Hasta Brata Ekonomi Keluarga (8)
Oleh: Ditto Santoso
Oleh: Ditto Santoso
Indonesia adalah negeri yang rawan bencana! Kesadaran itu mulai menyeruak di reluang hati masyarakat Indonesia manakala gempa dahsyat disusul tsunami meluluhlantakkan Aceh. Berbagai gerakan untuk menyalurkan bantuan datang sambung-menyambung. Tak hanya bantuan berupa dana dan barang, ratusan bahkan mungkin ribuan orang turun tangan sebagai relawan untuk turut membantu masyarakat memulihkan diri pasca bencana.
Dorongan untuk memberi atau berbagi dengan sesama yang membutuhkan merupakan dorongan alami yang muncul dari dalam lubuk hati manusia. Meskipun demikian, masyarakat Indonesia yang umumnya religius ini juga didorong oleh ajaran agamanya untuk berbuat demikian. Dalam ajaran kristiani, umat diajarkan untuk berbagi dalam bentuk perpuluhan, kolekte, atau aksi puasa menjelang Paskah. Sedangkan dalam ajaran Islam, umat juga didorong untuk menyisihkan sekian persen dari pendapatannya, karena itu merupakan hak dari orang miskin.
Lho, bagaimana harus memberi jika keluarga kita sendiri masih dilanda kesulitan ekonomi? Argumen ini sering mengemuka ketika kita dihadapkan pada dorongan untuk berbagi. Namun mudah pula dipatahkan, karena untuk memberi tidak harus dimulai dengan sesuatu yang besar, untuk bisa memberi tidaklah harus kaya. Pernahkah Anda memperhatikan kisah seorang anak seusia sekolah dasar yang datang ke kantor sebuah media yang sedang menyalurkan dana bantuan kemanusiaan? Ia membawa celengannya yang berisi tabungan yang dikumpulkan dari uang recehan sisa jajan. Ia menyatakan ingin membantu orang yang sedang ditimpa bencana alam. Betapa mulianya hati anak itu. Mengingatkan pada pernyataan reflektif almarhumah Bunda Teresa, seorang pegiat kemanusiaan yang memperjuangkan orang miskin di India, “Tidak semua orang bisa melakukan hal-hal besar. Tapi setiap orang bisa melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar.”
Bukankah dengan memberikan sesuatu untuk orang lain justru akan mengurangi keuntungan yang sedang kita kumpulkan? Pertanyaan tersebut juga akan memprovokasi benak kita. Seorang penulis, pendidik, serta perintis penyembuhan holistik bernama Dheepak Chopra, dalam bukunya berjudul “The Seven Spiritual Laws of Success” (“Tujuh Hukum Spiritual menuju Sukses”, 1994), menyatakan bahwa hukum spiritual kedua yang perlu dipatuhi agar seseorang mencapai kesuksesan hidup ialah the law of giving (hukum memberi) atau bisa juga disebut "the law of giving and receiving" (hukum memberi dan menerima). Menurut Chopra, kehidupan merupakan suatu aliran dari berbagai energi. Menghentikan aliran energi kehidupan sama halnya dengan menghentikan aliran darah dalam tubuh manusia. Ketika darah berhenti mengalir atau membeku, kita bisa menebak, apa yang terjadi pada diri manusia itu.
Dalam ikhtiar untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga, “uang” dapat dipandang sebagai sebuah energi kehidupan. Kita semua setuju bahwa bekal utama hidup berkeluarga adalah cinta. Tapi dalam operasional keluarga sehari-hari uang menjadi unsur penting. Jika uang juga sebuah energi kehidupan, maka “menimbun” atau “menahan” uang untuk semata-mata memenuhi keinginan pribadi tanpa menyalurkannya sama halnya dengan menghentikan aliran energi kehidupan yang seharusnya mengalir keluar dan nantinya akan kembali lagi pada diri kita. Untuk menjaga agar energi tetap mengalir dan kembali lagi pada diri kita, energi itu harus tetap mengalir. Energi itu harus kita berikan kepada orang lain agar nantinya juga akan kembali pada diri kita. Semakin banyak energi disalurkan, makin banyak pula energi yang akan kembali.
John M. Huntsman, seorang usahawan yang memperoleh banyak penghargaan internasional (lulusan terbaik Wharton University; 1994: Kaveler Award untuk CEO terbaik di industry kimia; 2001: Entrepreneur of the Year; 2003: penghargaan kemanusiaan dari Larry King-CNN), bisa menjadi contoh tentang bagaimana dengan memberi ia menerima lebih banyak. Ia sudah memiliki mentalitas member sejak masih bergumul sebagai seorang penjual telur yang sederhana. Semakin besar penghasilannya, semakin besar pula ia memberi. Ia telah menyumbangkan 225 juta US dolar untuk lembaga yang menangani penyakit kanker dan 50 juta US dolar untuk bidang pendidikan. Kebiasaan memberi yang dilakukan Huntsman membuahkan hal-hal positif bagi dirinya, meskipun tidak berbentuk uang. Hal terpenting yang diperolehnya ialah dukungan dan bantuan dari banyak orang, terutama mereka yang telah menerima pertolongan darinya, baik dalam bentuk moral maupun finansial.
Unsur alam kedelapan dalam rangkaian tulisan Hasta Brata untuk Ekonomi Keluarga ialah “udara”. Udara merupakan unsur alam yang memenuhi permukaan bumi ini. Ia tidak tampak dan tidak disadari keberadaannya, tapi dapat dirasakan manfaatnya. Seperti halnya mengelola keuangan keluarga, udara pun memberikan dirinya untuk dihirup oleh manusia. Saat manusia bernafas, ia menghirup oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida. Karbon dioksida menjadi sumber energi kehidupan bagi tanaman untuk tumbuh dan menghasilkan sesuatu. Hasil dari tanaman itu pulalah yang akan dimanfaatkan oleh manusia. Jika orang menjadi sejahtera dari segi finansial, maka jangan lupakan untuk membagikan energi kehidupan yang dimiliki agar alirannya tetap mengalir. Jadilah “udara” yang selalu memberikan dirinya untuk segenap makhluk ciptaan Tuhan di bumi ini.
Artikel ini dimuat di Buletin Kopdit Melati - Depok edisi 9/Th. X, 17 Nov - 17 Des 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar