Oleh: Ditto Santoso
Tahukah Anda bahwa titik nol kilometer NKRI yang sebenarnya bukan berada di Kota Sabang (Pulau Weh) seperti lagu “Dari Sabang Sampai Merauke”? Faktanya, ujung terbarat negara kita terletak di Dusun Rinon-Desa Maringgi di Pulau Breueh, tetangga dekat Pulau Weh. Kata ”rinon” berasal dari tulisan ”RI Nol” pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Warga setempat yang belum fasih berbahasa Indonesia melafalkannya dengan ”rinon”.
Bina Swadaya menugaskan saya ke pulau yang pernah dikenal sebagai pusat produksi ganja di Aceh itu. Saya dan beberapa kawan ditugaskan membuat village assesment bagi sebuah lembaga kemanusiaan internasional.
Terlintas rasa gamang ketika diminta berangkat kesana selama kurang lebih 1 bulan. Pertama, harus meninggalkan istri dengan 2 balita (salah satunya baru berumur 2 bulan, sementara yang lainnya sedang sakit). Kedua, kondisi cuaca perairan di Indonesia sedang tidak bagus. Banyak hujan dan angin, ombak pun sedang tinggi. Kaum nelayan menyebutnya dengan ”musim barat”. Ketiga, daerah yang akan dituju merupakan daerah endemi malaria. Tapi, ini semua merupakan konsekuensi tugas yang harus dijalani.
Ketika tiba di pulau itu awal Juni lalu, kondisi yang ditemukan justru lebih parah. Pulau ini boleh dikatakan ”terisolir”. Untuk ber-SMS atau bertelepon harus mencari ”hot spot” di lokasi yang lebih tinggi, seperti digantung pada dahan pohon. Akibatnya, rata-rata HP warga setempat memiliki tali gantungan. Wartel tidak ada, warung makan amat sangat sedikit jumlahnya, listrik hanya menyala dari jam 6 sore hingga jam 12 malam, dan kondisi kesehatan lingkungan (water and sanitation) memprihatinkan.
Bercakap-cakap dengan beberapa guru yang sudah ditempatkan dalam hitungan tahun disana, terlontar ungkapan stres mereka sejak tahun pertama. Muridnya yang kelas 6 SD belum tentu lancar membaca huruf latin. Di sisi lain, kesejahteraan para guru juga terabaikan. Mereka harus tinggal di barak-barak bekas pengungsi, sementara warga asli rata-rata sudah memperoleh bantuan rumah. Di bidang pertanian dan perikanan, belum pernah ada intervensi dari dinas terkait. Ternyata persepsi umum bahwa daerah tertinggal hanya terdapat di kawasan timur Indonesia tidaklah sepenuhnya benar. Bagaikan gajah di pelupuk mata namun tak tampak, Pulau Breueh merupakan satu contoh daerah tertinggal di kawasan barat Indonesia.
Tapi, tebak sisi positifnya. Minimal buat diri sendiri. Pertama, pasti ada pembelajaran dan petualangan baru yang akan saya alami. Kedua, bisa jalan-jalan gratis ke pulau terbarat Indonesia. Ketiga, “cuci” paru-paru gratis alias bebas dari udara Jakarta yang sarat dengan polusi selama 1 bulan. Keempat, pasti asyik kalau bisa makan ikan laut dari perairan yang juga bebas polusi lingkungan, lagi-lagi selama 1 bulan penuh. Hmm...
Kita lompat sedikit. Pernah membaca kisah “Who Moved My Cheese”? Dikisahkan ada beberapa ekor tikus yang bernama Aci, Beci, dan Cici (sebut saja demikian). Tikus-tikus ini menemukan sepotong besar keju yang amat lezat. Begitu menemukan keju itu, si Aci lantas memotong bagiannya, membawa pergi, dan memakannya hingga habis. Ia pun kekenyangan. Badannya menjadi terlalu gendut untuk bergerak. Lain halnya dengan si Beci. Ia memakan potongan keju bagiannya sedikit demi sedikit. Terlena oleh “kekayaan” yang dimilikinya, lama-kelamaan keju itupun habis tanpa disadari.
Bagaimana dengan si Cici? Si Cici menyadari bahwa jika ia mengkonsumsi keju bagiannya, ia akan merasa kenyang, hasrat laparnya terpenuhi. Tapi ia bertanya-tanya, apakah kebutuhan pangannya itu akan terpenuhi dalam jangka waktu yang lama. Jangan-jangan ia akan terlena dalam sebuah kondisi atau zona nyaman (comfort zone). Si Cici mencoba belajar dari pengalaman kedua temannya, si Aci dan Beci, yang seolah terlena di tengah fasilitas yang dimiliki. Si Cici pun menantang dirinya untuk berani melangkah keluar dari comfort zone itu. Keju itu tidak akan selamanya ada. Untuk terus berlanjut hidup, ia harus mencari keju yang lain sebelum kejunya benar-benar habis. Ia pun kembali berkelana mencari keju yang lain untuk dapat disimpan di gudangnya.
Kondisi yang dialami oleh si Aci, Beci, dan Cici bukan tidak mungkin terjadi pada diri individu atau organisasi. Disinilah titik tolak dari paradigma manusia pembelajar ataupun organisasi pembelajar (learning organization). Bagaimana memandang diri atau organisasi untuk selalu peka terhadap posisinya. Salah satunya, dengan menguji atau menantang diri atas berbagai dinamika perubahan yang terjadi di sekitarnya.
Sementara itu, berada di comfort zone membuat segalanya terasa nyaman, segalanya sudah tercukupi sehingga apapun yang terjadi akan terasa baik-baik saja. Segala masalah sudah bisa teratasi dengan kapasitas yang sudah dipandang cukup dan segala pihak (atau bahkan diri sendiri) memandang diri sudah sangat hebat.
Hal serupa saya alami sebagaimana diceritakan pada awal tulisan ini. Berusaha menantang kegamangan yang bergaung dalam comfort zone pikiran kita. Membangkitkan ide-ide positif yang mungkin bisa diperoleh. Memanggil keluar semangat pembelajaran (learning spirit) yang menempatkan diri ibarat wadah kosong yang siap diisi dengan berbagai hal baru yang akan menguatkan diri nantinya. Sebagai sebuah wadah yang siap diisi, perlu niat positif untuk merendahkan hati, mengosongkan isi pikiran (emosi, asumsi, persepsi, intelektualitas). Disanalah hati dan pikiran akan membuka diri untuk menerima masukan baru. Dari sanalah sebuah proses pembelajaran berawal. Ibaratnya memulai dari titik nol kilometer. Dan dengan bantuan penuh dari Sang Pemberi Rahmat Pembelajaran Terbesar, saat ini saya pun sedang melakukannya.
Salam pembelajar!
Artikel ini dimuat di Buletin INFO Bina Swadaya edisi Juli 2007
Artikel ini dimuat di Buletin INFO Bina Swadaya edisi Juli 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar