Oleh: Ditto Santoso
Mengapa Keuangan?
Pernahkah terpikir oleh Anda berapa banyak kata “uang” ditemukan dalam Alkitab? Berdasarkan beberapa sumber, terdapat lebih dari 700 ayat yang secara langsung menunjuk pada penggunaan uang dan lebih dari 175 kali kata “uang” muncul dalam Alkitab. Jumlah ini belum termasuk istilah-istilah yang menyangkut dengan mata uang, seperti dinar, talenta, duit, dan sebagainya. Kata “kaya” muncul lebih dari 100 kali, kata “hutang” muncul 50 kali. Informasi ini dapat terus bertambah jika memasukkan kata-kata yang terkait dengan aset atau kekayaan seseorang atau tokoh dalam Alkitab. Misalnya ternak, tanah, emas, rumah, dan lain-lain. Beberapa hal yang disebut terakhir merupakan indikator kekayaan orang pada zaman dahulu dan beberapa diantaranya masih relevan di masa kini.
Pernahkah Anda memperhatikan, seberapa sering Yesus berbicara mengenai uang, kekayaan, atau menggunakan simbol-simbol dalam perumpamaan yang Ia sampaikan dalam pengajarannya kepada para murid ataupun orang banyak. Dalam beberapa perikop, dapat ditemukan Yesus menggunakan simbol-simbol berupa aset atau kekayaan pribadi hal-hal tersebut, misalkan Matius 18:23-35; 13:44-46; 20:1-16; 25:14-30; dan Lukas 7:40-43; 12:13-34; 16:1-13; 19:11-27. Demikian pula dalam kotbah di bukit, Yesus juga memasukkan pokok bahasan tentang harta kekayaan (bdk. Matius 6: 19).
Memandang bahwa banyak ayat dan perikop dalam Alkitab yang menyinggung soal uang maupun kekayaan, sekilas dapat dipahami mengapa ini menjadi penting dibahas. Uang dan kekayaan merupakan hal duniawi yang dekat dengan kehidupan manusia. Karena unsur kedekatan itulah, sangat mungkin bagi Allah dalam menyampaikan firman-Nya menggunakan analogi-analogi yang dekat dengan kehidupan manusia agar lebih mudah dicerna. Bahkan secara langsung, Allah berbicara bahwa umat-Nya perlu memiliki cara pandang tersendiri terhadap uang. Mengapa demikian? Karena uang bisa menjadi jalan untuk menyalurkan berkat Tuhan (bdk. 2 Korintus 9: 6-8) atau bisa menjerumuskan manusia dalam kesulitan dan kejahatan (bdk. 1 Timotius 6: 10). Karena itu, pengelolaan keuangan pribadi ataupun keluarga patut menjadi perhatian penting, termasuk dalam karya pelayanan Gereja. Umat Allah diharapkan dapat mengelola keuangan secara bijak, sehingga bisa menjadi sarana untuk mewujudkan dan menyalurkan berkat Tuhan. Dan tentu saja, uang bukanlah tujuan, melainkan cara, karena yang terpenting justru adalah mengumpulkan harta di Surga (bdk. Matius 6: 19-20, Lukas 12: 16-21).
Perencanaan Keuangan Keluarga dan Berkat Tuhan
Pada masa sekarang ini, masyarakat harus berhadapan dengan konsumerisme yang meluas. Orang didorong untuk berbelanja banyak hal, termasuk hanya untuk memuaskan nafsu memiliki saja. Diskon bertebaran dimana-mana (bahkan menumpang label suci dengan menjual “Christmas Sale” atau “Lebaran Sale”), produk-produk yang uptodate selalu menantang untuk dibeli, selalu memancing orang untuk “lapar mata”. Akibatnya, jika tidak pandai-pandai dalam mengelola keuangan keluarga, bukan tak mungkin akan terjebak dalam arus besar konsumerisme ini. Lantas, keluhan semacam inilah yang akan terdengar, “Aduuh! Bagaimana, sih? Gaji sudah naik, penghasilan tambahan sudah di tangan. Kenapa ya selalu saja tidak cukup? Habis bulan, habis duit. Jangankan menunggu bulan habis. Pertengahan bulan saja sudah habis?!”
Pernah berada dalam situasi seperti ini? Kira-kira, apa sebabnya? Manakah diantara faktor-faktor ini yang mempengaruhi ketidakcukupan penghasilan setiap bulannya. Inflasi yang lebih tinggi? Hutang yang berlebih? Gaya hidup? Pengeluaran yang besar pasak daripada tiang? Inikah masalah yang umum dihadapi oleh keluarga di Indonesia? Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk mengatasinya?
Pada titik inilah sebenarnya dibutuhkan sebuah perencanaan keuangan keluarga (family financial planning) yang bijak. Kembali pada pertanyaan, mengapa diperlukan? Karena sesungguhnya keuangan atau harta kekayaan yang dimiliki oleh manusia, bukanlah pertama-tama karena hasil kerja kerasnya, melainkan adalah berkat Tuhan yang dipercayakan kepadanya untuk dikelola dengan baik (bdk. Matius 25: 14-30).
Perencanaan keuangan keluarga merupakan proses merencanakan keuangan untuk mencapai tujuan-tujuan keuangan jangka pendek maupun jangka panjang. Cara pencapaiannya bisa dalam bentuk memburu pendapatan, menabung, ataupun melakukan investasi. Tahap-tahap yang perlu dilakukan diantaranya mengetahui dimana posisi keuangan keluarga saat ini, menetapkan tujuan keuangan keluarga, merancang anggaran, dan akhirnya melaksanakan. Ketika proses pelaksanaan telah berjalan pun, review perlu dilakukan untuk melihat kembali sejauh mana rencana yang ada perlu disesuaikan.
Beberapa hal perlu menjadi perhatian dalam pengelolaan keuangan keluarga ialah pertama-tama membangun habitus positif untuk melakukan perencanaan itu sendiri. Yesus sendiri pernah menyampaikan pentingnya perencanaan (bdk. Lukas 14: 28-30). Sering kali kita dihadapkan pada pertanyaan ”untuk apa?” atau ”kalau uangnya tidak ada, untuk apa dilakukan perencanaan?”. Niat untuk membangun kebiasaan positif perlu dibangun didepan. Ketika kebiasaan itu terbentuk, maka pengelolaan keuangan dapat dengan mudah dilakukan. Apa yang terjadi jika tidak ada perencanaan atau tidak disiplin dalam menjalankan perencanaan itu? Keluarga akan mudah tergoda untuk melakukan pengeluaran keuangan yang tak perlu, bukan prioritas. Jika dibiarkan terus-menerus, neraca keuangan keluarga akan oleng pula. Pengeluaran lebih besar daripada penghasilan. Inspirasi dari A’a Gym tepat untuk membangun habitus baru yang positif ini, ”Mulailah dari yang kecil, mulailah dari diri sendiri, dan mulailah sekarang.”
Hal berikutnya yang perlu menjadi landasan dalam membangun perencanaan keuangan keluarga ialah komunikasi keluarga. Sebuah proses perencanaan akan berjalan baik jika komunikasi keluarga terbangun dengan baik. Keuangan keluarga bukanlah semata-mata urusan suami atau istri saja, melainkan dibangun dalam semangat kasih dan kebersamaan. Dari diskusi diantara keduanya, akan terpetakan kebutuhan-kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi dalam jangka pendek maupun jangka panjang, serta apa yang bisa dilakukan untuk memenuhinya.
Memilah dan memilih untuk menyusun prioritas melakukan hal penting yang dilakukan dalam perencanaan keuangan keluarga. Perlu dibedakan antara kebutuhan (needs) dan keinginan (wants). Apakah pos pengeluaran ini harus dipenuhi secepatnya? Apakah akan terjadi sesuatu yang mengancam kehidupan keluarga jika pengeluaran ini tidak dilakukan? Apakah jika pos pengeluaran ini tidak dipenuhi akan berakibat pada goyangnya aktivitas-aktivitas utama seperti usaha keluarga? Tentu akan banyak pos pengeluaran yang akan dipenuhi. Tentu hal ini harus dikelola secara bijak, apalagi ketika semuanya benar-benar merupakan kebutuhan. Perlu ditetapkan tingkat prioritasnya, diatur jadual pengeluarannya. Utamakan pos-pos tabungan dan investasi setelah kewajiban-kewajiban dibayarkan.
Last but not least, sudahkah dialokasikan pengeluaran untuk tabungan? Sangat dianjurkan untuk menempatkan pos tabungan sebagai pos pengeluaran yang wajib sifatnya. Dengan sifat yang demikian, maka pos tabungan sebaiknya dikeluarkan di awal ketika penghasilan diterima, bukan diambilkan dari sisa dana sesudah semua pengeluaran selesai dilakukan. Satu hal yang terpenting, ini tidak hanya berlaku untuk tabungan duniawi saja (tabungan dan investasi), melainkan juga tabungan surgawi. Sudahkah dialokasikan untuk kolekte atau persembahan bagi Tuhan, karena inilah yang sesungguhnya menjadi “penjamin” keberlimpahan manusia di dunia (bdk. Matius 6:1-4; 2 Korintus 9: 6-15).
Tuhan memberkati kita semua dan selamat Paskah.
Penulis adalah Panitia Pendidikan CU Dian Padua
Artikel dimuat di Warta Paroki St.Thomas, Kelapadua, Depok, edisi khusus Paskah 2013