Persepsi “CSR =
Sumber Dana”
Apa yang
terbersit pertama kali dalam benak seseorang ketika mendengar istilah “CSR”? Pertanyaan
ini sering dilontarkan oleh fasilitator dalam pelatihan-pelatihan yang mengintroduksikan
CSR. Salah satu yang sering menjadi jawaban terhadap pertanyaan tersebut adalah
“dana”.
Persepsi bahwa
CSR merupakan “sumber dana” bukan hal yang asing ditemukan di Indonesia.
Persepsi ini tidak hanya dimiliki oleh masyarakat, melainkan juga sebagian kalangan
aparatur pemerintah atau pemangku kepentingan lainnya. Masih tak jarang
ditemukan bahwa (dana) CSR menjadi sumber pendapatan daerah yang harus
dianggarkan dalam biaya operasi perusahaan. Dari segi investasi, tentunya hal
ini menjadi sesuatu hal yang membuat para investor mengernyitkan keningnya.
Sementara, masyarakat sebagai salah satu pemangku kepentingan utama perusahaan
juga banyak yang memandang CSR perusahaan sebagai mesin ATM yang setiap saat
bisa “digesek” agar uangnya keluar.
Hal tersebut
tentunya berbeda dengan komitmen perusahaan yang melalui CSR ingin berkontribusi
terhadap pembangunan berkelanjutan, termasuk didalamnya dalam hal peningkatan kesejahteraan
masyarakat sebagaimana dirumuskan dalam ISO 26000. Berkontribusi bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat diwujudkan dalam berbagai inisiatif CSR di berbagai
lini yang bermuara pada peningkatan keberdayaan masyarakat dalam mengatasi
permasalahan-permasalahan sosial dan lingkungan di sekitarnya. Salah satunya
melalui program pengembangan ekonomi lokal (Local Economic Development/LED)
Usaha Mikro:
Penggerak Ekonomi Lokal
Di republik kita
tercinta, ranah pengembangan ekonomi lokal merupakan pintu bagi kesinambungan
inisiatif-inisiatif pemberdayaan masyarakat. Dalam salah satu definisi yang diajukan
oleh World Bank, pengembangan ekonomi lokal merupakan suatu upaya untuk membangun
kapasitas ekonomi lokal guna meningkatkan perekonomian di masa depan serta meningkatkan
kualitas hidup masyarakat. Didalamnya mensyaratkan adanya keterlibatan para pihak, yaitu
pemerintah, sektor swasta, maupun dari sektor nirlaba untuk dapat secara
bersama-sama menciptakan kondisi pertumbuhan ekonomi dan ketenagakerjaan yang
lebih baik.
Dalam konteks
Indonesia, permasalahan terbesar yang dihadapi ialah tingkat pengangguran yang
tinggi. Berdasarkan data BPS pada bulan Februari 2014, Indonesia memiliki angkatan
kerja yang jumlahnya mendekati setengah dari jumlah penduduk Indonesia, yaitu 125,32
juta jiwa. Diantara jumlah tersebut, persentase pengangguran terbuka cukup
besar, yakni 5,70%. Sementara, persentase penduduk yang bekerja dengan bekal
pendidikan SD ke bawah masih dominan, yakni sebesar 46,80%. Sebuah persentase
yang sangat besar dimana dalam kenyataan lulusan SD kebawah sangatlah sulit
memasuki sektor formal. Hal ini terlihat dengan jelas dengan persentase sektor
informal yang lebih banyak menyerap tenaga kerja sebesar 59,81%.
Berkaca dari
kondisi tersebut di atas, maka sektor informal merupakan ranah yang yang berpotensi
menjadi penggerak pengembangan ekonomi lokal. Di masa silam tatkala krisis di penghujung
1990-an menghantam Indonesia, telah terbukti bahwa usaha-usaha formal yang notabene
merupakan usaha menengah dan besar justru berguguran. Sementara usaha kecil dan
mikro yang umumnya berada di ranah informal justru bertahan di tengah krisis
yang mendera. Karena itu, pemberdayaan usaha mikro menjadi inisiatif kunci
dalam pengembangan ekonomi lokal. MenkopUKM Syarief Hasan bahkan pernah
mengakui bahwa usaha mikro, kecil, dan menengah menyumbang 57% Produk Domestik
Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2013.
Data KemenkopUKM
(2010) menunjukkan bahwa komposisi usaha mikro menempati jumlah terbesar, yakni
50,697 juta unit (92,04%), disusul dengan usaha kecil 4,340 juta unit (7,88%),
usaha menengah 39,657 juta unit (0,072%), dan usaha besar 4,370 unit (0,008%). Dengan
demikian, berbicara mengenai pengembangan ekonomi lokal artinya berbicara pemberdayaan
usaha mikro yang memiliki komposisi terbesar itu. Mengapa? Karena memiliki potensi
berkembang yang sangat cepat dan potensi untuk dinaikkan “kelas”-nya menjadi
usaha menengah. Meskipun demikian, usaha mikro juga rentan untuk terjatuh lagi
dalam jurang kemiskinan. UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah mendefinisikannya sebagai usaha yang memiliki kekayaan bersih paling
banyak Rp 50 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300 juta.
Credit union: Membangun
Modal Finansial
Pemberdayaan
usaha mikro akan selalu bersentuhan dengan aspek (capacity building), pengadaan
bahan baku, pengembangan permodalan, dan akses pasar Berdasarkan data BPS
(1999, 2004, diolah kembali), aspek permodalan merupakan tantangan terbesar
yang dihadapi oleh para pelaku usaha mikro. Umumnya pelaku usaha mikro harus berjibaku
untuk menghadapi kesulitan permodalan pada masa-masa awal merintis usahanya. Merujuk
dari sumber yang sama, disebutkan bahwa mau tak mau mereka harus mencari pinjaman
dana untuk memodali usaha mereka. Disinilah para pelaku usaha mikro terbelit
dengan para peminjam uang berbunga tinggi. Kondisi ini justru akan
menjerumuskan mereka kembali dalam lingkaran kemiskinan yang tak pernah
terputus.
Pada celah
inilah, pendekatan keuangan mikro masuk sebagai sebuah instrumen pemberdayaan.
Gert van Mannen (2004) mengatakan, “Keuangan mikro merupakan development instrument yang efektif
untuk menanggulangi kemiskinan dan sound
business. Keuangan mikro merupakan mekanisme pelayanan keuangan bagi
masyarakat miskin yang mengembangkan usaha produktif, dengan menggunakan
mekanisme dan prosedur kontekstual, yaitu non konvensional dan sederhana.”
Pendekatan
keuangan mikro yang dilakukan oleh berbagai lembaga keuangan mikro (LKM) dapat
dikategorikan dalam 4 model berdasarkan sistem dan pengalaman praktek keuangan
mikro di Indonesia (Ismawan, 2002), yaitu:
- Saving-led microfinance. Pendekatan ini mendorong adanya penggalangan simpanan (tabungan) di awal yang diakumulasi sebagai modal bersama untuk kemudian dipinjamkan kepada anggota. Contoh: credit union (koperasi kredit), koperasi simpan-pinjam (KSP), kelompok swadaya masyarakat (KSM/self-help groups), kelompok usaha bersama (KUBE)
- Credit-led microfinance. Pendekatan ini memobilisasi dana dari sumber-sumber lain yang ditujukan bagi para pelaku usaha mikro yang membutuhkan akses pinjaman. Umumnya, anggota yang meminjam disyaratkan harus memiliki business plan atas usaha yang dikelolanya. Contoh: baitul mal taamwil (BMT), Grameen Bank dan ASA (Association for Social Advancement) di Bangladesh, badan kredit desa (BKD).
- Microbanking. Pendekatan ini merupakan pola pelayanan perbankan yang didesain untuk melakukan pelayanan keuangan mikro bagi masyarakat kecil sehingga produknya mudah dijangkau dan dirasakan manfaatnya. Contoh: bank perkreditan rakyat (BPR), bank-bank swasta dengan model pelayanan pinjaman untuk usaha mikro seperti Danamon Simpan Pinjam.
- Linkage model. Pendekatan ini menghubungkan kelompok-kelompok swadaya masyarakat dengan akses sumberdaya permodalan yang lebih besar, sehingga diperoleh kucuran modal untuk digulirkan (revolving fund) dalam kegiatan simpan-pinjam. Contoh: Pola Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK) di era 1990-an, linkage antara Permodalan Nasional Madani (PNM) dan BPR.
Dari beberapa
pendekatan tersebut, penulis mengangkat pendekatan credit union atau yang
di Indonesia diterjemahkan sebagai “koperasi kredit” sebagai sebuah model
pengembangan ekonomi lokal pada aspek pengembangan permodalan yang memiliki
sifat berbasis komunitas (community-based). Selain merujuk pada
pengalaman pribadi penulis sebagai pegiat credit union, terdapat
beberapa alasan fundamental yang menjadi titik tolak.
Pertama-tama, credit
union memiliki 3 pilar penting, yaitu pendidikan, keswadayaan, dan solidaritas.
Pilar pendidikan dan keswadayaan menjadi sangat penting karena lembaga credit
union membangun pondasi kesadaran bagi anggotanya untuk hidup mandiri
dengan mendorong pertama-tama membangun kekuatan ekonomi berupa simpanan. Modal
finansial yang terakumulasi dalam credit union hanya digalang dari
anggota semata. Disinilah letak keswadayaan yang menjadi kekhasan dan kekuatan
pendekatan saving-led microfinance pada credit union. Secara
prinsipil, credit union tidak menerima dana dari pemerintah, swasta, maupun
lembaga donor sebagai bagian dari modal yang dikumpulkannya. Prinsip
keswadayaan ini jugalah yang ditanamkan kepada anggota melalui berbagai modul
pendidikan untuk membangun tabungan terlebih dahulu sebelum menggunakan
penghasilannya untuk keperluan yang lain. Berdasarkan data penulis per Juni
2012, jumlah simpanan yang dihimpun dari hampir 2 juta anggota credit union di
seluruh Indonesia sejumlah Rp 12,55 trilyun dan outstanding credit sebesar
Rp 11,18 trilyun. Dapat dibayangkan betapa dahsyat kekuatan simpanan swadaya anggota
credit union yang selanjutnya dipinjamkan kepada sesama anggota untuk
meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonominya. Dan telah terbukti pula, pasca
krisis ekonomi di penghujung 1990-an, LKM seperti credit union, koperasi
simpan pinjam, dan baitul mal taamwil (BMT, koperasi syariah) terbukti
bertahan di saat perbankan kolaps dan banyak perusahaan gulung tikar.
Kedua, credit
union mendorong solidaritas diantara sesama anggota. Bagaimana hal ini dapat
diwujudkan? Pilar “solidaritas” merupakan semangat yang digemakan oleh credit
union agar anggota saling membantu anggota yang lain melalui mekanisme
keuangan mikro. “Saya susah, Anda bantu; Anda susah, saya bantu,” demikian
salah satu slogan pelayanan yang digemakan dalam credit union. Credit
union tidak hanya mendorong anggota untuk memecahkan masalahnya sendiri,
melainkan juga mendorongnya untuk membantu anggota lain memecahkan masalah
mereka. Solidaritas ini diorganisir dalam kelompok-kelompok pelayanan credit
union. Dalam kelompok itulah kegiatan pendidikan diselenggarakan dan
anggota-anggota bisa saling berdiskusi satu sama lain untuk saling meneguhkan
dan berbagi pengalaman. Melalui interaksi ini kerekatan sosial dibangun melalui
pendekatan yang berbasis komunitas (community-based) dan partisipatif.
Ketiga, credit
union memiliki jejaring yang tersistematis dan pelayanan keuangan yang terstandarisasi
secara global. Hingga akhir Desember 2013 terdapat 921 unit credit union primer
di seluruh Indonesia yang tergabung dalam 36 Pusat Koperasi Kredit (disingkat “Puskopdit”,
sejenis asosiasi dari credit union primer yang berfungsi sebagai
koperasi sekunder). Tiga puluh enam asosiasi koperasi sekunder di seluruh
Indonesia itu tergabung dalam “Induk Koperasi Kredit Indonesia” (Inkopdit) yang
berkantor pusat di Jakarta. Inkopdit beserta asosiasi credit union di
negara-negara Asia berhimpun dalam ACCU (Asian Confederation of Credit union)
dan di tingkat global bernaung dibawah WOCCU (World Council of Credit union).
Dengan besaran jejaring hingga tingkat internasional tersebut, credit union juga
memiliki perangkat-perangkat organisasional modern sebagai kelengkapan
organisasinya dengan bertumpu pada manajemen modern.
Keempat, sejarah
perkembangan credit union di Indonesia yang diawali sejak awal 1970-an
telah menghasilkan best practices yang bisa menjadi benchmark bagi
komunitas-komunitas yang memimpikan hidup berswadaya. Di Kalimantan Barat
terdapat Credit Union (CU) Pancur Kasih yang berdiri sejak 1987 yang
memiliki tempat pelayanan hingga di tengah hutan belantara Kalimantan. CU
Pancur Kasih menjadi rujukan pembelajaran bagi banyak pegiat credit union dari
dalam maupun luar negeri. Di Sulawesi Selatan dapat ditemukan CU Sauan
Sibarrung di Kabupaten Toraja yang memiliki anggota sejumlah lebih dari 13.000
orang yang mayoritas petani-petani di pegunungan. Di Jawa Timur, orang banyak
belajar ke CU Sawiran di Nongkojajar yang dirintis oleh sekelompok karyawan
dari usaha penginapan. Sementara di Jakarta dan sekitarnya terdapat CU Sehati
yang dirintis oleh kelompok pengajian ibu-ibu RT di Pejaten, Jakarta Selatan.
Ada juga CU Sejahtera di Cibinong yang merupakan CU terbesar di wilayah Bogor
dan Banten. Credit union primer yang telah sukses ini berpotensi untuk direplikasi
dalam program-program pengembangan ekonomi lokal melalui pendekatan keuangan mikro.
Sinergi CSR dan Credit
union
Melihat bahwa credit
union memiliki potensi besar sebagai sebuah perangkat pemberdayaan usaha
mikro, tak pelak bahwa program-program pengembangan ekonomi lokal yang
diinisiasi oleh CSR perusahaan dapat mengadopsinya dalam strategi program
dengan beberapa kemungkinan. Satu hal kritikal yang perlu diperhatikan,
tingginya semangat keswadayaan dalam credit union akan membuat mereka
tidak mau menerima “bantuan” atau “insentif” dalam bentuk dana ke dalam kas
lembaga.
Pertama,
mendorong replikasi model credit union sebagai bentuk intervensi untuk
turut menyelesaikan permasalahan akses permodalan bagi warga penerima manfaat
program-program CSR (beneficiaries). Intervensi ini akan berjalan dengan
adanya proses fasilitasi dan penggalian kebutuhan masyarakat mengenai sebuah
kelembagaan yang bersifat sustainable dan dapat memfasilitasi mereka
untuk memupuk modal bersama guna mencapai kesejahteraan bersama. Dengan
pendekatan credit union, masyarakat didorong untuk membangun kekuatan
finansial melalui simpanan, tak hanya menunggu skema pinjaman yang langsung datang
dengan nilai nominal sekian. Ini akan membuat rasa kepemilikan masyarakat yang
menjadi anggota credit union tinggi, karena uang yang diputar sebagai
pinjaman adalah uang mereka sendiri dan bukan uang perusahaan (baca: dana CSR).
Kedua, replikasi
model credit union mensyaratkan adanya pengkaderan dan peningkatan kapasitas
intensif bagi warga masyarakat yang menjadi relawan dalam kepengurusan dan kepengawasan,
maupun yang secara profesional menjadi tim manajemen credit union.
Mengacu pada standar credit union, terdapat modul-modul khusus yang
perlu dikuasai agar seseorang dapat memiliki kompetensi untuk duduk dalam
jajaran kepengurusan, kepengawasan, dan manajemen credit union.
Ketiga,
mengintegrasikan program CSR untuk pengembangan ekonomi lokal dengan program
lain seperti pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Contohnya, mendorong warga penerima
manfaat program CSR untuk membangun ketahanan keluarga dan mereduksi kerentanannya
dengan memupuk modal bersama di credit union. Warga masyarakat dengan basis
hitungan kepala keluarga (KK) tidak diberikan uang tunai secara cuma-cuma,
melainkan dalam bentuk simpanan atau tabungan. Contohnya, bantuan beasiswa
pendidikan tidak diberikan dalam bentuk tunai, melainkan dalam bentuk simpanan.
Warga dapat memanfaatkan dana tersebut dalam bentuk pinjaman pendidikan yang
akan dikembalikan ke credit union dalam bentuk angsuran. Dengan demikian
dana bantuan beasiswa tersebut tidak pernah habis, melainkan akan terus
berkembang dalam bentuk simpanan, karena memperoleh jasa simpanan atau angsuran
serta dalam bentuk Surplus Hasil Usaha (SHU) yang dibagikan setiap akhir tahun.
Keempat, desain
program pemberdayaan ekonomi dari CSR perusahaan perlu membangun linkage antara
aspek-aspek lain yang menjadi tumpuan perkembangan usaha mikro, yaitu
pengembangan kapasitas, pengadaan bahan-baku, dan akses pasar. Berdasarkan pengalaman
dan pengamatan penulis, umumnya program pemberdayaan usaha mikro tertatih-tatih
dalam membangun aspek yang terakhir, yakni akses ke pasar. Meski disebut
terakhir, justru aspek inilah yang harus dipetakan sejak awal sebagai sebuah milestone
penting yang harus dicapai. Linkage harus dibangun antara para
pelaku usaha mikro (anggota credit union) yang berada pada sisi supply
dengan para pemanfaat produk yang berada pada sisi demand. Ini yang kerap
terlupakan. Akibatnya, program pemberdayaan usaha mikro justru berjarak dengan kebutuhan
pasar. Dan program pun hanya “jalan di tempat” saja.
Epilog: Menuju
Keberdayaan Masyarakat
Mengandaikan
bahwa credit union menjadi perangkat untuk membangun keswadayaan warga penerima manfaat
program CSR dan mereka terdorong untuk membangun kekuatan ekonominya melalui
pemupukan simpanan dan modal usaha, tentunya akan berkontribusi dalam penurunan
persepsi bahwa untuk bisa membuat usaha maju, dana bantuan CSR-lah yang
diandalkan. Untuk itu, tiga pilar credit union yang juga bersifat
universal, yakni pendidikan, keswadayaan, dan solidaritas, harus selalu
digaungkan dalam program-program CSR untuk pemberdayaan masyarakat.
Tiga pilar
tersebut menjadi semacam prasyarat fundamental yang diperlukan untuk membangun
kesadaran aktif warga penerima manfaat program CSR hingga akhirnya menuju keberdayaan
yang sejati. Tinggal mana yang menjadi pilihan, membuat keswadayaan berkelanjutan
atau membuat ketergantungan berkelanjutan. Pilihan ada di tangan para perancang
dan pelaku program CSR.
Sumber Bacaan
- AM Lilik Agung (ed.). 2012. Credit union: Kendaraan Menuju Kemakmuran – Praktek Bisnis Sosial Model Indonesia. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
- Ayub Barombo et al. 2012. Pemberdayaan Masyarakat melalui Koperasi Credit Union (CU): Studi pada CU Khatulistiwa Bakti – Pontianak. Pontianak: Universitas Tanjung Pura.
- Badan Pusat Statistik. 2014. Berita Resmi Statistik No. 38/05/Th. XVII, 5 Mei 2014. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
- Badan Pusat Statistik. 2014. Perkembangan Beberapa Indikator Sosial-Ekonomi Indonesia:Februari 2014. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
- Bambang Ismawan dan Setyo Budiantoro. 2005. Keuangan Mikro: Sebuah Revolusi Tersembunyi dari Bawah. Jakarta: Gema PKM Indonesia.
- Bambang Ismawan (ed.). 2012. Membangun Indonesia dari Desa melalui Keuangan Mikro. Jakarta: Gema PKM Indonesia.
- Banking with the Poor Network. 2009. Microfinance Industry Report: Indonesia. (tanpa kota): Citi Foundation, BWTP Network, FDC, SEEP Network.
- Bayu Krisnamurthi. 2002. Membangun Koperasi Berbasis Anggota Dalam Rangka Pengembangan Ekonomi Rakyat. Jakarta: Jurnal Ekonomi Rakyat.
- FY Khosmas. (tanpa tahun). Ekonomi Kerakyatan Baru (Gerakan Credit Union di Kalimantan Barat). Pontianak: Universitas Tanjung Pura.
- Gema PKM Indonesia. 2003. Kemiskinan dan Keuangan Mikro. Jakarta: Gema PKM Indonesia.
- Gert van Maanen. 2004. Microcredit: Sound Business or Development Instrument. Hoevelaken Netherland: SGO Uitgeverij.
- H. Woeryanto. 2004. Credit Union untuk Anda. Jakarta: Yayasan Bekatiga Indonesia.
- Ibnoe Soedjono.2007. Membangun Koperasi Mandiri dalam Koridor Jatidiri. Jakarta: LSP2I-ISC.
- ISO. 2010. ISO 26000: Guidance on Social Responsibility. Geneva: ISO Copyright Office.
- Rochman Achwan. 2007. Microfinance Institution, Social Capital, and Peacebuilding:Evidence from West Kalimantan, Indonesia. Jakarta: Center for Research on Inter-group Relations and Conflict resolution (CERIC) University of Indonesia.
- Tulus Tambunan. 2008. Prospek Perkembangan Koperasi di Indonesia ke Depan: Masih Relevankah Koperasi di Era Modernisasi Ekonomi. Jakarta: Pusat Studi Industri dan UKM Universitas Trisakti.
Karya tulis ini diajukan untuk kompetisi Indonesia Best CSR Manager dalam event "Indonesia CSR Award 2014" yang diselenggarakan oleh Kemenkokesra dan Corporate Forum for Community Development (CFCD) dan memperoleh penghargaan sebagai pemenang ke-3