Oleh: Ditto Santoso
Wakil Ketua Kopdit Dian Padua
Hati saya tersentuh tatkala
seorang anak muda yang aktif bergiat di OMK datang ke kantor pelayanan koperasi
kredit dan mengajukan permohonan pinjaman. Ketika ditanyakan perihal tujuan
pemanfaatan pinjaman, ia mengutarakan bahwa ini akan digunakan untuk membantu
usaha orang tuanya. Orang tuanya pelaku usaha mikro yang berdagang sembako.
Wow!
Pada kesempatan lain, saya bertemu
seorang pelajar SMA yang menjadi anggota koperasi kredit. Ia juga terlibat
sebagai relawan di beberapa kegiatan sosial. Di sela-sela jam kegiatan belajar
di sekolahnya, ia dengan penuh semangat beredar dari kelas ke kelas menjajakan
kue-kue buatan dia dan ibunya. Ia terdorong menjadi anggota koperasi kredit
karena ingin menabung serta suatu saat ingin mengajukan pinjaman untuk
memperbesar skala usahanya bersama ibunya.
Perjumpaan saya dengan dua anak
muda yang luar biasa ini menguatkan pemikiran saya bahwa pengelolaan ekonomi
keluarga bukanlah area yang hanya didominasi orang tua atau orang dewasa saja.
Anak-anak (definisi anak menurut Konvensi Hak Anak Internasional ialah mereka
yang berusia 0-18 tahun) dapat berpartisipasi melalui dialog, interaksi, maupun
bentuk-bentuk lainnya dalam pengelolaan ekonomi keluarga. Hal tersebut bisa
terjadi secara alami atau karena terpaksa oleh keadaan.
Pengelolaan ekonomi keluarga
bisa membawa keluarga kepada dua arah yang berbeda. Pertama, membawa pada kerekatan
dan pemenuhan kesejahteraan yang akan bermuara pada peningkatan kualitas hidup
keluarga. Sedangkan yang kedua, berpotensi memicu perselisihan dalam keluarga
apabila tidak dikelola dengan baik. Melihat dua arah yang bertolak belakang
tersebut, dibutuhkan kedewasaan dalam bersikap dan membangun tata kelola
ekonomi keluarga yang baik.
Pengelolaan ekonomi keluarga,
secara khusus dalam hal keuangan, dapat dijelaskan sebagai sebuah proses
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, serta evaluasi atas aktivitas-aktivitas
keuangan dalam keluarga. Pasangan suami-istri diharapkan dapat sama-sama
berdiskusi untuk membuat sebuah rencana keuangan yang baik. Bagaimana anak
dapat dilibatkan? Pengelolaan keuangan merupakan
salah satu aspek pendidikan yang penting bagi anak. Bukan sekadar belajar tentang
membuat jurnal keluar-masuk uang, neraca, serta laporan laba-rugi, melainkan
lebih pada pembentukan karakter serta sikap tentang menghargai dan mengelola
uang secara cerdas. Orang tua merupakan figur yang diharapkan bisa memberikan
pendidikan keuangan dini bagi anak, karena pertama-tama mereka sosok terdekat
dengan anak.
Bagaimana
praktek sederhananya? Contoh pertama, mendorong anak untuk membuat rencana keuangan
sederhana atas uang saku yang diperolehnya setiap minggu. Berapa yang harus dikeluarkan
untuk jajan, berapa untuk ditabung, berapa yang dialokasikan untuk persembahan
di gereja, serta berapa yang didermakan kepada sesama yang membutuhkan. Selain mendorongnya
berencana, anak juga diajak untuk berbela rasa dengan melakukan pengamatan dan mewujudkan
kepeduliannya terhadap lingkungan sekitar. Apakah yang bisa dilakukan dengan
potensi yang dimilikinya? Misalkan, ada teman mainnya yang sedang sakit. Apakah
ia punya ide untuk saweran bersama
teman-temannya yang lain untuk membeli kue atau buah-buahan dan menengok
temannya yang sakit itu.
Kedua,
mendorong anak untuk membuat prioritas. Andaikan ia memiliki daftar kebutuhan,
seperti buku, gitar, atau mainan, manakah yang harus dipenuhi terlebih dahulu.
Jika uang atau tabungan yang dimiliki tidak cukup, ajaklah anak berdiskusi
kembali, mana yang perlu diprioritaskan. Hal yang sama juga bisa dilakukan
ketika anak diajak berbelanja atau pergi ke mall
atau toko buku. Mereka perlu membuat prioritas dan memilih secara bijak.
Mendorong anak untuk membuat prioritas akan memberikan pembelajaran baginya
mengenai perbedaan antara kebutuhan (needs)
dan keinginan (wants).
Ketiga,
menyambung contoh diatas, jika ada kebutuhan yang perlu segera dipenuhi,
sementara tabungan belum mencukupi, ajaklah anak mendiskusikan jalan yang bisa
ditempuh agar dana bisa tersedia dalam jangka waktu cepat. Tentu saja
peruntukannya ialah untuk membeli barang yang ia butuhkan tadi. Mintalah anak
untuk melakukan pengamatan awal di dalam rumah. Adakah yang bisa “dikaryakan”?
Misalkan, ada barang-barang yang sudah lama tidak terpakai, mungkin bisa dijual
ke pengepul barang bekas dan menghasilkan uang. Atau ajaklah anak mengumpulkan
sampah-sampah jenis tertentu lalu membawanya ke bank sampah. Dengan demikian,
selain mengajarkan kepada anak bagaimana nilai kegigihan dalam upayanya
mengejar tujuan, juga mengajarkan mengenali nilai ekonomi sebuah barang dan kepedulian
pada lingkungan sekitar.
Keempat, mengenalkan anak pada instrumen menabung dan
lembaga keuangan. Hal ini bisa dilakukan dengan membawa anak pergi ke lembaga
keuangan seperti koperasi kredit atau bank. Ajaklah mereka melakukan pengamatan
dan jelaskan apa saja yang ada disana. Buatkan mereka buku anggota atau buku
tabungannya masing-masing untuk membangun rasa tanggung jawab atas uang yang
dimilikinya. Selalu ajak mereka berdiskusi saat mereka hendak menarik
tabungannya untuk suatu tujuan tertentu.
Yang tak kalah penting dan menjadi landasan bagi
contoh-contoh diatas, hendaknya orang tua bisa menjadi “matahari” bagi
anak-anaknya. Sekian milyar tahun matahari menyinari dunia tanpa sebentar pun
absen. Ia menjadi sumber inspirasi bagi insan Tuhan di jagad ini. Ibarat
matahari, orang tua pun harus menjadi inspirator dalam pendidikan keuangan dini
bagi anak. Menjadi inspirator tidak hanya memberikan ajaran baik melainkan juga
menjadi panutan perilaku (role model)
bagi anak dalam mengelola keuangannya.
Pendidikan keuangan dini bagi anak dalam lingkungan
keluarga merupakan salah satu pondasi dalam membangun karakternya di masa
depan. Beberapa contoh diatas barulah sebagian kecil saja yang bisa dilakukan.
Topik ini tak luput dari perhatian Gereja yang tak jemu-jemu mendorong keluarga
menjadi “ecclesia domestica”, menjadi
tempat persemaian kehidupan menggereja, dimana benih-benih kasih tumbuh dan
berkembang dalam terang Injil. Materi pendalaman iman dalam aksi adven pembangunan
2015 di keuskupan kita serta digarisbawahi oleh hasil-hasil SAGKI IV (2015) juga
telah mengantarkan kita pada peneguhan atas dinamika kehidupan keluarga
kristiani termasuk didalamnya aspek pertumbuhan dan pendidikan ekonominya. Gereja
sudah peduli. Bagaimana dengan Anda?
Artikel dimuat di Warta Thomas edisi khusus Natal 2015