(Tulisan ke-4 dari 8 seri tulisan)
Oleh: Ditto Santoso
Beberapa hari ini saya cukup repot menghadapi “jagoan-jagoan” saya di rumah. Mereka suka sekali bermain-main dengan uang logam pecahan 100 hingga 500 rupiah. Biasanya uang logam ini diperoleh dari kembalian istri saya berbelanja. Sepintas saya amati, keduanya menirukan peristiwa saat ibunya berbelanja di tukang sayur. Si kecil berperan sebagai “tukang sayur”, sedangkan kakaknya berperan sebagai “pembeli”. Lucu juga. Apakah ini juga bisa menjadi bagian dari pendidikan keuangan dini untuk anak, khususnya pengenalan akan uang? Hmm…
Oleh: Ditto Santoso
Beberapa hari ini saya cukup repot menghadapi “jagoan-jagoan” saya di rumah. Mereka suka sekali bermain-main dengan uang logam pecahan 100 hingga 500 rupiah. Biasanya uang logam ini diperoleh dari kembalian istri saya berbelanja. Sepintas saya amati, keduanya menirukan peristiwa saat ibunya berbelanja di tukang sayur. Si kecil berperan sebagai “tukang sayur”, sedangkan kakaknya berperan sebagai “pembeli”. Lucu juga. Apakah ini juga bisa menjadi bagian dari pendidikan keuangan dini untuk anak, khususnya pengenalan akan uang? Hmm…
Pendidikan keuangan dini bagi anak merupakan salah satu aspek pendidikan yang penting bagi anak. Bukan soal usia dini sudah diajari bagaimana membuat jurnal keluar-masuk uang, melainkan lebih pada pembentukan karakter serta sifat pada menghargai dan mengelola uang secara cerdas. Orang tua adalah figur yang diharapkan bisa memberikan pendidikan keuangan dini bagi anak, karena pertama-tama mereka sosok terdekat dengan anak. Di sisi lain, lembaga-lembaga pendidikan formal di Indonesia belum memasukkan pendidikan keuangan dini sebagai bagian dari kurikulum. Sementara di negara-negara tetangga seperti Australia, Singapura, dan Malaysia topik ini sudah masuk dalam kurikulum. Sempat terpikir oleh saya, apakah rapuhnya kecerdasan finansial di keluarga yang membuat keluarga-keluarga Indonesia menjadi rentan dan mudah terobrak-abrik oleh krisis ekonomi 1998?
Filosofi berperilaku bagai matahari yang tercantum dalam Hasta Brata dapat menjadi salah satu pijakan bagi orang tua dalam melakukan pendidikan keuangan dini bagi anak. Salah satu sifat utama matahari ialah memberikan terang bagi sekelilingnya tanpa pandang bulu. Dalam hal pendidikan keuangan dini bagi anak, orang tua pun perlu berperilaku sebagai “pemberi terang” ibarat matahari. Dengan sabar dan tanpa kenal lelah, membangun karakter anak mengenai pengelolaan keuangan. Saya jadi teringat kejadian sewaktu saya masih berusia SD. Ibu saya memberikan sebuah buku agenda kecil kepada saya. Ia meminta saya menuliskan pemasukan yang saya peroleh (dari uang saku tentunya) serta pengeluaran yang dilakukan untuk jajan maupun ditabung. Lalu, di sekolah ada teman yang menertawai saya dengan mengatakan, “Agenda kok dipakai buat menghitung uang keluar-masuk?” Meskipun demikian, ibu saya juga dengan sabar menanamkan disiplin kepada saya agar mencatat hal-hal yang dimaksud tadi.
Sifat matahari lain yang penting ialah menjadi inspirator. Banyak puisi, lagu, atau pelatihan-pelatihan motivasional yang mengambil contoh matahari sebagai salah satu unsur alam yang patut diteladani. Ia selalu terbit dan tenggelam tanpa harus diminta. Sekian milyar tahun menyinari dunia tanpa sebentar pun absen. Ia menjadi sumber inspirasi bagi insan Tuhan di jagad ini. Ibarat matahari sang sumber inspirasi, orang tua pun harus menjadi inspirator dalam pendidikan keuangan dini bagi anak. Menjadi inspirator tidak hanya memberikan ajaran baik melainkan juga menjadi panutan (role model) bagi anak dalam mengelola keuangannya. Sejak anak-anak masih kecil, saya juga berupaya menanamkan kepada mereka agar disiplin menabung. Tidak jarang saya mengajak anak-anak untuk pergi menabung di koperasi meskipun mereka masih malu-malu. Sekadar membiasakan. Sekarang, setiap kali mereka melihat saya sedang memegang uang, pertanyaannya selalu “Uangnya mau ditabung, Pa? Buat sekolah Kakak nanti? Nabungnya di koperasi ya?” (terlontar dari mulut anak yang belum genap berusia 4 tahun). Saya berharap suatu saat nanti mereka juga akan mengingatkan, “Pa, kok kita sudah lama ngga pergi menabung?”
Sifat ketiga matahari ialah sifat kebijaksanaan. Kebijaksanaan yang disampaikan dengan penuh kehangatan tentunya akan membuat orang yang menerimanya merasa diorangkan. Mengajarkan kepada anak bagaimana membuat pilihan yang bijak tidaklah mudah. Saat ini saya dan istri juga direpotkan oleh anak-anak yang mulai terpengaruh teman-teman sekitarnya yang suka jajan. Di waktu inilah kami sedang mencoba memfasilitasi proses mereka untuk belajar membuat pilihan. Ingin membeli permen atau VCD “Thomas and Friends”? Bukan proses yang cepat dan mudah. Kelak mereka juga akan dihadapkan pada realitas untuk memilih antara kebutuhan dan keinginan, memilih di antara segala keterbatasan. Proses pembelajaran itu bisa dimulai sekarang.
Menjadikan matahari sebagai sumber filosofi yang melandasi pendidikan keuangan dini bagi anak hanyalah satu pintu saja. Setiap orang bisa masuk dari pintu berbeda untuk dapat mendidik dan mengembangkan kecerdasan finansial anak-anaknya. Pada akhirnya anak tetap merupakan sosok yang merdeka dalam mengambil keputusan dalam kehidupannya kelak.
Tulisan sederhana ini saya tutup dengan sebuah pesan SMS dari seorang sahabat saya saat anak pertama kami lahir. Pesan ini selalu terngiang hingga sekarang dan menjadi salah satu pegangan saya untuk mengiringi proses pembelajaran anak-anak. “Anak adalah murid sekaligus guru terbaik bagi orang tuanya”. Berkaca dari uraian pengalaman di atas, sepertinya memang demikian adanya.
Artikel dimuat di Buletin Kopdit Melati-Depok edisi No. 2/Tahun X (17 April-17 Mei 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar