Selasa, 30 Juni 2009

Air

Hasta brata ekonomi keluarga (5)

Oleh: Ditto Santoso



Pria pertengahan tiga puluhan itu melangkah gontai melintasi pagar rumahnya. Ia berjalan ke arah perempatan yang tidak begitu jauh dari rumah tipe 36 huniannya 3 tahun terakhir bersama istri dan anaknya. Angin berhembus pelan mengiringi langkahnya. Dibarengi suara jangkrik dan sesekali terdengar lolongan anjing. Hari sudah menunjukkan pukul sebelas tiga puluh malam. Malam Jumat kliwon.

Di warung itu tampaklah beberapa orang sedang duduk mengobrol sambil menikmati kopi.

“Yuk, Pak Suko. Gabung ngopi disini,” ajak salah satu yang sudah duduk disana. “Kok lesu banget? Lagi ribut sama ibunya anak-anak?”

“Lha iyalah… masak ya iya dong,” sahut pria lain yang duduk di sampingnya.

Pria yang bernama Pak Suko itupun duduk. Ia pun menghela nafas panjang. Sesaat kemudian ia memesan secangkir kopi. Sambil menyambar sepotong pisang goreng ia pun buka suara.

“Biasalah. Krisis rumah tangga. Mana istriku banyak menuntut beli ini-itu, padahal duit juga pas-pasan buat kebutuhan yang penting. Kan di masa krisis ekonomi seperti sekarang ini kita harus punya tabungan. Eee malah dia maunya beli ini-itu,” kata Pak Suko.

“Jadilah ribut terus hampir tiap hari. Tanggal muda tanggal tua sama saja,” lanjutnya lagi sembari menerima secangkir kopi pesanannya. “Jadi suntuk kalau di rumah. Mending nongkrong di sini saja.”


“Kenapa harus bersuntuk-suntuk dengan orang yang seharusnya bisa berbagi kesuntukan itu?” terdengar sebuah suara berat dan berwibawa dari sudut meja.


Semua yang nongkrong di warung itupun menoleh ke arah sumber suara. Di ujung sana tampak seseorang berambut panjang dan gondrong sebahu yang tengah duduk sambil memegang secangkir kopi. Ia menundukkan kepala sehingga rambut panjang terurai menutupi wajahnya. Di tengah lampu yang temaram tampak ia mengenakan baju surjan (baju lurik a la warga pedesaan di Jawa).


“Wah, Bapak ini siapa ya? Mohon maaf. Apakah saya kenal? Apakah Bapak tahu apa yang saya alami?” tanya Pak Suko setengah penasaran.


Orang berambut panjang itupun mendongakkan kepalanya. Rambutnya sedikit tersibak. Tampaklah ia berwajah bersih dengan kacamata bulat kecil bertengger di atas hidungnya. Jadi mirip dengan John Lennon saat the Beatles sedang ngetop dulu. Sejumput jenggot menghiasi dagunya. Usianya sepertinya antara 40-50 tahunan.


“Saya Ki Joko GP. Saya melihat bahwa Bapak ini punya masalah dengan istrinya,” kata orang berambut panjang itu pelan.


Pak Suko pun mengerutkan keningnya. Wah, orang pintar ini rupanya. Bisakah permasalahanku dipecahkan dengan bantuannya?


“Apa lagi yang Bapak tahu?” tanyanya kemudian. Orang lain yang sedang nongkrong di warung itu mulai memusatkan perhatian pada laki-laki beramput panjang yang bernama Ki Joko GP itu.


“Bapak yang baik, apakah yang Anda ributkan dengan istri itu perkara duit?” tanyanya.


“Betul, Ki Joko!” kata Pak Suko tegas. “Gaji saya yang tak seberapa ini baru naik sedikit saja, istri saya sudah minta macam-macam. Beli ini, beli itu. Padahal kan lebih baik ditabung dulu biar beranak-pinak yang banyak?!”


Sembari tersenyum Ki Joko GP mengelus jenggotnya.


“Kalau boleh mengira, pastilah Bapak tidak pernah menyampaikan ide Bapak itu sebelumnya kepada istri?” tanyanya kemudian yang ditanggapi oleh Pak Suko dengan anggukan pelan.


Ki Joko GP menarik nafas panjang. Ia kemudian menggeser segelas air putih yang ada di dekatnya ke arah yang lebih dekat dengan Pak Suko dan orang-orang yang duduk di sekitarnya.


“Lihatlah gelas ini. Lihatlah air didalamnya. Bening dan tenang,” kata Ki Joko GP. “Ketika orang memasukkan gula ke dalamnya, ia pun menerima. Ketika diaduk, air pun bercampur dengan gula. Hasilnya? Tentu saja rasanya manis.”


“Maksudnya, Ki?” tanya salah seorang pria disamping Pak Suko mulai antusias.


“Air adalah salah satu unsur alam yang bisa dipelajari dari Hasta Brata. Sifatnya yang cair, membuat ia sering menjadi media untuk melarutkan apa saja, misalnya teh, kopi, ataupun obat puyer. Karena sifat cairnya itulah, ia mudah berinteraksi dengan unsur-unsur alam lainnya.”


Ki Joko GP berhenti sejenak. Ia menyeruput wedang kopinya sebelum melanjutkan.


“Demikian pula halnya dengan berkomunikasi dengan pasangan hidup kita. Ibarat air, komunikasi pun harus bersifat cair. Mengapa? Agar ada ruang dimana salah satunya bisa mendengarkan yang lain. Bukankah inti dari komunikasi itu adalah mendengarkan?” katanya.

“Pengelolaan ekonomi keluarga pun harus dilandasi komunikasi positif antara suami-istri. Segalanya perlu dibicarakan bersama. Karena, keduanya setara dalam hal pengelolaan ekonomi keluarga. Kesetaraan itu, salah satunya diwujudkan dengan tidak adanya pembedaan. Misalnya, suami minta ‘jatah’ duit lanang atau uang laki-laki. Sementara istri tidak punya hak untuk itu.”


Semua seolah terpana dan memperoleh pencerahan dari laki-laki bernama Ki Joko GP itu.


“Air juga menjadi penyegar di kala kehausan. Kekeringan dalam keuangan keluarga pun dapat disegarkan manakala itu dikomunikasikan dengan baik pula. Suami akan paham dan istri pun akan mengerti. Ini semua bisa terwujud apabila terjadi komunikasi dialogis untuk perencanaan dan pengelolaan ekonomi keluarga. Dialog atau proses komunikasi dua arah baru bisa tercapai jika suami maupun istri sama-sama memiliki posisi yang setara. Ibarat air yang permukaannya selalu rata.”


Pak Suko pun melongo mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut Ki Joko GP. Komunikasi intensif di antara suami-istri perlu menjadi landasan dalam pengelolaan ekonomi keluarga. “Jika aku sudah menyampaikan ideku kepada istriku sebelumnya mengenai pemanfaatan uang gajiku, mungkin kami tidak akan ribut seperti ini. Jika aku mau mengembangkan komunikasi yang dialogis, mungkin buah pikiran kami berdua bisa menghasilkan ide yang lebih cemerlang,” demikian terbersit dalam pikirannya.


Ia pun bermaksud menanyakan lebih lanjut. “Lalu, Ki, bagaimana dengan…”


Ia menoleh ke kiri dan ke kanan.


“Lho dimana Ki Joko GP tadi?” tanyanya pada orang yang duduk di sebelahnya.


“Ki Joko siapa? Dari tadi Pak Suko duduk melamun disitu kok,” jawab orang di sebelahnya. “Tuh, kopinya sampai dingin…”


Pak Suko pun terbengong-bengong. Lantas, siapa tadi yang berbicara di hadapannya? Dimana orang bernama Ki Joko GP itu sekarang? Dia sama sekali tidak habis pikir. Ada pencerahan aneh yang diperolehnya dari sosok “Ki Joko GP” yang datang tak dijemput pulang tak diantar.


Sementara angin malam berhembus makin kencang. Malam Jumat kliwon pun semakin kelam diiringi lolongan anjing di kejauhan…

Artikel dimuat di Buletin Kopdit Melati Depok Edisi No. 3/Tahun X (17 Mei-17 Juni 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar