Oleh: Ditto Santoso
Menjelang libur Natal akhir 2009 lalu, saya terprovokasi untuk membaca sebuah presentasi tentang hasil riset Empire Research Team yang dishare di internet. Tentu saja intinya tentang kopdit di Amerika Serikat. Membaca artikel tersebut, saya merasa ini relevan juga untuk dibagikan sebagai bahan refleksi dan pembelajaran. Tulisan ini berjudul “The 5 Most Dangerous Trends Facing Credit Union” (5 Trend Paling Berbahaya yang Dihadapi oleh Kopdit). Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa kopdit-kopdit di Amerika Serikat saat ini (penelitian dipublikasikan tahun 2008) menghadapi 5 isu yang sangat menantang (diberi judul provokatif “paling berbahaya”) sebagaimana dipaparkan di bawah ini.
Ini jamannya kompetisi, Bung! Ditemukan bahwa tingkat pertumbuhan kopdit dibawah nol persen, sementara bank justru tumbuh secara progresif lebih dari sepuluh persen. Di sisi lain, persaingan antar kopdit pun mulai berkembang. Kopdit-kopdit besar menyalip laju kopdit-kopdit kecil dengan membuka cabang atau TPA di wilayah pelayanan mereka. Hal lain yang perlu diperhatikan, kopdit justru mengabaikan persaingan antar kopdit atau hanya melakukan benchmark terhadap pemain lain di industri keuangan, yaitu bank dan pegadaian.
Ini jamannya kompetisi, Bung! Ditemukan bahwa tingkat pertumbuhan kopdit dibawah nol persen, sementara bank justru tumbuh secara progresif lebih dari sepuluh persen. Di sisi lain, persaingan antar kopdit pun mulai berkembang. Kopdit-kopdit besar menyalip laju kopdit-kopdit kecil dengan membuka cabang atau TPA di wilayah pelayanan mereka. Hal lain yang perlu diperhatikan, kopdit justru mengabaikan persaingan antar kopdit atau hanya melakukan benchmark terhadap pemain lain di industri keuangan, yaitu bank dan pegadaian.
Menurunnya pertumbuhan kopdit. Pada tahun 2008, ditemukan 321 kopdit yang tutup. Jumlah ini meningkat dibandingkan data tahun 2007 yang menunjukkan angka 266. Dua belas kantor cabang kopdit di Sacramento-USA kehilangan anggotanya pada tahun 2003-2004, padahal tingkat pertumbuhan populasi masyarakat disana sebesar 1,7%. Pertumbuhan aset kopdit juga melambat di tahun 2008.
Tingginya perputaran karyawan. Upaya mempertahankan tenaga kerja (employee retention) di kopdit menurun dari 84% (tahun 2005) menjadi 78% (tahun 2006), dengan kata lain angka keluar-masuk karyawan naik. Hal ini perlu menjadi perhatian karena akan mempengaruhi hubungan dengan anggota kopdit pula. Sebelumnya telah terjadi hubungan yang harmonis antara anggota dengan karyawan. Tapi ketika karyawan lama keluar dan berganti karyawan baru, yang harus lebih banyak menyesuaikan diri justru anggotanya. Perilaku karyawan kopdit memiliki pengaruh tertentu terhadap efektivitas kerja di tempat kerjanya. Dalam konteks manajerial, 50% eksekutif kopdit akan pensiun dalam waktu 10 tahun. Sudah siapkah kopdit dengan kaderisasi dan suksesi kepemimpinan dalam jangka waktu dekat? Sementara, untuk mencari tenaga kompeten dalam bidang keuangan, kopdit harus berani menengok ke ranah industri keuangan, perbankan, dan pemasaran yang umumnya sudah mencetak orang-orang handal.
Lemahnya pemasaran dan rendahnya loyalitas anggota. Hasil riset menunjukkan hanya 24% anggota kopdit yang benar-benar loyal atau setia terhadap merk (baca: kopditnya). Selebihnya, 76% hanya agak loyal bahkan tidak loyal sama sekali. Tercatat pula, 16-30% anggota akan berubah loyalitasnya terhadap merk (baca: kopdit tempatnya menjadi anggota) setelah membaca atau menonton iklan televisi. Kondisi ini berimplikasi pada menyusutnya jumlah anggota kopdit. Ini menjadi tantangan besar bagi kopdit untuk bisa menarik lebih banyak anggota.
Teknologi tertinggal dan tidak menarik bagi anak muda. Anggota kopdit yang berasal dari kalangan muda merupakan salah satu kunci keberlanjutan kopdit mengenai kelestarian anggota di masa depan. Teknologi informasi (IT) juga menjadi kunci penting, karena trend yang terjadi di industri keuangan saat ini ialah mobile banking dan internet banking.
Membaca kelima trend tersebut di atas, mungkin kita akan menemukan, bahwa ini tidak (atau sudah?) terjadi di kopdit dimana kita aktif menjadi anggotanya. Jika belum, alhamdulilah puji Tuhan. Jika pernah atau sedang terjadi, marilah merefleksikan bersama. Dari segi internal, pengembangan budaya kerja yang membuat karyawan siap untuk berkompetisi mutlak dilakukan. Kopdit bukanlah berada di ranah sosial, kopdit sudah menjadi sebuah industri dimana satu koperasi primer mau tak mau harus bersaing (sehat!) dengan koperasi primer lainnya. Cukupkah dijawab dengan mengikutsertakan karyawan dalam training dan workshop? Proses pembelajaran yang sejati akan ditemukan dalam dinamika proses kerja yang didukung oleh coaching yang efektif. Disinilah langkah kaderisasi mulai dilakukan. Tumbuhkan budaya pembelajaran bagi karyawan kopdit.
Dari segi eksternal dapat direfleksikan dengan pertanyaan, sudah optimalkah upaya kopdit dalam melakukan membership maintenance (pemeliharaan anggota)? Sudahkah mendesain strategi untuk lebih mendekatkan diri kepada anggota yang ada, menjangkau orang-orang untuk semakin akrab dengan kopdit dan akhirnya mau menjadi anggota? Melihat kembali, sudah optimalkah strategi Member Get Member, sudahkah mempersenjatai anggota untuk melakukannya? Sudahkah mendesain produk dan perangkat interaksi yang lebih populer untuk menyentuh orang muda (profesional, mahasiswa, pelajar)? Sudahkah mengoptimalkan SDM yang ada, yaitu para anggota, secara optimal untuk bersama-sama memajukan kopdit karena merekalah sejatinya yang memiliki kopdit itu.
Akhirnya, kopdit memang dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif, dibarengi responsibilitas dan akuntabilitas yang jelas. Membuat anggotanya terfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dan mencapai kesejahteraannya, membuat karyawan yang bernaung dibawahnya merasa maksimal, aman, dan nyaman bekerja, membuat manajemen dan pengurus termotivasi sepenuhnya dan mampu mengemban amanah untuk membuat lembaga kopdit maju dan berkelanjutan. Pilihannya memang hanya dua: Inovasi atau Mati!
Artikel ini dimuat di Buletin Kopdit Melati Depok edisi no. 01/Tahin XI (17 Maret-17 April 2010)
Diberitakan dalam satu artikel di harian Sinar Harapan beberapa waktu yang lalu bahwa sekitar 53% warga Amerika Serikat menjadi anggota Credit Union. Oleh pengaruh Occupy Wallstreet yang anti kapitalisme, banyak warga yang memilih untuk menjadi anggota Credit Union ketimbang menjadi klien Bank. Berita ini ditulis oleh wartawan Indonesia yang tinggal di Amerika. Kelihatannya Credit Union di sana mampu berinovasi melalui prinsip-prinsipnya yang al. anggota sebagai pemilik dan pengguna, sehingga keuntungan usaha tidak jatuh kepada segelintir orang saja. Memang musti ada yang dapat menarik hati rakyat demi perbaikan ekonominya. Credit Union adalah jawabannya.
BalasHapus