, gambar bergerak, panggung boneka) buka kantor pelayanan di sekolah 2 kali dalam seminggu. Buatlah slogan yang progresif dan menantang keberanian untuk menabung.


Merawat anggota. Untuk memudahkan berkomunikasi kalangan muda, khususnya di wilayah perkotaan, optimalkan media-media interaktif di dunia maya seperti website, blog, dan facebook. Dewasa ini facebook sudah menjadi “bahasa pergaulan” dimana saja. Meski beberapa pihak menganggapnya negative dan menimbulkan kontroversi, sisi positif facebook dapat dilihat dengan mengoptimalkannya sebagai media pemasaran dan pemeliharaan anggota kopdit. Membuat even-even komunal rutin di luar sesi pendidikan dan rapat-rapat anggota juga merupakan strategi penting untuk memelihara motivasi dan loyalitas anggota muda.


Menyasar kalangan muda, khususnya yang belum memasuki usia kerja, juga dapat dipandang sebagai pendidikan keuangan dini yang sangat potensial menjadi pilar penyangga keluarga masa depan. Sementara, dari sisi internal manajemen, kesadaran akan hal ini perlu dinyatakan dalam rencana strategisnya. Termasuk didalamnya, memiliki staf yang bisa secara lihai bergerak di segmen ini. Sangat mungkin ini akan berimplikasi pada biaya, namun jika dilihat kedepan, ini merupakan sebuah investasi yang positif. Go Credit Union!



Artikel dimuat di Buletin Kopdit Melati-Depok Edisi No. 2/Tahun XI/17 April 2010-17 Mei 2010

Senin, 26 April 2010

Kopdit: Inovasi atau Mati

Oleh: Ditto Santoso



Menjelang libur Natal akhir 2009 lalu, saya terprovokasi untuk membaca sebuah presentasi tentang hasil riset Empire Research Team yang dishare di internet. Tentu saja intinya tentang kopdit di Amerika Serikat. Membaca artikel tersebut, saya merasa ini relevan juga untuk dibagikan sebagai bahan refleksi dan pembelajaran. Tulisan ini berjudul “The 5 Most Dangerous Trends Facing Credit Union” (5 Trend Paling Berbahaya yang Dihadapi oleh Kopdit). Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa kopdit-kopdit di Amerika Serikat saat ini (penelitian dipublikasikan tahun 2008) menghadapi 5 isu yang sangat menantang (diberi judul provokatif “paling berbahaya”) sebagaimana dipaparkan di bawah ini.

Ini jamannya kompetisi, Bung! Ditemukan bahwa tingkat pertumbuhan kopdit dibawah nol persen, sementara bank justru tumbuh secara progresif lebih dari sepuluh persen. Di sisi lain, persaingan antar kopdit pun mulai berkembang. Kopdit-kopdit besar menyalip laju kopdit-kopdit kecil dengan membuka cabang atau TPA di wilayah pelayanan mereka. Hal lain yang perlu diperhatikan, kopdit justru mengabaikan persaingan antar kopdit atau hanya melakukan benchmark terhadap pemain lain di industri keuangan, yaitu bank dan pegadaian.

Menurunnya pertumbuhan kopdit. Pada tahun 2008, ditemukan 321 kopdit yang tutup. Jumlah ini meningkat dibandingkan data tahun 2007 yang menunjukkan angka 266. Dua belas kantor cabang kopdit di Sacramento-USA kehilangan anggotanya pada tahun 2003-2004, padahal tingkat pertumbuhan populasi masyarakat disana sebesar 1,7%. Pertumbuhan aset kopdit juga melambat di tahun 2008.


Tingginya perputaran karyawan. Upaya mempertahankan tenaga kerja (employee retention) di kopdit menurun dari 84% (tahun 2005) menjadi 78% (tahun 2006), dengan kata lain angka keluar-masuk karyawan naik. Hal ini perlu menjadi perhatian karena akan mempengaruhi hubungan dengan anggota kopdit pula. Sebelumnya telah terjadi hubungan yang harmonis antara anggota dengan karyawan. Tapi ketika karyawan lama keluar dan berganti karyawan baru, yang harus lebih banyak menyesuaikan diri justru anggotanya. Perilaku karyawan kopdit memiliki pengaruh tertentu terhadap efektivitas kerja di tempat kerjanya. Dalam konteks manajerial, 50% eksekutif kopdit akan pensiun dalam waktu 10 tahun. Sudah siapkah kopdit dengan kaderisasi dan suksesi kepemimpinan dalam jangka waktu dekat? Sementara, untuk mencari tenaga kompeten dalam bidang keuangan, kopdit harus berani menengok ke ranah industri keuangan, perbankan, dan pemasaran yang umumnya sudah mencetak orang-orang handal.


Lemahnya pemasaran dan rendahnya loyalitas anggota. Hasil riset menunjukkan hanya 24% anggota kopdit yang benar-benar loyal atau setia terhadap merk (baca: kopditnya). Selebihnya, 76% hanya agak loyal bahkan tidak loyal sama sekali. Tercatat pula, 16-30% anggota akan berubah loyalitasnya terhadap merk (baca: kopdit tempatnya menjadi anggota) setelah membaca atau menonton iklan televisi. Kondisi ini berimplikasi pada menyusutnya jumlah anggota kopdit. Ini menjadi tantangan besar bagi kopdit untuk bisa menarik lebih banyak anggota.


Teknologi tertinggal dan tidak menarik bagi anak muda. Anggota kopdit yang berasal dari kalangan muda merupakan salah satu kunci keberlanjutan kopdit mengenai kelestarian anggota di masa depan. Teknologi informasi (IT) juga menjadi kunci penting, karena trend yang terjadi di industri keuangan saat ini ialah mobile banking dan internet banking.


Membaca kelima trend tersebut di atas, mungkin kita akan menemukan, bahwa ini tidak (atau sudah?) terjadi di kopdit dimana kita aktif menjadi anggotanya. Jika belum, alhamdulilah puji Tuhan. Jika pernah atau sedang terjadi, marilah merefleksikan bersama. Dari segi internal, pengembangan budaya kerja yang membuat karyawan siap untuk berkompetisi mutlak dilakukan. Kopdit bukanlah berada di ranah sosial, kopdit sudah menjadi sebuah industri dimana satu koperasi primer mau tak mau harus bersaing (sehat!) dengan koperasi primer lainnya. Cukupkah dijawab dengan mengikutsertakan karyawan dalam training dan workshop? Proses pembelajaran yang sejati akan ditemukan dalam dinamika proses kerja yang didukung oleh coaching yang efektif. Disinilah langkah kaderisasi mulai dilakukan. Tumbuhkan budaya pembelajaran bagi karyawan kopdit.


Dari segi eksternal dapat direfleksikan dengan pertanyaan, sudah optimalkah upaya kopdit dalam melakukan membership maintenance (pemeliharaan anggota)? Sudahkah mendesain strategi untuk lebih mendekatkan diri kepada anggota yang ada, menjangkau orang-orang untuk semakin akrab dengan kopdit dan akhirnya mau menjadi anggota? Melihat kembali, sudah optimalkah strategi Member Get Member, sudahkah mempersenjatai anggota untuk melakukannya? Sudahkah mendesain produk dan perangkat interaksi yang lebih populer untuk menyentuh orang muda (profesional, mahasiswa, pelajar)? Sudahkah mengoptimalkan SDM yang ada, yaitu para anggota, secara optimal untuk bersama-sama memajukan kopdit karena merekalah sejatinya yang memiliki kopdit itu.


Akhirnya, kopdit memang dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif, dibarengi responsibilitas dan akuntabilitas yang jelas. Membuat anggotanya terfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dan mencapai kesejahteraannya, membuat karyawan yang bernaung dibawahnya merasa maksimal, aman, dan nyaman bekerja, membuat manajemen dan pengurus termotivasi sepenuhnya dan mampu mengemban amanah untuk membuat lembaga kopdit maju dan berkelanjutan. Pilihannya memang hanya dua: Inovasi atau Mati!



Artikel ini dimuat di Buletin Kopdit Melati Depok edisi no. 01/Tahin XI (17 Maret-17 April 2010)