“Ketika prinsip-prinsip kemanusiaan dan konvensi hak asasi manusia memastikan bahwa terjadi peningkatan perlindungan khusus bagi anak-anak dalam situasi darurat; hak anak untuk berpartisipasi masih belum terlihat. Anak-anak masih lebih dipandang sebagai korban bencana daripada sebagai agen perubahan yang aktif dan mampu membuat perbedaan riil.” (Plan International, 2007)
Sejarah mencatat bahwa korban terbanyak dalam tragedi gempa bumi dan tsunami di Aceh ialah perempuan dan anak-anak yang berusia di bawah 15 thun (Synthesis Report of the Tsunami Evaluation Coalition, 2006). Dalam konteks bencana sosial, Plan UK (2002) mencatat pula bahwa selama 1999-2000, kehidupan dari 77 juta anak dipengaruhi oleh konflik dan bencana; 115.000 anak di bawah 15 tahun meninggal dunia karena konflik dan bencana; jutaan anak menjadi tidak memiliki rumah, kehilangan orang yang dicintai, terluka,dan menderita trauma psikologis.
Riset World Vision dan Plan International (Children on the Frontline: Children and Young People in Disaster Risk Reduction, 2009) menemukan bahwa baik anak maupun orang muda tidak puas dengan apa yang sudah dilakukan untuk mencegah atau melakukan mitigasi atas risiko bencana. Mereka merasa perlu terlibat aktif dalam upaya membangun resiliensi atas diri mereka dan masyarakat secara keseluruhan, serta meningkatkan kinerja upaya pengurangan risiko bencana (PRB). Suara anak-anak ini didukung pula oleh Konvensi Hak Anak pasal 6 ayat 2, bahwa Negara harus menjamin kebertahanan (survival) dan pengembangan anak semaksimal mungkin. Tentunya kondisi darurat juga termasuk didalamnya. Sejalan dengan itu, pasal 3 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menggarisbawahi bahwa anak-anak berhak untuk tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi dalam berbagai kondisi.
Bertolak dari hal-hal tersebut di atas, partisipasi anak dalam kerja besar PRB niscaya dilakukan. Usia anak yang terentang antara 0-18 tahun (definisi berdasarkan Konvensi Hak Anak dan UU No. 23 tahun 2002) memungkinkan berbagai bentuk strategi yang mungkin dilakukan untuk melibatkan anak dalam upaya PRB. Hal paling sederhana ialah melakukan introduksi atas konsep PRB bagi anak. Bentuknya bisa beragam, antara lain dengan memasukkan unsur PRB dalam kurikulum pendidikan atau kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, mengembangkan media-media informasi seperti poster, komik, sticker, paket permainan, film, dan lain-lain. Beberapa organisasi kemanusiaan yang menerbitkan media seperti itu antra lain Yayasan IDEP - Bali dengan komik-komiknya atau World Vision dengan film singkat ”Bagas dan Menur”.
Bentuk kedua yang potensial dilakukan ialah melibatkan anak dalam praktek. MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Centre) mencoba memasukkan unsur PRB dalam pendidikan di sekolah-sekolah Muhammadiyah di Jogjakarta sebagai percontohan. Kegiatan simulasi juga dilakukan untuk menunjang pemahaman mereka. Di sisi lain, perlu pula disiapkan anak dan orang muda yang bisa terlibat aktif, misalnya dalam bentuk pendidikan sebaya (peer education) atau bagi anak berusia remaja, terlibat dalam kegiatan PRB yang digagas oleh organisasi-organisasi orang muda.
Metode yang menyenangkan dan partisipasi sukarela merupakan kunci pertama dalam melibatkan anak dalam kerja PRB di komunitasnya. Anak-anak didorong untuk secara terbuka menyuarakan idenya dalam proses tersebut dan didengarkan secara aktif. Segenap pihak dalam komunitas, mulai dari keluarga anak yang bersangkutan, pamong warga, ataupun sekolah disarankan untuk aktif mendorong, memfasilitasi, dan mendampingi anak. Partisipasi orang dewasa dalam proses partisipasi anak dalam PRB merupakan bentuk dukungan kepada anak untuk memastikan bahwa proses yang berjalan benar-benar berakar dari dan dalam komunitas dan memastikan bahwa aspek perlindungan anak tetap diperhatikan dalam setiap kegiatan.
Dalam dinamika karya pelayanan kemanusiaan Caritas di Indonesia, berkarya melalui paroki dan lingkungan di sekitar paroki merupakan pintu masuk yang sangat baik untuk mempromosikan PRB. Pelibatan unsur anak dan orang muda Gereja dapat dilakukan melalui OMK (orang muda Katolik, mudika), BIA (Bina Iman Anak), sekolah minggu, atau panduan pendalaman iman untuk remaja dengan variasi metode yang lebih menyenangkan. Dengan kesadaran yang kelak terbangun, anak pun dapat berpartisipasi aktif bersama orang dewasa untuk mengidentifikasi risiko, ancaman, kerentanan, dan kapasitas dalam komunitasnya, di lingkungan tinggal, lingkungan bermain, dan lingkungan sekolahnya. Kedepan, sangat potensial munculnya ikhtiar pengurangan risiko bencana yang benar-benar diprakarsai oleh anak (child-led disaster risk reduction).
Langkah yang lebih formal ialah memasukkan unsur pendidikan PRB dalam kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah Katolik. Di tengah sesaknya kurikulum pendidikan nasional di Indonesia, hal ini tampaknya bisa menjadi diskusi yang panjang. Namun jalan samping yang potensial ialah memasukkan unsur PRB dalam muatan lokal. Sebagai peneguhan dari segi keimanan, topik PRB dapat secara khusus dituangkan dalam mata pelajaran agama untuk dapat memahami pesan-pesan Kitab Suci mengenai PRB. Dengan demikian organisasi Caritas dapat bersinergi dengan sekolah-sekolah Katolik yang sama-sama merupakan sayap pelayanan Gereja. Gereja sangat mendorong kerja sama lintas organisasi demi pelayanan kemanusiaan ini (bdk. Deus Caritas Est artikel 33-34), disamping sebagai bentuk konkret kerasulan awam dalam menyempurnakan tata-kehidupan dunia dengan semangat Injil dengan mengajak segenap pihak yang berkehendak baik untuk berpartisipasi aktif didalamnya (bdk. Apostolicam Actuositatem artikel 2).
Pertanyaannya sekarang, sudahkah upaya pelibatan anak dan orang muda ini menjadi perhatian, sudah adakah strategi khusus untuk mengembangkannya? Jawabnya ada di tangan Anda, para pegiat Caritas.
Sejarah mencatat bahwa korban terbanyak dalam tragedi gempa bumi dan tsunami di Aceh ialah perempuan dan anak-anak yang berusia di bawah 15 thun (Synthesis Report of the Tsunami Evaluation Coalition, 2006). Dalam konteks bencana sosial, Plan UK (2002) mencatat pula bahwa selama 1999-2000, kehidupan dari 77 juta anak dipengaruhi oleh konflik dan bencana; 115.000 anak di bawah 15 tahun meninggal dunia karena konflik dan bencana; jutaan anak menjadi tidak memiliki rumah, kehilangan orang yang dicintai, terluka,dan menderita trauma psikologis.
Riset World Vision dan Plan International (Children on the Frontline: Children and Young People in Disaster Risk Reduction, 2009) menemukan bahwa baik anak maupun orang muda tidak puas dengan apa yang sudah dilakukan untuk mencegah atau melakukan mitigasi atas risiko bencana. Mereka merasa perlu terlibat aktif dalam upaya membangun resiliensi atas diri mereka dan masyarakat secara keseluruhan, serta meningkatkan kinerja upaya pengurangan risiko bencana (PRB). Suara anak-anak ini didukung pula oleh Konvensi Hak Anak pasal 6 ayat 2, bahwa Negara harus menjamin kebertahanan (survival) dan pengembangan anak semaksimal mungkin. Tentunya kondisi darurat juga termasuk didalamnya. Sejalan dengan itu, pasal 3 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menggarisbawahi bahwa anak-anak berhak untuk tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi dalam berbagai kondisi.
Bertolak dari hal-hal tersebut di atas, partisipasi anak dalam kerja besar PRB niscaya dilakukan. Usia anak yang terentang antara 0-18 tahun (definisi berdasarkan Konvensi Hak Anak dan UU No. 23 tahun 2002) memungkinkan berbagai bentuk strategi yang mungkin dilakukan untuk melibatkan anak dalam upaya PRB. Hal paling sederhana ialah melakukan introduksi atas konsep PRB bagi anak. Bentuknya bisa beragam, antara lain dengan memasukkan unsur PRB dalam kurikulum pendidikan atau kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, mengembangkan media-media informasi seperti poster, komik, sticker, paket permainan, film, dan lain-lain. Beberapa organisasi kemanusiaan yang menerbitkan media seperti itu antra lain Yayasan IDEP - Bali dengan komik-komiknya atau World Vision dengan film singkat ”Bagas dan Menur”.
Bentuk kedua yang potensial dilakukan ialah melibatkan anak dalam praktek. MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Centre) mencoba memasukkan unsur PRB dalam pendidikan di sekolah-sekolah Muhammadiyah di Jogjakarta sebagai percontohan. Kegiatan simulasi juga dilakukan untuk menunjang pemahaman mereka. Di sisi lain, perlu pula disiapkan anak dan orang muda yang bisa terlibat aktif, misalnya dalam bentuk pendidikan sebaya (peer education) atau bagi anak berusia remaja, terlibat dalam kegiatan PRB yang digagas oleh organisasi-organisasi orang muda.
Metode yang menyenangkan dan partisipasi sukarela merupakan kunci pertama dalam melibatkan anak dalam kerja PRB di komunitasnya. Anak-anak didorong untuk secara terbuka menyuarakan idenya dalam proses tersebut dan didengarkan secara aktif. Segenap pihak dalam komunitas, mulai dari keluarga anak yang bersangkutan, pamong warga, ataupun sekolah disarankan untuk aktif mendorong, memfasilitasi, dan mendampingi anak. Partisipasi orang dewasa dalam proses partisipasi anak dalam PRB merupakan bentuk dukungan kepada anak untuk memastikan bahwa proses yang berjalan benar-benar berakar dari dan dalam komunitas dan memastikan bahwa aspek perlindungan anak tetap diperhatikan dalam setiap kegiatan.
Dalam dinamika karya pelayanan kemanusiaan Caritas di Indonesia, berkarya melalui paroki dan lingkungan di sekitar paroki merupakan pintu masuk yang sangat baik untuk mempromosikan PRB. Pelibatan unsur anak dan orang muda Gereja dapat dilakukan melalui OMK (orang muda Katolik, mudika), BIA (Bina Iman Anak), sekolah minggu, atau panduan pendalaman iman untuk remaja dengan variasi metode yang lebih menyenangkan. Dengan kesadaran yang kelak terbangun, anak pun dapat berpartisipasi aktif bersama orang dewasa untuk mengidentifikasi risiko, ancaman, kerentanan, dan kapasitas dalam komunitasnya, di lingkungan tinggal, lingkungan bermain, dan lingkungan sekolahnya. Kedepan, sangat potensial munculnya ikhtiar pengurangan risiko bencana yang benar-benar diprakarsai oleh anak (child-led disaster risk reduction).
Langkah yang lebih formal ialah memasukkan unsur pendidikan PRB dalam kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah Katolik. Di tengah sesaknya kurikulum pendidikan nasional di Indonesia, hal ini tampaknya bisa menjadi diskusi yang panjang. Namun jalan samping yang potensial ialah memasukkan unsur PRB dalam muatan lokal. Sebagai peneguhan dari segi keimanan, topik PRB dapat secara khusus dituangkan dalam mata pelajaran agama untuk dapat memahami pesan-pesan Kitab Suci mengenai PRB. Dengan demikian organisasi Caritas dapat bersinergi dengan sekolah-sekolah Katolik yang sama-sama merupakan sayap pelayanan Gereja. Gereja sangat mendorong kerja sama lintas organisasi demi pelayanan kemanusiaan ini (bdk. Deus Caritas Est artikel 33-34), disamping sebagai bentuk konkret kerasulan awam dalam menyempurnakan tata-kehidupan dunia dengan semangat Injil dengan mengajak segenap pihak yang berkehendak baik untuk berpartisipasi aktif didalamnya (bdk. Apostolicam Actuositatem artikel 2).
Pertanyaannya sekarang, sudahkah upaya pelibatan anak dan orang muda ini menjadi perhatian, sudah adakah strategi khusus untuk mengembangkannya? Jawabnya ada di tangan Anda, para pegiat Caritas.
Artikel dimuat di Buletin Karina edisi akhir tahun 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar