Kamis, 25 April 2013

Credit Union: Pertama-tama, Lembaga Pemberdaya!


Oleh: Ditto Santoso



Lintasan Sejarah Credit Union

“Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang dewasa ini, terutama mereka yang miskin dan menderita, adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus pula” (Gaudium et Spes art.1). Seruan untuk berbuat di tengah ladang karya kemanusiaan merupakan panggilan yang ditujukan kepada umat Gereja. Salah satu ladang karya kemanusiaan umat Gereja ialah meningkatkan kualitas hidup manusia dalam hal sosial dan ekonomi.


Dalam ladang karya sosial-ekonomi yang sangat manusiawi ini muncul pendekatan dinamis dan progresif yang telah meretas sejak pertengahan abad XIX. Kala itu, revolusi industri sedang bergaung kencang. Namun, kondisi sosial ekonomi di Flammersfield – Jerman begitu memprihatinkan, terutama di kalangan buruh pabrik. Walikota Friederich Wilhelm Raiffesen menggerakkan para dermawan untuk mengumpulkan dana guna menolong kaum buruh yang miskin. Pendekatan derma dilakukan dan berujung pada kegagalan. Dari situlah Raiffesen menggerakkan kaum buruh untuk membangun credit union (dalam Bahasa Indonesia, diterjemahkan sebagai “koperasi kredit”).


Bila di Jerman gerakan credit union dipelopori oleh Raiffesen, Alphonse Desjardin di awal abad XX merintisnya di Kanada sehingga menjadikan negeri itu sebagai pusat gerakan credit union di seluruh dunia. Bagaimana dengan Indonesia? Gagasan credit union diusung oleh RP. Karl Albrecth SJ dan sahabat-sahabatnya yang berkarya di tengah kondisi sosial-ekonomi masyarakat Indonesia yang memprihatinkan di akhir 1960-an. Hingga tahun 2011 tercatat lebih dari 1.000 credit union primer yang tersebar di seluruh republik kita ini dengan jumlah aset 10 trilyun rupiah.


Dorongan para uskup di Indonesia untuk pengembangan credit union sebagai bagian dari karya pelayanan di tengah masyarakat luas dituangkan melalui Nota Pastoral KWI tahun 2006 yang bertemakan “Habitus Baru: Ekonomi yang Berkeadilan”. Disebutkan bahwa selain menyerukan keprihatinan terhadap kondisi sosial-ekonomi yang ada, aksi konkret perlu dilakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat (art. 19). Melalui nota pastoral ini pula, para uskup mendorong terciptanya tatanan sosial ekonomi yang mengedepankan kesetaraan martabat manusia, kesejahteraan bersama, solidaritas, dan subsidiaritas (art. 28). Credit union dipandang sebagai sebuah strategi yang memuat nilai-nilai tersebut dalam universalitas pelayanannya.


Pendekatan sosial-ekonomi dalam pelayanan kemanusiaan juga dipandang penting oleh Paus Benediktus XVI. Ini tersurat dalam 2 ensiklik yang dibuatnya dalam beberapa tahun terakhir, yakni “Deus Caritas Est” (2005) dan “Caritas in Veritate” (2009). Melalui “Caritas in Veritate”, Bapa Suci menggarisbawahi pentingnya tata kelola ekonomi yang harus diarahkan pada peningkatan kesejahteraan dan pengembangan masyarakat itu sendiri, bukannya memperkaya satu orang atau kelompok dan memiskinkan yang lain (bdk. CIV art. 65). Bentuk credit union dianjurkan sebagai salah satu strategi untuk memperkuat perekonomian masyarakat. Lalu, agar pelayanan kemanusiaan dalam bidang sosial-ekonomi itu bisa berjalan efektif, beliau juga menekankan pentingnya organisasi yang efektif dan dikelola oleh orang-orang yang memiliki kompetensi di bidangnya serta komitmen pelayanan yang tinggi (bdk. DCE art. 21).


Pilar-pilar yang Memberdayakan

Apa yang membuat Gereja meyakini dan mendorong credit union diterapkan sebagai salah satu pendekatan penting pelayanan kemanusiaan, khususnya dalam bidang sosial-ekonomi. Tentunya hal ini tak lepas dari filosofi yang diusung oleh credit union itu sendiri.


Credit union dikenal sebagai salah satu bentuk lembaga keuangan mikro yang memberikan pelayanan keuangan bagi anggotanya. Namun perlu dipahami bahwa credit union tidaklah berkarya demi keuntungan finansial semata. Credit union pertama-tama hadir untuk menanggapi permasalahan sosial yang ada didepannya (bdk. sejarah berdirinya credit union yang dirintis oleh Raiffesen). Itulah mengapa, sangat ditekankan juga bahwa credit union bukanlah “sekumpulan modal” melainkan “sekumpulan manusia” yang saling percaya dan bersama-sama mencari jalan keluar untuk memecahkan permasalahan yang dihadapinya.


Hal tersebut diatas membawa kita semua pada pilar-pilar yang menjadi penyangga utama bangunan organisasi credit union. Pilar-pilar tersebut adalah pendidikan, swadaya, dan solidaritas. Sebagaimana dikampanyekan oleh gerakan credit union di seluruh dunia, pendidikan diyakini sebagai kunci dalam merintis, mengembangkan, dan memelihara credit union itu sendiri. Pendidikan itu wajib hukumnya dalam credit union. Karenanya setiap orang yang baru saja bergabung dalam sebuah credit union primer diwajibkan mengikuti salah satu bentuk pendidikan, yaitu Pendidikan Dasar Anggota Credit Union. Melalui pendidikan, credit union mendorong anggotanya untuk membuka wawasan dan melihat permasalahan kehidupannya sehari-hari melalui perspektif pengembangan diri dan pengelolaan keuangan pribadi secara lebih bijak. Dalam jenis pendidikan tertentu, credit union juga membangun kapasitas anggotanya dalam membangun kepemimpinan dan organisasi di masyarakat. Dari sini kita dapat melihat, bahwa credit union tidak semata-mata mencari untung, melainkan lebih pada memberdayakan. “Uang bukanlah cara, melainkan sarana untuk mencapai tujuan,” demikian salah satu butir pemikiran Raiffesen.


Pilar kedua gerakan credit union adalah “swadaya”. Pemahaman mengenai swadaya menitikberatkan pada kemampuan seseorang atau organisasi yang mampu memberdayakan dirinya untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya secara mandiri. Keswadayaan ini diwujudkan oleh credit union dengan mengajak anggota-anggotanya mengumpulkan modal secara kolektif dan mengelolanya untuk menyelesaikan masalah-masalah mereka. Pilar ini mendorong anggota credit union untuk memberdayakan dirinya sendiri semaksimal mungkin tanpa harus menunggu bantuan dari luar. Disinilah credit union menunjukkan jati dirinya sebagai sebuah lembaga pemberdaya. Salah satu bentuk konkret dari pilar swadaya ini ialah bahwa credit union secara tegas mengatakan “tidak” kepada bantuan atau modal finansial dari luar. Credit union mengumpulkan modal finansial hanya dari anggotanya. Karena itu, credit union merupakan milik seluruh anggotanya, bukan milik pengurus.


Pilar “solidaritas” merupakan semangat yang digemakan oleh credit union agar anggota saling membantu anggota yang lain melalui mekanisme keuangan mikro. “Saya susah, Anda bantu; Anda susah, saya bantu,” demikian ungkapan yang sering terlontar. Credit union tidak hanya mendorong anggota untuk memecahkan masalahnya sendiri, melainkan juga mendorongnya untuk membantu anggota lain memecahkan masalah mereka. Solidaritas ini diorganisir dalam kelompok-kelompok pelayanan credit union dimana kegiatan pendidikan juga terselenggara disitu dan anggota-anggota bisa saling berdiskusi satu sama lain untuk saling meneguhkan dan berbagi pengalaman.


Epilog

Memang tak sedikit credit union yang masih harus bergumul dengan permasalahan-permasalahan teknis seperti keanggotaan, administrasi, pengelolaan keuangan, pinjaman bermasalah, dan lain-lain. Tentunya ini merupakan jalan terjal untuk bisa mewujudkan sebuah pelayanan yang memberdayakan anggota dan masyarakat. Pelayanan yang profesional juga merupakan tuntutan yang harus dilaksanakan. Namun kiranya semangat dasar credit union yang tercermin dalam tiga pilar tidak boleh sirna. Hal ini perlu disadari oleh semua pihak, juga oleh para pegiat credit union sendiri. Karena disana telah jelas disebutkan, bahwa credit union pertama-tama bukanlah lembaga keuangan. Credit union pertama-tama adalah lembaga pemberdaya!

 
 
Penulis adalah Panitia Pendidikan CU Dian Padua
Artikel dimuat di Warta Paroki St. Thomas, Kelapadua, Depok, edisi khusus Natal 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar