Oleh: Ditto Santoso
Ibarat seorang hamba. Tatkala majikannya akan pergi, hamba itupun dipanggil bersama hamba-hamba lainnya. Sang majikan menyampaikan bahwa ia akan pergi berniaga ke manca negara. Untuk itu ia mempercayakan hartanya kepada beberapa orang hambanya sesuai dengan kapasitas yang dimiliki oleh setiap hamba. Setiap hamba menyimpan dan mengelola apa yang dipercayakan sang majikan sesuai dengan gaya masing-masing. Beberapa waktu berlalu, saat sang majikan kembali, ia meminta pertanggungjawaban dari setiap hambanya tentang apa yang sudah dipercayakan sebelumnya.
Ibarat seorang hamba, organisasi kemanusiaan memperoleh kepercayaan dari pemangku kepentingan utamanya (primary stakeholder), yakni masyarakat yang kecil, lemah, miskin, dan tertindas untuk membantu mereka bangkit untuk dapat kembali hidup bermartabat. Berbagai strategi dikembangkan oleh banyak organisasi kemanusiaan dalam lima dasawarsa terakhir untuk mewujudkan sebuah dunia yang lebih baik.
Seiring dengan kerja-kerja kemanusiaan yang telah dilakukan, muncul pertanyaan, haruskah organisasi kemanusiaan mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya? Haruskah organisasi kemanusiaan membuka akses bagi publik untuk dapat melihat aspek-aspek pengelolaan internal organisasinya? Pertanyaan-pertanyaan ini menghantar pada ranah diskusi mengenai transparansi dan akuntabilitas dalam organisasi kemanusiaan.
Salah satu definisi transparansi dikemukakan oleh P2KP dalam salah satu modulnya, “Terbukanya akses bagi seluruh masyarakat terhadap semua informasi yang terkait dengan segala kegiatan yang mencakup keseluruhan prosesnya melalui suatu manajemen sistem informasi publik”. Secara sederhana, transparansi dimaknai sebagai keterbukaan dimana publik yang berkepentingan dapat mengakses informasi mengenai penyelenggaraan pelayanan yang dilakukan oleh sebuah organisasi kemanusiaan.
Mengenai akuntabilitas, P2KP merumuskan “Pertanggungjawaban suatu lembaga kepada publik atas keberhasilan maupun kegagalan melaksanakan misi/tugas yang telah diembannya”. Sementara, AusAID (2001) mendefinisikan akuntabilitas sebagai “Instrumen yang menunjukkan apakah prinsip2 tata kelola, hukum, keterbukaan, transparansi, keberpihakan, dan kesamaan di hadapan hukum dihargai atau tidak. Akuntabilitas adalah hal yang penting untuk menjamin nilai-nilai seperti efisiensi, efektifitas, dan reliabilitas, dan prediktabilitas dari administrasi publik”. Seorang rekan, Hamid Abidin (PIRAC), secara sederhana mendefinisikan akuntabilitas sebagai “Bertanggung jawab secara terbuka mengenai apa yang diyakini, apa yang dilakukan, dan apa yang tidak dilakukan”. Pertanggungjawaban ini tidak pula semata-mata ditujukan kepada lembaga donor atau pemberi dana bagi operasional dan kegiatan organisasi kemanusiaan, melainkan yang pertama-tama ialah kepada masyarakat yang dilayaninya secara langsung, karena merekalah pemangku kepentingan utama dan karena mereka pulalah organisasi itu ada.
Merujuk pada uraian dua paragraf di atas, dapat disimpulkan bahwa transparansi dan akuntabilitas tidak semata-mata isu aktual atas persoalan teknis seperti pelaporan program dan keuangan yang dilakukan oleh sebuah organisasi kemanusiaan. Isu-isu ini lebih mengarah pada pertanggungjawaban atas keberadaan organisasi itu sendiri. Apa mandat yang diterima organisasi, bagaimana ia melaksanakan mandat itu dan mencapai tujuannya. Yang sering kali justru mengemuka dalam dinamika internal organisasi ialah keperluan menegakkan transparansi dan akuntabilitas yang didorong oleh kepentingan pragmatis untuk “mencari muka” sehingga bisa menangkap peluang proyek dari lembaga donor. Astaghfirullah…
Berbicara dalam ranah filosofis, organisasi-organisasi kemanusiaan yang berlabel Caritas dan mengedepankan identitas sebagai sayap sosial Gereja Katolik juga didorong oleh Bapa Gereja untuk menunjukkan transparansi dan akuntabilitasnya. Logika sederhananya, sebagai sebuah organisasi kemanusiaan yang diinspirasi oleh Ajaran Sosial Gereja, tentunya aspek transparansi dan akuntabilitas dalam pelayanan kemanusiaan menjadi nilai lebih yang ditawarkan. Terlebih-lebih hal ini juga diamanatkan dalam dua dokumen ensiklik Paus Benedictus XVI, Caritas in Veritate artikel 47, yang secara khusus menyoroti tentang transparansi dan akuntabilitas keuangan dalam kerja-kerja kemanusiaan dan Deus Caritas Est artikel 30 (b) yang menunjukkan bahwa organisasi kemanusiaan Gereja perlu memberikan kesaksian tentang kasih melalui kerja-kerja yang transparan dalam kemitraannya dengan organisasi-organisasi lainnya.
Meskipun diatas dikatakan bahwa berbicara mengenai akuntabilitas tidak melulu terkait dengan dimensi program dan keuangan dalam keseharian aktivitas organisasi kemanusiaan, tak pelak hal itu tetap perlu disinggung disini. Dalam dimensi program, akuntabilitas dicerminkan sejak dari tahap penjajakan kebutuhan di masyarakat hingga evaluasi akhir. Apakah intervensi yang dilakukan telah sejalan dengan kebutuhan dan upaya pemecahan masalah di masyarakat? Apakah sudah mencerminkan visi, misi, nilai, dan prinsip yang dianut oleh organisasi? Apakah sudah mempertanggungjawabkan capaian-capaian proyek kepada masyarakat? Sementara dari dimensi keuangan, berkenaan dengan pengelolaan berbagai transaksi apakah sudah sesuai prosedur, apakah laporan keuangan secara berkala dapat diakses oleh publik, sudahkah dilakukan audit untuk memenuhi asas kepatuhan terhadap prosedur (compliance), serta yang terkait dengan itu, apakah prosedur (misalnya) pembelian bahan baku unsur bantuan kemanusiaan sudah melalui proses tender yang adil, memperhatikan sumberdaya lokal, atau memenuhi kriteria bagi pemasok yang ramah lingkungan sebagai bentuk penerapan dari prinsip Do No Harm dan Sustainable Procurement.
Akhirnya, ibarat seorang hamba yang memperoleh kepercayaan dari majikannya untuk mengelola sesuatu yang berharga, demikian pula halnya dengan kepercayaan yang diberikan oleh para pemangku kepentingan organisasi. Ibarat seorang hamba pula, kepercayaan tersebut harus dipertanggungjawabkan kepada majikannya. Sudahkah organisasi kemanusiaan Anda menjadi hamba yang akuntabel?
Saran untuk bacaan lebih lanjut:
• Chasan Ascholani. 2008. Kegagalan LSM: Benarkah?. Website: www.fasilitator-masyarakat.org
• Paus Benedictus XVI. 2007. Deus Caritas Est – Allah adalah Kasih (Seri Dokumen Gerejawi No. 83). Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI.
• Ridwan al-Makassary. 2005. Working Paper: Akuntabilitas Lembaga Swadaya Masyarakat: Beberapa Observasi.
• Yayasan Tifa. 2005. Mengukur Transparansi dan Akuntabilitas LSM: Suatu Metode Partisipatif. Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan Tifa.
• Zaim Saidi. 2004. Lima Persoalan Mendasar dan Akuntabilitas LSM dalam Hamid Abidin dan Mimin Rukmini (ed).2004. Kritik dan Otokritik LSM: Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia. Jakarta: PIRAC, Ford Foundation, Yayasan Tifa.
• Ensiklik Caritas in Veritate (Paus Benedictus XVI, 2009) di http://www.vatican.va/
Artikel ini dimuat di Buletin Kabar Caritas (Keuskupan Maumere) edisi Oktober 2010 dengan editing seperlunya