(Hasta Brata untuk Ekonomi Keluarga ke-7)
Oleh: Ditto Santoso
Lewat tengah hari, Pak Tono tampak melangkahkan kaki di atas trotoar jalan di kompleks perumahan tempat tinggalnya yang dikenal sangat asri di kotanya. Penampilannya yang sederhana dilenglapi oleh setelan jas model lama yang dipopulerkan 2 tahun lalu. Ia mengepit sebuah tas kulit tua yang isinya berupa dokumen-dokumen yang dia perlukan hari itu. Laki-laki pensiunan itu memang baru saja kembali dari bank untuk mengambil uang pensiun bulanannya. Antri di bank betul-betul melelahkan meskipun sistem transfer rekening sudah diterapkan, masih banyak orang yang suka antri di bank. Sambil bercengkrama dengan sesama pensiunan lainnya.
Berbelok ke sebuah jalan, Pak Tono melewati sebuah rumah yang rindang. Merdu terdengar suara kicau burung perkutut yang saat ini sudah langka. Sekarang ini orang lebih suka mendengarkan suara perkutut dalam bentuk rekaman audio digital yang bisa dipasang di radio maupun di tape pada mobil. Benar-benar langka kalau ada yang masih memeliharanya di tahun 2039. Tersadarlah Pak Tono. Itu rumah Pak Banu, sahabat sejak muda sekaligus tetangga beda RW.
“Pak Tono, mampir, Pak,” terdengar suara dari arah rumah. Tampak seorang laki-laki seusia Pak Tono sedang asyik duduk di teras rumah sembari membuka laptop. “Lama kita ngga ketemu nih…”
Masuklah Pak Tono ke halaman rumah Pak Banu yang asri. Pak Banu langsung menyambut dan memeluk sahabatnya itu. Tampaknya memang cukup lama mereka saling tidak bertemu. Pak Banu pun mempersilakan Pak Tono masuk dan bergabung dengannya di teras rumah yang dinaungi oleh suasana asri dan udara yang segar. Mereka pun saling bertanya kabar keluarga masing-masing dan mulai berbincang-bincang mengenai banyak hal.
“Kok Pak Banu di rumah saja? Tidak ikut antri ambil uang pensiun di bank?” tanya Pak Tono setelah menyeruput teh manis yang dihidangkan oleh Bu Banu.
Pak Banu pun tertawa kecil. “Nyante aja kalee’, Pak. Soal uang pensiun diambil belakangan juga bisa, mau transfer pun bisa,” katanya. “Saya tidak terlalu mengandalkan uang pensiun itu untuk hidup sehari-hari. Saat ini saya hanya menikmati jerih-payah yang sudah kurintis sejak 30 tahun lalu.”
Pak Tono pun mengernyitkan keningnya pertanda kurang mengerti. Setahunya, Pak Banu sama seperti dirinya. Sekian puluh tahun bekerja sebagai karyawan di perusahaan. Waktu pensiunnya pun hamper bersamaan. Tapi memang ia agak bingung juga melihat Pak Banu begitu menikmati hidup. Sekali waktu menengok anak-cucunya di luar pulau. Di lain waktu mengajak istrinya berlibur ke tempat yang jauh yang dimata Pak Tono itu bakalan menghabiskan uang pensiun yang dimiliki. Atau jangan-jangan Pak Banu punya “resep rahasia”?
“Tiga puluh tahun lalu saat saya sudah memasuki masa kerja hampir 10 tahun lamanya, saya tersadar bahwa hidup ini penuh dengan risiko,” kata Pak Banu. “Saat itu, saya punya 3 anak. Istri saya tidak lagi bekerja karena ingin berkonsentrasi merawat anak di rumah. Maklumlah, kalau di tahun 2039 ini pembantu rumah tangga berbentuk robot yang canggih, di zaman 30 tahun lalu kan belum ada. Jadi kami tidak mau anak kami dirawat oleh pembantu rumah tangga.”
Pandangan Pak Banu menerawang jauh seolah mengenang kisah hidupnya yang penuh dengan perjuangan. “Saya sadar bahwa saya tidak bisa mengandalkan pendapatan dari 1 sumber saja, karena sangat riskan. Maklumlah, gaji sebagai karyawan pada waktu itu kan kecil.”
Pak Tono manggut-manggut mendengarkan kisah sahabatnya itu dengan seksama.
“Saya membaca sebuah artikel di buletin koperasi kredit tempat saya menjadi anggota. Isinya tentang Hasta Brata dalam pengelolaan ekonomi keluarga. Salah satu brata yang dimaksud ialah langit. Cobalah kita melihat langit itu,” kata Pak Banu sembari mendongakkan kepalanya melihat langit biru di atas sana. Pak Tono pun mengikuti dengan melihat langit di atas. Ia berpikir, apa yang diperoleh dari langit itu oleh Pak Banu. Hujan uangkah?
“Langit amat luas. Tak berbatas. Di sana kita bisa temukan berbagai benda angkasa yang mungkin belum pernah kita temui sebelumnya. Banyak sekali hal yang bisa ditemukan disana,” lanjut Pak Banu kemudian. “Terinspirasi oleh langit, saya mencoba berpikir terbuka. Berpikir keluar dari kotak. Bahasa kerennya, thinking out of the box. Saya berpikir, apa yang bisa dilakukan untuk meminimalisir risiko karena hanya memiliki 1 sumber penghasilan. Coba pikir, mana bisa keluarga kami bertahan dengan penghasilan segitu-gitu saja.”
Pak Banu menyeruput teh buatan istri tercintanya. “Saya berbicara dengan istri saya untuk membuat strategi peningkatan pendapatan. Istri saya pun berupaya membuat warung kecil-kecilan. Modalnya diperoleh dari pesangon yang diperolehnya. Sementara saya berpikir untuk mencari jenis-jenis investasi yang menguntungkan. Mengapa investasi? Karena saya pikir, waktu saya sudah tersita banyak untuk bekerja. Lalu, di luar waktu kerja saya harus meluangkan waktu untuk bersama keluarga. Lha kalau saya kerja lagi, kapan kumpulnya dengan anak-istri?”
Lagi-lagi Pak Tono manggut-manggut. “Bener juga yach… dulu saya tidak terpikir untuk itu. Saya pikir uang pensiun dari perusahaan dan Jamsostek sudah cukup. Padahal biaya hidup sekarang kan sudah jelas lebih tinggi daripada 30 tahun lalu.”
“Ibarat langit yang luas, saya juga mencoba berpikir luas. Akhirnya saya temukan beberapa pilihan untuk berinvestasi untuk keperluan hari tua, meskipun perusahaan sudah memfasilitasi dengan adanya dana pensiun dan Jamsostek. Pertama, ada tabungan hari tua yang diprogramkan oleh koperasi kredit. Setiap menerima gaji, saya langsung sisihkan dana untuk tabungan ini. Kedua, saya mencoba menggunakan instrumen keuangan lain yang relatif aman dan terjangkau, misalkan deposito dan reksadana. Ketiga, saya join dengan adik saya yang lulusan farmasi membuat sebuah apotek kecil pada waktu itu. Apotek itu sekarang sudah berkembang dengan menyediakan praktek dokter dan laboratorium, serta sudah memiliki beberapa cabang.”
“Modalnya?” tanya Pak Tono lagi.
“Saya kan anggota setia koperasi kredit. Saya meminjam hanya untuk keperluan produktif, yaitu untuk investasi dan usaha.”
“Ck ck ck…” Pak Tono terheran-heran. “Luarrr biasa! Sungguh Pak Banu seorang yang visioner. Selama ini saya pikir Pak Banu hanya orang yang rajin ke kantor saja. Rajin tapi penghasilan rata-rata saja.”
“Hahaha! Saya kan juga tidak ingin menjadi karyawan ‘BP7’, Pak…” Pak Banu tertawa.
“Apa itu ‘BP7’?”
“Berangkat Pagi Pulang Petang Penghasilan Pas-pasan sampai rumah Pingsan Pula!”
Tawa kedua sahabat itupun berderai.
Sungguh perjumpaan dengan Pak Banu hari itu membuat Pak Tono luar biasa terinspirasi. Mungkin sudah terlambat baginya, namun tidak buat anak-anaknya yang sedang merintis karier dari nol saat itu. Ia akan membagikan kisah sukses Pak Banu itu bagi anak-anaknya di rumah. Bahwa untuk bisa menghadapi tantangan kehidupan ekonomi keluarga, kita perlu berpikir keluar dari kotak dan mencari terobosan-terobosan baru. Peluang akan selalu ada dan menanti untuk ditemukan!
Artikel dimuat di Buletin Kopdit Melati Depok edisi no. 5 / Tahun X (17 Juli - 17 Agustus 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar